spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dua Tahun Jadi Badan Layanan Usaha, Asa UIN Sultan Aji Muhammad Idris setelah Berubah dari IAIN

SAMARINDA – Senyum semringah terpancar di wajah ketika salawat menggema di Auditorium Dzulhijah. Layaknya menerima kado terindah, kesabaran Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) itu berbuah manis. Kampus yang dinakhodainya sejak 2014 akhirnya menjadi universitas.

Pada Senin (31/5/2021), dalam acara syukuran alih status di Gedung Kampus II Jalan HAM Rifaddin, Kecamatan Loa Janan Ilir, Ilyasin membeberkan perjalanan panjang transformasi kampus yang dahulu berformat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan bermarkas di Jalan Abul Hasan, menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

Alkisah, pengajuan IAIN Samarinda menjadi universitas berangkat dari sebuah konvensi yang dilakukan Kementerian Agama pada 2014. Terdengar isu bahwa seluruh kampus IAIN yang terletak di pusat pemerintahan provinsi akan disiapkan menjadi universitas. Kampus pun memberanikan diri mengusulkan diri.

“Teorinya begitu, saat itulah kami semangat berbenah diri mengejar alih status. Ternyata tidak semudah yang kita kira,” ucap Ilasin kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com di sela-sela acara.

Bersamaan Samarinda, 11 kampus dari berbagai daerah mengajukan diri menjadi universitas. Proposal pun dikirim pada 2015. Akan tetapi, satu per satu kampus tereliminasi karena gagal memenuhi syarat administrasi. Kebijakan alih status ternyata tidak berhenti di Kementerian Agama. “Kelengkapan administrasinya diminta beberapa kementerian. Fluktuatif juga,” sambungnya.

Tim pengusul pun harus menghadapi tiga kementerian. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Kemensesneg, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan/RB) untuk memenuhi syarat administrasi.

Waktu kian berlalu dan berkas mulai diperiksa satu per satu. Di meja Kemenpan/RB dan Kemenkumham, 11 kampus tereliminasi menjadi sembilan pada 2018. Tiga lagi tersingkir karena visitasi dan pemeriksaan Kementerian Agama pada 2019.

Syarat yang diperlukan memang tidak sedikit. Dari aspek akademik, kampus seminimalnya memiliki empat guru besar dan dua program studi yang sudah terakreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-BPT). Dari aspek simbolik, kampus diminta melengkapi mars, hymne, logo, dan nama universitas.

Selain itu, luas tanah, jumlah pegawai, kepangkatan dosen, dan prestasi akademik kampus juga diperiksa. Kementerian bahkan meminta analisa prospek dan target kualitas lulusan ketika kampus kelak menjadi universitas. Berkas pun digodok berulang kali. Perlu waktu lima tahun bagi IAIN mengantongi restu Presiden Joko Widodo.

“Prosesnya sangat rumit, kompleks dan dinamis. Intinya memang harus serius dan sabar, karena memang tidak instan agar bisa menjadi UIN,” imbuh Ilyasin. “Banyak indikator yang tidak bisa direkayasa atau dimain-mainkan,” ungkapnya.

Titik terang pun terlihat ketika medio 2018. Beberapa syarat yang termaktub dalam Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang pendirian, perubahan, pembubaran, dan pencabutan izin perguruan tinggi keagamaan telah dilengkapi. Tetapi satu komponen penting masih tersisa: nama universitas.

Alhasil, beberapa nama tokoh dan pahlawan dipertimbangkan. Mulai pahlawan perjuangan hingga pemuka agama. Satu nama kemudian mengerucut baru pada akhir 2018.

Kala itu, kampus dengan almamater hijau tua tersebut mengundang beberapa tokoh masyarakat. Salah satu tokoh yang datang adalah mantan Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak.

Awang mengajukan Sultan Aji Muhammad Idris untuk dijadikan nama universitas. Sang Sultan dilihat sebagai seorang tokoh perjuangan yang turut andil melawan Belanda di Sulawesi.

“Beliau sangat mendorong (pengajuan nama tersebut), hingga sekarang nama ini sudah mendapat rekomendasi dari kesultanan Kukar dan Pemprov Kaltim,” terangnya.

“Karena harapannya (pengajuan nama itu) memperkuat usulan Pemprov agar Sultan Aji Muhammad Idris menjadi pahlawan nasional,” beber Ilyasin.

Beberapa waktu lalu, Awang Faroek mengatakan sudah sepatutnya nama Sultan Aji Muhammad Idris menjadi nama universitas di Kaltim. Hal itu diungkapnya saat menghadiri seminar calon pahlawan nasional di sebuah hotel berbintang di Jalan Pangeran Diponegoro, Samarinda. “Mudah-mudahan terealisasi,” ucapnya, 9 April 2021.

Usaha yang dilakukan Ilyasin dan kawan-kawan berbuah manis, Kamis (11/5/2021). Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2021 tentang perubahan bentuk keenam Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri.

Perpres yang diterbitkan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) itu resmi mengangkat enam IAIN lain di penjuru negeri. Empat terletak di Pulau Jawa, satu di Sumatera, dan satu di Kaltim. IAIN Samarinda resmi berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris.

Ilyasin mengatakan akan melakukan beberapa upaya meningkatkan kapasitas UIN Sultan Aji Muhammad Idris. Beberapa di antaranya fasilitas kampus, penambahan dosen, dan program studi baru.

“Sudah dirancang, Fakultas Saintek. Lokasinya di sini (Kampus Samarinda Seberang) dan Program S3 Pendidikan Agama Islam, tinggal menunggu akreditasi BAN-PT,” ucapnya.

UIN Sultan Aji Muhammad Idris mempunyai tugas besar. Kampus ditarget bisa mengembangkan pembiayaan melalui konsep Badan Layanan Usaha (BLU) pada 2023. Sebagai universitas, kampus, sebutnya, dituntut untuk independen atau memiliki pemasukan sendiri.

“Karena kalau sudah BLU bisa mandiri dalam pengelolaan kampus. Sekarang kan masih mengikuti konsep Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” imbuhnya. “Tugas besar kita disitu, mudah-mudahan tercapai,” pungkas Ilyas. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti