spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Desa Pela, Habitat Terakhir Pesut Mahakam di Tengah Ancaman Kepunahan

“Semua orang barang kali sudah mengetahui jika Pesut Mahakam merupakan satwa endemik Sungai Mahakam. Tapi  tidak banyak orang menyadari bahwa mamalia air tawar ini berada dalam ambang kepunahan. Populasinya saat ini diperkirakan hanya tersisa kurang dari 70 ekor, jumlah ini bahkan jauh lebih sedikit dari tongkang batubara yang tiap hari hilir mudik di habitatnya”

Saya mengunjungi Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Minggu (27/10/2024). Kawasan itu tersohor sebagai destinasi wisata berbasis konservasi lingkungan, sekaligus habitat terakhir bagi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) yang merupakan satwa endemik Sungai Mahakam.

Sebenarnya, pergi ke Desa Pela bukanlah pengalaman pertama bagi saya. Beberapa bulan lalu saya juga berkunjung ke sana. Hanya saja dewi fortuna belum menghampiri. Kala itu saya belum berkesempatan melihat secara langsung Pesut Mahakam. Inilah yang menjadi motivasi utama saya kembali ke Desa Pela.

Saya memulai perjalanan sekitar pukul 05.30 Wita dari Kelurahan Baru, Kecamatan Tenggarong yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Kukar. Matahari belum terbit sempurna saat deru mesin motor keluaran 1997 milik saya memecah keheningan suasana. Saya sengaja memulai perjalanan sedini mungkin agar bisa berlama-lama di Desa Pela. Raungan mesin dua tak yang saya pacu terdengar keras saat jalanan masih lengang. Satu-satunya teman dalam perjalanan adalah belaian angin yang dinginnya terasa sampai ke tulang.

Menuju Desa Pela dengan menggunakan kuda besi tua bukan perkara mudah, selalu ada risiko yang harus saya hadapi karena jarak yang cukup jauh. Jalan yang dilalui juga masih didominasi dengan hutan dan kawasan perkebunan. Otomatis bengkel masih langka ditemui selama perjalanan. Saya pun berharap kendaraan yang saya tunggangi tak mengalami masalah.

Jalan sejauh 60 kilometer bisa saya tempuh tanpa hambatan meski memakan waktu lebih dari tiga jam. Perjalanan juga tertolong dengan mudahnya akses bahan bakar. Sepanjang jalan poros dari Tenggarong menuju Kota Bangun terdapat tiga Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan satu Pertashop aktif di titik-titik strategis untuk mengisi bahan bakar.

Lokasi SPBU juga representatif, ditopang dengan sejumlah fasilitas yang memungkinkan musafir untuk beristirahat, mengisi air radiator atau menambah angin kendaraan jika diperlukan. Saya juga sempat beristirahat sambil mendinginkan mesin di salah satu SPBU.

Perjalanan menuju Desa Pela tidak bisa hanya menggandalkan sepeda motor. Harus disambung dengan menggunakan perahu, yang akrab disebut warga dengan sebutan ferry, untuk menyeberangi Sungai Mahakam. Ini dilakukan karena letak desa yang dikepung oleh perairan.

Desa Pela berada di bantaran Sungai Pela yang menghubungkan antara Danau Semayang dan Sungai Mahakam. Tak heran jika alat transportasi utama warga adalah ces, sebutan bagi perahu kecil bermesin Dongfeng.

Bahkan, mayoritas rumah di desa tersebut berbentuk panggung dengan tinggi bisa mencapai 2-4 meter. Desain ini sengaja dibuat untuk menghindari luapan air saat banjir.

Jika air sedang pasang, desa yang dihuni oleh 175 Kepala Keluarga (KK) ini akan terlihat seperti desa mengapung tanpa daratan. Untuk menghubungkan rumah-runah warga, akses jalan di desa yang terdiri dari enam Rukun Tetangga (RT) ini dibuat dari jembatan kayu. Saat kendaraan melintas, bunyinya akan bising karena hentakan kayu yang pakunya mulai longgar.

Hanya ada dua akses yang bisa digunakan untuk sampai ke Desa Pela. Jika ingin berkendara menggunakan sepeda motor, pengendara harus menyeberangi sungai dengan menggunakan ferry penyeberangan sebanyak dua kali.

