SAMARINDA – Sekitar 95 persen listrik di Kaltim disalurkan oleh jaringan besar bernama Sistem Mahakam. Lewat sistem ini, setrum dari sejumlah pembangkit didistribusikan ke wilayah Paser, Penajam Paser Utara (PPU), Balikpapan, Samarinda, Kutai Kartanegara, Bontang, hingga Kutai Timur. Sistem Mahakam setiap detik bertugas mengirimkan tenaga listrik yang amat besar. Akan tetapi, sistem ini sesekali bisa pingsan. Dan itu merepotkan.
Teknologi paling dasar dari Sistem Mahakam –dan sistem serupa di seluruh dunia– sebenarnya adalah arus listrik bolak-balik (AC). Nikola Tesla yang menemukannya pada akhir abad ke-19. Kelebihan listrik arus AC adalah tinggi-rendah tegangannya dapat diatur menggunakan trafo atau gardu.
Kelebihan ini memungkinkan listrik dikirim jarak jauh tanpa banyak daya yang hilang di perjalanan. Syaratnya, tenaga listrik harus dikirim dalam tegangan tinggi. Sistem Mahakam memakai tegangan 150.000 volt. Trafo dan gardu kemudian menurunkan tegangan, biasanya menjadi 220 volt saja, sebelum setrum masuk ke rumah-rumah pelanggan.
Tenaga listrik yang dikirim jarak jauh biasanya melayani banyak orang sehingga memerlukan banyak pembangkit. Maka dibangunlah sebuah sistem transmisi listrik bernama interkoneksi. Secara sederhana, interkoneksi dikenal sebagai jaringan transmisi yang melibatkan banyak pembangkit untuk melayani wilayah yang luas. Persis seperti Sistem Mahakam.
Interkoneksi seperti Sistem Mahakam punya banyak keunggulan. Salah tiganya ialah mampu mengirim tenaga listrik secara efisien dan aman, mudah menggabungkan banyak pembangkit listrik di wilayah berbeda, serta bisa melayani kawasan yang luas. Interkoneksi terbesar di Indonesia adalah sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali. Beban puncaknya mencapai 20 ribu megawatt. Sistem Mahakam “hanya” 481 MW.
Meskipun beban puncak Sistem Mahakam hanya 3 persen dari sistem Jawa-Madura-Bali, ia tetaplah interkoneksi satu-satunya dan terbesar di Kaltim. Sistem Mahakam diperkuat pembangkit jumbo yang tersebar di sejumlah wilayah. Di antaranya PLTU Teluk Balikpapan (2×110 MW), PLTG Kaltim Peaking (2×50 MW), PLTGU Tanjung Batu (60 MW), PLTU Embalut (50 MW), PLTG Sambera (2×20 MW), dan beberapa pembangkit diesel. Seluruh tenaga listrik tegangan tinggi yang disalurkan lewat Sistem Mahakam diatur 16 gardu induk dengan total 33 trafo (Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah Kaltim 2019-2038, dokumen PDF, 2018, hlm iv-13).
Selalu ada konsekuensi dari setiap kelebihan. Sistem interkoneksi berteknologi listrik AC harus dijaga frekuensinya yaitu 50 hertz. Sebagian besar peralatan listrik di Indonesia memang dirancang untuk bekerja di frekuensi tersebut. Apabila frekuensi naik atau turun terlalu banyak, perkakas elektronik pasti rusak.
Masalahnya, sekaligus kelemahan interkoneksi, kestabilan frekuensi amat bergantung dua hal; suplai (masukan) dan konsumsi (keluaran) listrik. Suplai adalah tenaga listrik yang dihasilkan pembangkit sedangkan konsumsi adalah beban listrik yang dipakai pelanggan. Suplai dan konsumsi ini harus seimbang setiap saat agar frekuensinya stabil 50 hz.
Kereta kuda dapat dijadikan amsal buat menggambarkan hubungan antara frekuensi, suplai, dengan konsumsi listrik. Kuda, sebagai penghasil tenaga, adalah analogi dari pembangkit listrik. Kuda menggunakan tali (interkoneksi) untuk menarik kereta. Adapun para penumpang di atas kereta, adalah pelanggannya (konsumsi atau beban listrik). Kereta berpenumpang yang ditarik beberapa kuda akan berjalan dalam kecepatan tetap. Kecepatan inilah yang disebut frekuensi.
