NUSANTARA – Gegap gempita sambutan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79 tahun ini sangat berbeda, terutama di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Pasalnya, peringatan tahun ini digadang sebagai penentu keberlanjutan perpindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ditargetkan selesai pada tahun 2045.
Sayangnya, kemeriahan tahun ini menyisakan berbagai kisah pilu penduduk asli yang telah tinggal di Kawasan IKN (KIKN) sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Salah satunya adalah Kampung Paser Balik yang berada di Kelurahan Pemaluan.
Alfian (42), seorang petani sawit dan buah-buahan, harus merelakan lahannya seluas 7.103 meter persegi untuk pembangunan jalan bebas hambatan segmen 6A. Tol yang digadang sebagai akses tercepat menuju Kawasan Inti Pusat Pemerintahan tersebut harus mengorbankan hajat hidup orang banyak.
Pada tahun 2022, Alfian sangat ingat bagaimana tim pembebasan lahan yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI, dan Otorita IKN (OIKN) menyambangi rumahnya dengan berbagai rayuan manis.
“Katanya akan dibayar, kami diajak mengukur juga, makanya besar harapan kami bakal diganti sesuai. Dua kali mengukur itu, mengulang lagi. Lahan saya yang di ujung sana, di Segmen 6A,” ungkapnya sambil menatap pengerjaan proyek Jalan Bebas Hambatan Segmen 6B (11/08/2024).
Kurang lebih setahun setelah pengukuran, proyek tersebut tak kunjung berjalan. Akhirnya, Alfian bersama tujuh warga lainnya dipanggil oleh tim tersebut dan diminta untuk mengizinkan pembukaan lahan sebelum semua pembayaran selesai dilakukan.
“Lahan saya hanya dibayar 10 meter persegi, jadi totalnya hanya Rp 3,3 jutaan saja,” ungkapnya.
Tidak hanya diam, Alfian juga sempat menanyakan mengapa hanya 10 meter persegi yang dibayarkan. Namun, pihak pembebasan lahan berdalih bahwa untuk sementara hanya dapat membebaskan lahan seluas 10 meter persegi tersebut. Sisanya masih dalam proses karena lahannya masih masuk dalam ADP.
“Saya tidak tahu apa itu ADP (Aset Dalam Penguasaan), yang saya tahu lahan itu milik keluarga sejak dulu, turun-temurun sejak orang tua saya, sampai ke saya,” ungkapnya.
Saat pembayaran pun, Alfian merasa semuanya bersifat rahasia. Tidak ada lurah ataupun pendampingan dari siapa pun. Dirinya harus masuk satu per satu dan tidak boleh berdiskusi dengan pemilik lahan lainnya.
“Semua harga dan totalnya sudah ditentukan oleh mereka, tidak ada negosiasi atau sosialisasi berapa yang kami dapat,” paparnya.
Jika dirinya tidak setuju, dia dipersilakan untuk konsinyasi di persidangan. Ia memahami sulitnya berjuang melalui persidangan dan pembiayaan yang cukup besar jika tidak setuju atas harga yang ditawarkan.
“Pernyataannya selalu begitu, kalau tidak setuju silakan saja bertemu di pengadilan, sedangkan kita tahu pasti lebih sulit lagi. Kami disuruh masuk ke ruangan satu per satu untuk tanda tangan dokumen yang sudah ada isi harga dan luasan yang dibayarkan,” terangnya.
Kendati demikian, Alfian tak akan berhenti meminta haknya untuk dibayarkan. Menurutnya, ganti rugi yang ia terima bukan ganti untung. Belum lagi, lahan tersebut merupakan satu-satunya lahan yang difungsikan untuk menafkahi dirinya dan keluarga.
“Sejak lahan itu di-land clearing, ya saya hanya kerja serabutan. Kerja dengan orang lain, jadi buruh tani, apa saja yang bisa dikerjakan. Sangat seret dan anjlok banget,” keluhnya.
Sebelumnya, Alfian mengandalkan penghasilan dari penjualan pisang yang dapat dipanen setiap 15 hari. Selain itu, juga ada sawit, jeruk, dan nangka. Akhirnya, ia harus mengandalkan kerja borongan bersama yang lainnya.
“Rumah pun kemungkinan akan kena pembangunan, walaupun sekarang masih aman,” ujarnya.
Besar harapan Alfian untuk mendapatkan haknya, meskipun hingga saat ini belum ada kepastian. Pembayaran di atas dibayarkan pada November 2023, dan tidak ada jaminan atau target pelunasan sama sekali.
“Kalau niat dibayar ya pasti dibayar, sudah setahun. Namanya mau asal ambil saja,” pungkasnya. (NAH)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Agus S