Rutenya adalah menyeberangi Sungai Mahakam dari Desa Liang Ulu menuju Desa Sangkuliman dengan biaya Rp5 ribu untuk satu unit kendaraan. Lalu dilanjutkan dengan melintasi jembatan di atas rapak selama 10 menit dan kembali menyeberangi sungai menggunakan ferry sebelum sampai ke Desa Pela.

Cara kedua adalah menggunakan kapal wisata dari Desa Liang Ulu langsung ke Desa Pela. Namun biayanya jauh lebih besar. Dipatok kisaran Rp400 ribu hingga Rp500 ribu, tergantung paket trip yang dipilih. Waktu tempuh menggunakan model transportasi ini memakan durasi sekira 35 menit menuju dermaga desa. Jalur ini menawarkan sensasi menyusuri Sungai Mahakam dan Sungai Pela yang merupakan habitat dari Pesut Mahakam.

Jalur inilah yang saya pilih. Meski harus merogoh kocek lebih dalam, namun ini sebanding dengan sensasi yang ditawarkan. Tentu dengan harapan dihampiri keberuntungan bisa berjumpa kawanan pesut di perjalanan.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 Wita saat saya duduk buritan kapal. Tidak lama kemudian deru mesin berbunyi, percikan air mulai terasa mengenai tubuh saat kapal mulai bergerak maju disertai hempasan lambung kapal yang menghantam gelombang.

Selama perjalanan, saya berkesempatan berbincang dengan motoris yang mengemudikan kapal. Namanya Usman. Sebelum menjadi juru kemudi kapal wisata, pria itu berprofesi sebagai nelayan yang menggantungkan nasib pada kondisi air yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan. Saat kondisi air sedang baik, tangkapan ikan akan melimpah. Penghasilannya lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya dan menyisihkan sedikit uang untuk tabungan.

Namun, jika belum tiba musim panen ikan, tangkapannya menyusut drastis dan tidak bisa diandalkan. Apalagi belakangan jumlah tangkapan ikan semakin sedikit. Terpaksa Usman harus mencapai tambahan penghasilan dengan bekerja serabutan. Tak jarang ia terpaksa mengorek tabungan hanya untuk sekadar mengisi perut anak dan istri.

Namun, nasibnya berubah berkat program Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina Hulu Mahakam (PHM) menyentuh desanya. Berkat sumbangan satu unit kapal wisata yang diberikan PHM, ia kini memiliki sumber pendapatan lain untuk menghidupi keluarganya. “Alhamdulillah program PHM ini sangat membantu. Saya mendapat penghasilan tambahan untuk menghidupi keluarga disamping menangkap ikan,” sebut Usman sembari mengemudikan perahu.

Kepada saya, ia menjelaskan perahu yang dimotorinya itu dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bekayuh Beumbai Bebaya (B3) Desa Pela. Pengemudinya pun tidak hanya Usman, ada beberapa rekannya yang juga terdata sebagai motoris dan dijatah secara bergilir untuk jadi joki. Insentif bagi motoris yang bertugas dalam sekali jalan adalah Rp100 ribu. “Kalau sendiri segitu sudah jatahnya, tapi kalau berdua ya kita bagi rata,” bebernya.

Selagi berbincang di perjalanan, ia juga menganjurkan saya agar tetap waspada dalam memandang. Karena kawanan Pesut Mahakam biasanya muncul secara tiba-tiba di kawasan perairan. Sayangnya saya tak beruntung lagi kali ini. Pesut Mahakam yang diharap bisa saya jumpai paling tidak sekali seumur hidup masih enggan menampakkan diri.

Tapi tak masalah, setidaknya saya masih disuguhkan dengan susana perjalanan menyusuri perairan yang menyenangkan. Diiringi kawanan burung bangau yang terbang rendah di atas permukaan air tawar.

Setelah melancar di atas sungai selama 30 menit, akhirnya saya tiba dermaga Desa Pela. Sebelum berangkat ke sini, saya telah mengatur janji dengan seorang tokoh yang menjadi petintis dibalik kesuksesan pengembangan pariwisata Desa Pela. Namanya Alimin, ketua Pokdarwis B3 Desa Pela.

Sebelum perahu yang saya tumpangi bersandar, Alimin telah menunggu di atas dermaga. Sesaat setelah turun dari kapal, pria yang selalu energik itu langsung menjabat tangan saya sembari melontarkan pertanyaan, “ketemu kah?”. Kalimat itu bermaksud mempertanyakan apakah saya cukup beruntung menjumpai Pesut Mahakam dalam perjalanan.

