spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Bugis dan Dayak di Pelaminan

Catatan Rizal Effendi

SABTU (20/7)  kemarin ada dua prosesi pernikahan yang menarik. Pernikahan adat Bugis dan pernikahan adat Dayak. Yang satu berlangsung di Makassar dan satunya lagi diselenggarakan di Samarinda. Dua-duanya saya diundang. Tapi saya tak bisa hadir yang di ibu kota Provinsi Sulsel,  melainkan  hanya bisa menghadiri yang di ibu kota Provinsi Kaltim.

Perkawinan adat Bugis itu dilaksanakan oleh keluarga dokter, yakni keluarga dr H Aspian Noor SpOG dan dr Hj Andi Sri Juliarty, M.Kes (Dio) dengan keluarga Dr dr H. Andi Muh Nasser Mustari, Sp.OT dan Prof Dr dr Hj Haerani Rasyid, M.Kes.,Sp.PD.

Putra tunggal dr Aspian dan dr Dio, dr Mochammad Ghazian Nugraha (Uga) mempersunting  dr Andi St Nurul Haerunnisa Nasser (Chaca), putri ketiga Dr Nasser dan Prof Haerani.

Uga saat ini tengah menempuh program pendidikan dokter spesialis obstetri ginekologi di Unhas, sedang Chaca mengemban tugas sebagai dokter intership di RSUD Maros, Sulsel.

Dokter Dio, sang ibu sangat dikenal di Balikpapan. Dia adalah asisten III Pemkot Balikpapan, yang sebelumnya adalah kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK). Saat Covid mewabah, dr Dio seperti “panglima putri” yang selalu berada di lapangan dan dibutuhkan warga. Sedang dr Aspian, di antaranya bertugas di RS Pertamina Balikpapan sebagai dokter spesialis obsgyn.

Besan mereka tak kalah hebatnya. Dr Nasser adalah dokter spesialis ortopedi di RS Labuang Baji Makassar sedang istrinya, Prof Hj Haerani Rasyid adalah dekan Fakultas Kedokteran Unhas.

Acara adat pernikahan dan resepsi dr Uga dan dr Chaca berlangsung di Hotel Claro Makassar, pada Jumat malam dan Sabtu kemarin.  Mereka juga akan menggelar resepsi kedua di Balikpapan Sport & Convention Centre (Dome) pada Sabtu (27/7) mendatang. Mudah-mudahan saya dan istri dapat menghadiri yang di Dome. Juga rencananya Ketua KKSS Ir Adam Sinte.

Namanya keluarga dokter yang punya hajat, maka tamu dan undangan pun sebagian dari para dokter dan keluarga kesehatan. Juga dari kalangan kampus terutama keluarga besar Fakultas Kedokteran Unhas. Ada juga keluarga besar kedua pasangan dan berbagai tokoh adat.

Yang menarik rombongan dari Balikpapan. Jumlahnya tak kalah banyak. Wali Kota Balikpapan H Rahmad Mas’ud dan istrinya Hj Nurlena membawa hampir seluruh pejabat. Begitu juga Ketua DPRD Balikpapan Abdulloh dan istrinya Yuli bersama sejumlah anggota Dewan. Sambil mengadakan rapat, Jumat (20/7), mereka melanjutkan menghadiri undangan dr Dio.

Kegiatan ritualnya diawali dari acara mappaci. Dipandu MC Dhani yang diboyong dari Balikpapan. Dhani sempat mengirim WA ke saya menggambarkan suasananya yang menarik. “Acara mappacci-nya saja seperti suasana resepsi,” kata Pak Bakhtiar, yang istrinya pejabat di DKK.

Mappacci adalah salah satu rangkaian adat perkawinan masyarakat Bugis. Mappacci atau mappaccing berasal kata “paccing,” yang berarti bersih. Jadi suatu proses untuk membersihkan diri dari segala sesuatu sebelum acara pernikahan.

Ritual mappaci dilakukan dengan cara meletakkan daun pacci (daun pacar) di telapak tangan calon mempelai. Diiringi doa. Maknanya berisi pesan untuk membersihkan raga dan kesucian jiwa sebelum memasuki bahtera rumah tangga.

Dalam undangan, saya lihat ada juga acara marola atau mapparola. Sebenarnya itu acara kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya.