Pada suatu waktu, kecepatan kereta (frekuensi) dapat berubah tiba-tiba manakala jumlah kuda penarik atau jumlah penumpangnya berubah. Bisa berkurang atau bertambah. Contohnya, kuda penarik (pembangkit) yang berkurang satu akan menyebabkan kecepatan kereta (frekuensi) turun. Begitu sebaliknya, jumlah penumpang (beban/konsumsi) yang bertambah mengakibatkan kereta melamban. Jika terus-menerus dibiarkan, kereta akan berhenti total. Inilah awal mula blackout (pemadaman total).
Dalam sistem interkoneksi, perubahan frekuensi dapat disebabkan berhentinya suplai dari satu pembangkit. Bisa pula karena konsumsi atau beban tiba-tiba naik. Frekuensi yang turun atau naik dalam sekejap akan memengaruhi kinerja pembangkit listrik. Pembangkit bisa tidak sanggup memikul beban atau malah kelebihan menghasilkan daya. Pada saat itu terjadi, sistem interkoneksi sudah diatur sedemikian rupa agar pembangkit satu per satu otomatis melepaskan diri atau keluar dari sistem interkoneksi. Jika tidak keluar dari sistem, pembangkit bisa rusak. Ibarat kuda, ketika terus-menerus dipaksa menarik beban berlebihan bisa mati (diolah dari Pelepasan Beban dengan Under Frequency Relay pada Sistem Distribusi PT DSS Power, Jurnal Seminar Nasional Teknik Elektro, 2018, hlm 54).
Yang terjadi setelah pembangkit-pembangkit keluar dari interkoneksi itu adalah blackout. Demikianlah Sistem Mahakam bisa pingsan delapan jam pada Kamis, 27 Mei 2021. Sistem ini sebenarnya kehilangan pasokan daya dari pembangkit-pembangkitnya.
Masalah berikutnya dalam sistem interkoneksi adalah tidak semua pembangkit listrik seperti kuda yang bisa kapan saja menarik kereta. Pembangkit listrik, selain yang bertenaga diesel (PLTD), tidak begitu. Pembangkit batu bara dan gas (PLTU) perlu persiapan untuk masuk ke sistem interkoneksi. Inilah repotnya.
General Manager PLN UIW Kaltimra, Saleh Siswanto, mengatakan bahwa pembangkit batu bara dan gas perlu lima sampai delapan jam untuk pulih. Pembangkit-pembangkit tersebut harus memanaskan boiler untuk memproduksi tenaga listrik lagi. Setelah air dalam ketel panas sempurna dan menghasilkan uap untuk menggerakkan turbin, pembangkit baru boleh masuk Sistem Mahakam lagi.
Panjangnya masa bagi Sistem Mahakam untuk siuman menyebabkan pemadaman total bisa berlangsung seharian. Padahal, sistem ini melayani konsumen paling banyak di Kaltim. Pada 2018 saja, sekitar 600 ribuan dari 828 ribu pelanggan PLN di Kaltim menerima aliran listrik dari Sistem Mahakam. Pingsannya Sistem Mahakam mengganggu aktivitas sekitar 80 persen warga Bumi Etam.
Kembali mengutip keterangan pers Saleh Siswanto dari PLN UIW Kaltimra, blackout pada Kamis disebabkan gangguan transmisi di gardu induk Tengkawang (Samarinda) dan Embalut (Kutai Kartanegara). Jenis gangguan yang dimaksud belum bisa dipastikan karena PLN masih menginvestigasi. Yang jelas, menurut teorinya, blackout terjadi karena suplai dari pembangkit bertambah atau berkurang tiba-tiba, bisa pula karena beban dari konsumsi pelanggan naik atau turun tiba-tiba. Perubahan sekejap itu dapat mengubah frekuensi.
Ada berbagai kejadian yang bisa menimbulkan perubahan frekuensi listrik. Bisa karena gangguan alam di fasilitas saluran udara tegangan tinggi, pembangkit yang tiba-tiba terhenti, atau masalah lain seperti kelalaian prosedur operasi. Yang pasti, masyarakat Kaltim-lah yang paling banyak menerima kerugiannya. (kk)