“Belum om,” sahut saya singkat. “Bukan rezekimu berarti, pagi tadi ada muncul kok,” timpalnya.

Ia kemudian menerangkan, biasanya satwa yang masih satu famili dengan lumba-lumba itu akan terlihat bermain di permukaan air sekira pukul 08.00 pagi. Mereka akan datang dari arah Sungai Mahakam melintasi Sungai Pela menuju Danau Semayang. Kemudian siang hari sekira pukul 12.00, mereka keluar dari danau untuk kembali ke Sungai Mahakam. Lalu sorenya sekira pukul 15.00, kawanan Pesut Mahakam itu kembali lagi masuk ke danau.

Namun tetap tidak ada yang pasti, Alimin juga mengakui bahwa faktor paling menentukan untuk bisa melihat kawanan pesut berenang adalah keberuntungan. “Itu yang tidak dimiliki semua orang,” ujarnya berkelakar.

Sebagai pelipur lara, Alimin kemudian mengajak saya berkeliling desa dengan berjalan kaki. Sembari kami meniti langkah di atas jembatan kayu, ia bercerita bahwa beberapa dekade lalu menjumpai Pesut Mahakam berenang di permukaan sungai bukanlah peristiwa langka seperti saat ini. Mengingat aliran Sungai Pela merupakan spot favorit bagi binatang air menggemaskan itu.

Walau Sungai Pela hanya memiliki panjang 2 kilometer, perannya sebagai penghubung antara Sungai Mahakam dan Danau Semayang menjadikan lokasi itu memiliki jumlah pasokan ikan yang melimpah. Hal tersebut sangat disukai Pesut Mahakam, karena itu adalah makanan utama mereka.

PESUT MAHAKAM TERANCAM 

Sayangnya dari waktu ke waktu populaisi Pesut Mahakam terus mengalami penurunan. Puncaknya pada 2020, lumba-lumba air tawar itu masuk dalam daftar satwa berstatus terancam punah atau Critically Endangered (CR) berdasarkan daftar merah yang diterbitkan oleh International Union for Conservatiun of Nature  (IUCN).

Faktor utama di balik anjloknya populasi Pesut Mahakam didominasi oleh aktivitas manusia. Catatan mengenai faktor kematian Pesut yang dikumpulkan oleh Yayasan Konservasi Rare Aquatic Spesies Indonesia (YK RASI) menunjukkan 66 persen kematian Pesut Mahakam disebabkan oleh jaring nelayan. Kemudian 10 persen karena tertabrak oleh kapal dan 5 persen karena setruman listrik yang diduga dari aktivitas illegal fishing. Sedangkan 9 persen lainnya merupakan faktor alamiah.

Kini, saat populasinya menurun dengan drastis perairan Sungai Pela bertransformasi menjadi tempat perlindungan terakhir bagi sisa Pesut Mahakam yang jumlahnya diperkirakan hanya tersisa 60-70 ekor. Bahkan jumlah tersebut bisa jadi jauh lebih sedikit dari jumlah tongkang yang tiap hari hilir mudik memenuhi Sungai Mahakam di Kutai Kartanegara.

Alimin juga menuturkan, aktivitas tongkang-tongkang batubara menjadikan ruang gerak bagi Pesut Mahakam kian terbatas. Di bagian hulu sungai, Pesut Mahakam paling jauh pernah terlihat berenang di wilayah perairan Muara Pahu. Sedangkan ke arah hilir, Pesut Mahakam paling jauh akan berenang sampai perairan Muara Kaman.

“Jarang sekali pesut terlihat di area yang lebih jauh dari itu. Paling baru ditemukan di perairan Samarinda dan Tenggarong dalam keadaan mati,” sebutnya.

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, Pesut Mahakam seakan-akan terpenjara di sebagian kecil Sungai Mahakam yang merupakan habitatnya. Keseriusan pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap Pesut Mahakam juga terkesan mengambang.

Meski satwa yang identik dengan warna abu-abu itu masuk dalam daftar satwa yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Namun peraturan daerah (perda) tentang kawasan konservasi Pesut Mahakam masih belum rampung disusun sejak 2022 hingga sekarang.