Karena mempelai prianya tinggal di Balikpapan, maka acara mapparola-nya cukup di Hotel Claro saja. Dari Phinisi Hall menuju Sandeq Ballroom C. Tetapi acaranya tetap menarik dan penuh pernak-pernik suasana adat.

Yang tak kalah menariknya adalah acara Mappasikarawa. Ini dilakukan setelah ijab kabul. Yaitu mempelai pria memegang bagian-bagian tubuh mempelai wanita sebagai tanda bahwa keduanya sudah sah untuk bersentuhan. Senyum dan tawa mewarnai acara ini.

Saya tak bisa membayangkan betapa lezatnya aneka makanan ala Bugis yang disajikan. Mulai coto makassar, bolu peca sampai barongko. Lebih seru lagi kalau ada songkolo.

PEKIBAN ADAT KENYAH

Acara di Samarinda adalah perkawinan Stefanus Frara, S.Ak, putra kedua keluarga Franklin Wahyono dan Ibu Ratnawati dari Dayak Lundayeh dengan Maria Margareta Alahcoq Aping, SH, putri kedua  Bang Unjin dengan Ibu Baun Libut dari Dayak Kenyah.

Acara mereka berawal dengan pemberkatan di Gereja Katedral Santa Maria Penolong Abadi di Jl Jend Sudirman Samarinda, diteruskan dengan pengukuhan pernikahan secara adat Kenyah di Hotel Puri Senyiur dan dilanjutkan resepsi di tempat yang sama.

“Mohon hadir, ya Pak, sang mempelai adalah keponakan saya,” kata Betharia, anggota DPRD Kukar dari Fraksi PDI Perjuangan.

Saya memang hadir. Ada juga Ketua Umum Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Syaharie Ja’ang, yang juga mantan wali Kota Samarinda. Menyusul kemudian Danrem 091/ASN Brigjen TNI Anggara Sitompul.

Suku Dayak Lundayeh merupakan salah satu sub-suku Dayak yang mendiami kawasan Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sedang suku Kenyah adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Apokayan, yang berasal dari dataran tinggi Usun Apau, daerah Baram, Belaga Sarawak.

Melalui Sungai Iwan sebagian bergerak ke daerah Apokayan dan sebagian lagi menuju daerah Bahau. Lalu pergerakan suku ini menuju ke hilir dan akhirnya ke daerah Mahakam sampai menetap di Kampung Pampang, Samarinda yang  terkenal itu.

Seni budaya suku Kenyah sangat halus, unik dan menarik, sehingga ragam seni hiasnya banyak dipakai pada ornamen bangunan-bangunan di Kaltim. Juga seni ukiran, motif busana sampai seni tari dan gaya hidup, yang bernilai tinggi.

Acara adat perkawinan suku Dayak Kenyah dikenal dengan sebutan Pekiban. Sejak 2019 Pekiban telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Indonesia. Waktu Kapolda Kaltara Irjen Daniel Adityajaya menikahkan putranya, Johan Nathaniel Ega dengan Elva Waniza, putri Kepala Adat Besar Apau Kayan, Ibau Ala, Mei 2024 lalu, ritual Pekiban digelar sangat marak.

Prosesi Pekiban dipimpin oleh ketua adat. Ada pemasangan gelang manik, penyerahan mandau, taweq (gong yang diduduki kedua mempelai), hiasan manik-manik (aban), beloko aban (topi), antang (guci), piring putih, tikar lampit sampai rantai besi.

Semua mengandung makna dan filosofi kehidupan yang dalam. Menjaga keutuhan keluarga, tahan bantingan kehidupan, sampai berjuang mencapai kehidupan keluarga yang sejahtera, bahagia, dan sarat kesinambungan.

Saya beruntung bisa menyaksikan prosesi acara perkawinan suku Dayak Kenyah dipadu Dayak Lundayeh. “Ini adat budaya nenek moyang kami, yang harus dijaga dan dipelihara sampai kapan pun,” kata Syaharie Ja’ang.

Betaria banyak menjelaskan kepada saya adat perkawinan keluarga suku Dayak Kenyah. Dia salah seorang wanita Kenyah yang sangat maju. Menjadi anggota Dewan dan berpendidikan tinggi. “Bulan depan saya akan menyelesaikan program S3 saya di Surabaya,” katanya bersemangat. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti