SAMARINDA — Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset pertama kali disusun pada tahun 2008. Namun, setelah enam belas tahun berlalu, RUU tersebut belum juga menemukan titik terang, padahal kasus korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan.
Berangkat dari hal tersebut, Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman menggelar diskusi publik dengan tema “Urgensi Percepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset.”
Diskusi yang berlangsung di Gedung FH Unmul, Jalan M. Yamin, Samarinda, pada Kamis (07/10/2024), dihadiri oleh ratusan mahasiswa dan akademisi. Pembicara dalam diskusi ini adalah Diky Anandya dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Orin Gusta Andini dari SAKSI FH UNMUL, serta Mareta Sari dari Jaringan Anti Tambang (Jatam) Kaltim.
“Kalau kita melihat konstelasi politik saat ini, terutama di DPR, RUU Perampasan Aset belum masuk dalam bahasan proyek Nasional jangka menengah 2025-2029,” jelas Diky Anandya dari ICW.
Tidak ingin menyerah begitu saja, Diky merasa bahwa masih ada kesempatan untuk mendesak DPR RI agar memasukkan RUU tersebut, terutama karena Komisi III yang menaungi bidang Hak Asasi Manusia (HAM) belum mengusulkan proyek Nasionalnya.
Selain berharap kepada DPR RI, Diky juga menekankan pentingnya mendesak presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk mengambil peran terhadap RUU yang dianggap dapat menyelamatkan negara ini.
RUU Perampasan Aset menggunakan metode perampasan aset tanpa pemidanaan, sehingga subjek hukumnya adalah aset, bukan orangnya. Dengan demikian, ketika penegak hukum menemukan aset yang diduga berasal dari tindak pidana, aset tersebut dapat diminta untuk disita dan kemudian dirampas.
“Yang membedakan sebenarnya, RUU ini tidak memiliki mekanisme banding seperti pidana konvensional; langsung naik ke kasasi. Namun, pihak ketiga yang memiliki itikad baik terhadap aset tersebut masih diberikan jaminan hukum untuk membuktikan bahwa aset itu bukan merupakan hasil tindak pidana,” tambah Diky.
Mareta Sari juga memiliki pandangan bahwa korupsi di Kalimantan Timur berkaitan erat dengan tambang ilegal. Sebagai Dinamisator Jatam, Mareta menduga adanya hubungan antara kasus korupsi dan kegiatan pertambangan ilegal di Kaltim.
“Di Kaltim, setidaknya ada 168 titik pertambangan ilegal yang tak pernah terselesaikan. Jatam menduga hal ini terkait dengan kasus korupsi,” jelasnya.
Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini, yang melibatkan kasus gratifikasi terhadap mantan Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak.
Sementara itu, Orin menyoroti pentingnya mendesak pembahasan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, karena korupsi sangat merugikan secara ekonomi, pemidanaan terhadap pelaku saja tidak cukup.
“Secara sederhana, ini adalah cara untuk memutus mata rantai finansial pelaku kejahatan korupsi,” ujar Orin. (Rul)
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Agus S