“Kalau informasi yang saya dengar terkait perda itu masih ada beberapa hal yang belum final. Itu berkaitan dengan pengaturan hilir mudik tongkang,” serunya.

Tak pernah terbayang dalam kepala Alimin, jika suatu saat nanti Pesut Mahakam benar-benar punah dari perairan sungai. Ia mengaku bayang-bayang itu selalu menghantuinya. Kekhawatiran itu membuat Alimin kerap menatap ke arah sungai setiap pagi. Untuk sekadar memastikan bahwa kekhawatirannya itu bukanlah kenyataan.

Museum Perikanan Desa Wisata Pela, Wahana Edukasi yang merupakan buah dedikasi PHM. Disis banyak tirus asing mendapat informasi trkait Pesut Mahakam (Ady/Mediakaltim)

PHM BAWA HARAPAN

Kehadiran PHM dengan Program Konservasi Endemik (Komik) Pesut Mahakam membawa angin segar bagi nasib kelestarian mamalia air tawar itu. Dengan inovasi pengembangan Pinger Akuatik yang dipasang di jaring nelayan. Alat ini mengeluarkan sonar dengan frekuensi yang dapat ditangkap oleh Pesut Mahakam.

Gebrakan anyar yang dilakukan oleh PHM ini terbukti sangat efektif dan menunjukkan perkembangan yang sangat mengesankan. Berdasarkan studi penyebab kematian dan monitoring populasi Pesut Mahakam yang dilakukan bersama RASI dalam dua kali setahun, semenjak alat tersebut digunakan nelayan, kasus kematian Pesut Mahakam imbas terjerat jaring tak pernah lagi terdengar.

Secara prinsip, alat ini memanfaatkan kemampuan Pesut Mahakam dalam mendeteksi dan menghindari rintangan atau bahaya dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Inovasi Pinger Akustik ini dikembangkan dari modifikasi resonansi suara yang digunakan pada proses seismik, berupa perangkat elektronik kecil yang mampu mengeluarkan suara pulse atau gelombang ultrasonic agar Pesut Mahakam tidak mendekat ke jaring nelayan.

“Semenjak PHM memperkenalkan Pinger Akuatik belum ada lagi laporan pesut yang mati karena terkena jaring nelayan,” seru Alimin.

Asyik bercerita tentang Desa Pela dan Pesut Mahakam, tanpa terasa langkah kaki kami berhenti di sebuah bangunan dengan cat hijau yang berada di tepi sungai. Letaknya persis berada di tengah desa, di depannya terpampang tulisan Museum Perikanan Desa Pela. “Nah ini Museum Perikanan Desa Pela, bangunannya ini dibuatkan oleh PHM. Kita dari Pokdarwis diminta menyediakan lahan saja,” terang Alimin.

Selain menambah daya tarik wisata, kehadiran museum yang merupakan bagian dari peogram Komik Pesut Mahakam PHM ini juga sukses menjadi pusat edukasi bagi wisatawan dan warga setempat. Di museum itu, kita bisa mempelajari banyak hal yang berkaitan dengan upaya konservasi perairan. Pengunjung diberikan edukasi mengenai perkembangan penggunaan alat tangkap yang digunakan nelayan dari generasi ke generasi.

Penampilan museum ini sangan menarik, dengan warna hijau yang mencolok, lalu bagian langit-langitnya dihiasi dengan susunan seraong atau topi tradisional khas Kalimantan. Sementara di dalamnya memamerkan berbagai informasi seputar konservasi Pesut Mahakam, spesies ikan yang hidup di perairan Sungai Mahakam dan dokumentasi aktivitas masyarakat Desa Pela yang erat dengan perairan dari masa ke masa.

Setelah puas melihat-lihat isi museum, Alimin mengajak saya melanjutkan perjalanan menelusuri desanya hingga kami tiba di bagian paling hulu. Di sana terdapat sebuah landmark bertuliskan Desa Wisata Pela yang menarik perhatian mata karena catnya warna-warni. Berdasarkan penuturan Alimin, lokasi ini merupakan spot terbaik wisatawan untuk berswafoto. “Ini juga dibangun oleh PHM,” terangnya.

