SAMARINDA – Jembatan kayu kecil yang memisahkan petak-petak keramba baru saja dilalui Prof Esti Handayani Hardi sebelum membuka kotak styrofoam putih. Betapa terkejutnya guru besar dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, tersebut. Ia mendapati berbagai jenis ikan sudah mati dengan total 70 kilogram. Ikan-ikan tersebut akhirnya diawetkan dengan es batu.
Rabu, 9 Juni 2021, Prof Esti mendatangi dua keramba di Jalan Jenderal Sudirman, Loa Kulu Kota, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Profesor termuda Unmul itu sudah membawa sejumlah peralatan untuk mengambil sampel. Sudah dua hari ini, air di Sungai Mahakam mengalami fenomena bangai. Prof Esti segera menuju sejumlah titik dan mengambil sampel. Dua tes yang paling cepat diketahui hasilnya adalah kadar oksigen di dalam air dan tingkat keasamannya.
Dari temuan sementara, air Sungai Mahakam yang bangai justru tidak asam. Tingkat keasaman atau pH-nya 8,5 alias basa. Sebagai informasi, skala asam-basa adalah 1-14 dengan keadaan netral 7. Skala 1-7 berarti asam, 7-14 berarti basa. Makin kecil angkanya, makin asam. Makin tinggi berarti makin basa.
“Jika pH air Sungai Mahakam 8,5, artinya cukup basa,” terang Prof Esti, sejenak setelah memeriksa air sungai kepada kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com.
Temuan air yang bersifat basa ini bertentangan dengan teori bangai yang disebabkan pembusukan material organik. Dalam teori tersebut, pembusukan bahan organik seperti tumbuhan, rerumputan, hingga sampah melibatkan mikroba dalam jumlah besar. Pada saat kemarau, mikroba melepaskan asam organik di samping menghabiskan oksigen dalam air.
Air sungai yang bangai karena keadaan tersebut biasanya memiliki kadar oksigen air rendah dan diiringi keasaman yang tinggi. Hipotesis ini selaras dengan penelitian berjudul Comparison of Relationships Between pH, Dissolved Oxygen and Chlorophyll a for Aquaculture and Non-aquaculture Waters (2011). Menurut artikel tersebut, biasanya ada linieritas antara pH dengan kadar oksigen dalam kondisi alam yang normal. Singkatnya, kadar oksigen yang turun drastis biasanya diikuti pula pH yang rendah (keadaan asam).
Hasil uji yang Prof Esti dapatkan tidak begitu. Kadar oksigen air Sungai Mahakam rendah sementara tingkat keasaman justru tinggi (basa). Prof Esti masih menyelidiki fenomena yang tak biasa ini.
“Kelihatannya ini bukan bangai biasa yang disebabkan proses pembusukan oleh mikroba. Besok, hasil uji total mikroba di air dan di ikan kami kerjakan untuk mendukung diagnosis saya,” jelasnya.
Prof Esti mengutip penelitian Warhdana WA pada 2001 untuk menjelaskan hipotesis awal fenomena ini. “Buangan limbah dapat mengubah ion hidrogen (pH) di dalam air menjadi lebih asam atau pun lebih basa, bergantung jenis limbah dan zat kimia yang terkandung di dalamnya.”
Data kedua yang diperoleh Prof Esti adalah kadar oksigen yang diukur dengan perkakas bernama dissolve oxygen meter. Angka dissolve oxygen menyatakan jumlah miligram oksigen yang terlarut dalam 1 liter air. Normalnya, dissolve oxygen di perairan Indonesia adalah 3 ppm (parts per million/bagian per juta). Hasil pengukuran di Sungai Mahakam, kadar oksigennya hanya 0,5 sampai 0,8 ppm.
“Sederhananya, kadar oksigen di Sungai Mahakam sangat rendah. Akibatnya, sungai berwarna cokelat kemerahan dan berbau menyengat. Inilah yang menyebabkan ikan mengapung dan megap-megap. Bahkan menimbulkan kematian,” terang guru besar berusia 40 tahun ini.
Fakta sementara yang lain, ditemukan bahwa tingkat kematian ikan di sejumlah keramba di Kukar mencapai 50 hingga 70 persen dari populasi. Prof Esti mengatakan, satu keramba berukuran 2 meter x 3 meter bisa berisi 1.500 ekor dengan berat rata-rata 150 gram sampai 300 gram per ekor. Jika tingkat kematian antara 50-70 persen, diperkirakan terdapat 750-1.000 ekor yang mati di satu keramba saja.
Jika tingkat kematian ini sama di banyak keramba di Kukar, jumlah ikan yang mati tentu amat tinggi. Menurut catatan Badan Pusat Statistik Kukar yang dimuat di Kukar Dalam Angka 2021, luas keramba di Kukar mencapai 41.428 hektare. Ada 7.359 rumah tangga perikanan dengan total produksi 70.520 ton ikan pada 2020. Kecamatan dengan produksi keramba tertinggi kebanyakan bersisian dengan Sungai Mahakam. Daerah tersebut di antaranya Loa Kulu (9.906 ton), Kota Bangun (9.032 ton), Loa Janan (7.811 ton), hingga Muara Kaman (7.018 ton).
“Paling banyak, ikan mas yang mati,” jelas Prof Esti. Sementara jenis nila, lele, dan patin berukuran besar, disebut masih bertahan. “Justru yang masih benih yang banyak mati,” sambungnya.
Kesimpulan dari penyebab bangai ini masih menunggu pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu diperiksa antara lain kandungan logam berat dalam air. Jenis logam yang diperiksa adalah kadmium, tembaga, merkuri, dan besi. Prof Esti bilang, hasilnya baru diketahui tiga hari mendatang. Itu sebabnya, Prof Esti belum bisa menyatakan, ikan aman dikonsumsi atau tidak.
“Menurut pendapat ahli, ini bukan fenomena alam biasa. Kami meminta tetap menunggu hasil lengkap dari laboratorium untuk kepastiannya,” tutup Prof Esty. (kk)