Alimin menerangkan, konsep pengembangan konservasi Pesut Mahakam yang dilakukan PHM di desanya ini dikolaborasikan dengan pengembangan sektor pariwisata. Langkah itu dipilih agar masyarakat merasakan langsung dampak dari upaya konservasi tersebut. Sehingga, mereka sukarela berperan aktif dalam mendukung program pelestarian Pesut Mahakam karena membawa keuntungan secara ekonomi.

Tidak hanya memberikan bantuan dalam bentuk fasilitas, PHM juga menyalurkan berbagai sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Termasuk juga memberikan bantuan sepeda dan paddle board yang bisa disewa wisatawan.

Upaya serius PHM dalam menjadikan Desa Pela sebagai kawasan wisata berbasis konservasi lingkungan itu juga sukses membawa angin segar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Dengan pendekatan yang tepat, sejumlah keluarga di sana tergugah ekonominya.

PHM hadir dengan serangkaian pelatihan pengembangan usaha lokal seperti homestay, kerajinan tangan dan penyajian kuliner. Ibarat paket komplet, program pembinaan yang dilakukan tidak hanya menghadirkan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tapi juga disusul dengan bantuan berupa sarana pendukung bagi warga yang berminat membuka jasa penginapan.

“Yang kami data homestay itu ada 10 unit, tapi yang aktif ada 7. Sisanya digunakan kalau jumlah wisatawan membeludak,” ungkapnya.

Saya juga berkesempatan berbincang dengan pemilik homestay bernama Gazali Rahman. Ia mengatakan, tarif menginap yang dibanderolnya per malam sebesar Rp50 ribu, diluar makan dan minum. Jika pengunjung ingin mencicipi berbagai kudapan khas Kutai maka akan dikenakan tarif tambahan Rp50 ribu untuk sekali makan.

Meski tidak setiap hari ada pengunjung datang, Gazali membenarkan bahwa inovasi untuk menghadirkan hunian sementara bagi wistawan di sana pertama kali diperkenalkan lewat sosialisasi yang digaungkan oleh PHM. Baginya, kehadiran program Komik Pesut Mahakam di Desa Pela membawa berkah tersendiri. Keluarganya kini mendapat tambahan penghasilan yang terbilang lumayan.

“Awalnya sih ragu mas, apa iya ada yang mau berkunjung. Tapi di sosialisasi itu disampaikan bahwa konservasi Pesut Mahakam bisa berkembang menjadi sangat menjanjikan,” kata Gazali.

Perlahan sosialisasi yang digawangi PHM itu mulai terbukti. Dengan komitmen penuh PHM dalam mengawal perkembangan Desa Pela untuk bertransforamsi menjadi desa wisata yang berbasis konservasi mulai mengundang minat wisatawan. Bahkan, kini Desa Pela menjadi salah satu destinasi primadona di Kalimantan Timur. Tak sedikit wisatawan mancanegara yang berkunjung untuk menikmati eksotisme Desa Pela.

“Sekarang ini banyak kunjungan orang ke sini, ada yang pulang hari ada juga yang nginap. Alhamdulilah membantu meningkatkan pendapatan kami,” tambah Gazali.

Tidak berhenti di situ,  PHM juga turut berkontribusi dalam mengawal  penerbitan Peaturan Desa (Perdes) Nomor 2 tahun 2018 tentang Larangan Alat Tangkap Ikan Kurang Ramah Lingkungan.

“Jadi mas, PHM ini berperan besar dalam perkembangan sektor pariwisata di Desa Pela. Mereka juga nggak bosan-bosan mensosialisasikan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dan termasuk juga memasang banyak plang himbauan dan pemberitahuan,” celetuk Alimin sembari mengajak saya berpamitan dengan pemilik homestay dan melanjutkan perjalanan kami menyusuri desa.

Pendampingan yang dilakukan PHM  ini membuahkan  hasil yang sangat membanggakan. Tercatat sebanyak 11.119 wisatawan sudah berkunjung ke Desa Pela dengan pendapatan Pokdarwis mencapai 342,6 juta per tahun dan 150 juta per tahun pendapatan warga dari homestay.

Berkat capaian itu, Pokdarwis B3 Desa Pela juga berhasil memberikan dampak langsung terhadap Pendapatan Asli Desa (PADesa). Dalam periode 2022 hingga 2023, Alimin mengaku telah berhasil menyumbang pendapatan desa dengan nominal jutaan rupiah.

Kehadiran program Komik Pesut Mahakam juga sukses membawa berbagai prestasi bergengsi ke Desa Pela. Pada 2022, desa ini ditetapkan sebagai juara III Desa Nasional dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia. Terbaru, Pokdarwis B3 Desa Pela meraih penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2024 dengan kategori penyelamat lingkungan.

Bahkan, Desa Pela juga sukses menembus kancah internasional dengan ditetapkan sebagai Member of The Best Tourism Village Upgrade Programme 2023 dari United Nation World Tourism Organization. Hanya ada 20 desa di seluruh dunia yang mendapatkan penobatan itu dan Desa Pela berhasil mengukuhkan dirinya sebagai satu di antaranya.

Susur Sungai Mahakam menuju Sungai Pela sekitar 30 menit menaiki kapal kayu bermesin tunggal atau warga setempat biasa menyebutnya kapal feri. Kapal ini merupakan bantuan dari CSR Pertamina Hulu Mahakam (Ady/Mediakaltim)

MENGABDI TAK KENAL KONSESI 

Pada kesempatan lain, Head of Communication Relations and CID PHM, Frans Alexander A Hukom menuturkan, langkah untuk terlibat aktif dalan upaya penyelamatan Pesut Mahakam dari ancaman kepunahan didorong oleh keselarasan visi pertanian yang menaruh konsen pada upaya menjaga keanekaragaman hayati.

Meski sejatinya tidak ada konsesi PHM di sekitar Kecamatan Kota Bangun yang berada di kawasan hulu Sungai Mahakam, pihaknya tetap menaruh perhatian lebih pada Desa Pela lantaran statusnya yang sangat strategis sebagai habitat terakhir bagi Pesut Mahakam.

Komitmen kelestarian lingkungan itu tidak hanya dikibarkan Pertamina di Desa Pela. Hingga saat ini, Pertamina telah menunjukkan komitmen dalam menjaga kelestarian 800.000 spesies flora dan fauna, tanpa meninggalkan peran penting masyarakat.

“Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina,” sebut Frans.

Saat ini Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s).

Salah satu yang mendorong keseriusan PHM dalan berkontribusi lebih banyak pada upaya pelestarian ini adalah gagalnya upaya konservasi Pesut Mahakam di habitat buatan yang berada di Taman Mini Indonesia Indah. Kegagalan ini menjadikan mamalia air tawar itu hanya bisa dilestarikan di habitatnya.

Desa Pela menawarkan pengalaman unik dengan wisata kampung pesisir, di mana wisatawan dapat menginap dan melihat langsung aktivitas para nelayan mencari ikan (Ady/Mediakaltim)

Kondisi itu yang mendorong PHM untuk ikut andil dan berkolaborasi dengan Yayasan Konservasi RASI, Pokdarwis Desa Pela, Pemerintah Daerah dan masyarakat secara luas untuk bersama-sama berupaya mempertahankan keberadaan Pesut Mahakam dari kepunahan.

Sejak 2019, PHM secara berkala memberikan dukungan terhadap pembentukan kawasan wisata berbasis konservasi lingkungan di Desa Pela. Melalui program Komik Pesut Mahakam, langkah heroik PHM tersebut ditandai dengan penyaluran bantuan seperti kapal pariwisata, pembangunan museum perikanan dan juga landmark.

Selain itu, pihaknya juga terus menyalurkan dukungan berbagai sarana dan pra sarana penunjang seperti fasilitas pendukung bagi homestay dan dukungan atraksi wisata seperti sepeda dan paddle board.

“PHM juga memberikan dukungan dalam bentuk peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan Bahasa Inggris, pelatihan tour guide, pelatihan hospitality, pelatihan gastronomi dan pelatihan sosial media manajemen,” bebernya.

Bahkan dukungan yang diberikan oleh PHM juga merambah dunia pendidikan dengan memberikan beasiswa perguruan tinggi pada seorang mahasiswa asal Desa Pela yang tengah menempuh pendidikan di Politeknik Negeri Samarinda (Polnes).

Berkat keseriusan PHM dalam menjalankan program Komik Pesut Mahakam di Desa Pela, mengantarkan perusahaan yang berada di bawah naungan Pertamian Hulu Indonesia (PHI) itu mendapat apresiasi di tingkat internasional dengan meraih penghargaan The 15th Global CSR & ESG Summit & Awards 2023 di Vietnam.

Penulis: Ady Wahyudi
Editor: Agus S

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti