JAKARTA – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) gelar workshop Urgensi Pedoman Pemberitaan Kekerasan Seksual Bagi Jurnalis bersama Kedubes Australia terkait dengan bentuk pemberitaan kekerasan seksual yang masih bias gender. Terutama pada pemberitaan kekerasan seksual yang korbannya paling banyak adalah perempuan. Workshop ini diadakan di Kantor IDN Times, Kamis (20/06/2024).
Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan bahwa pemberitaan yang bertajuk kekerasan seksual dan isu seksual memiliki nilai jual tinggi, utamanya bagi media online. Menurutnya, narasi pemberitaan yang mengangkat kasus kekerasan seksual masih belum responsif gender.
“Pemberitaan tentang kekerasan seksual di media juga mengandung kerentanan dan risiko terhadap perlindungan korban itu sendiri,” ungkapnya.
Ninik mengatakan Dewan Pers telah melakukan riset pada tahun 2022 kepada 9 media online paling populer terkait dengan penerapan etika jurnalis berperspektif korban dan responsif gender. Hasilnya masih banyak ditemui narasi pemberitaan yang belum memenuhi etika tersebut.
“Masih ditemukan bias gender dan minimnya perlindungan korban dalam berbagai pemberitaan media,” ujarnya.
Begitu pun, Ninik paparkan media-media tersebut masih minim melakukan pemberitaan yang berkaitan dengan perlindungan korban. IA jelaskan bahwa masih banyak pemberitaan yang memunculkan kata kunci terkait identitas korban, detail kronologi secara vulgar atau replikasi kekerasan, juga penghakiman pada korban dan penghukuman.
“Media-media siber paling banyak terindikasi mengungkap identitas korban. Masih banyak media yang belum memahami dan mengetahui kode etik jurnalistik, khususnya dalam berita kekerasan seksual. Media terkesan menggiring pembaca untuk turut mendiskriminasi korban, stereotyping, dan menghakimi korban,” urainya.
Ninik menjelaskan berdasarkan temuan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, media masih belum memenuhi kaidah jurnalistik. Salah satunya, masih mencampur adukkan antara fakta dan opini, mengungkapkan identitas korban, termasuk mengungkap identitas pelaku anak.
“Isi berita (content analysis) media masih menggiring pembacanya untuk membuat stereotip dan menghakimi korban,” tegasnya.
Bahkan menurut Ninik pemberitaan online masih menormalisasi kekerasan seksual dalam konten pemberitaannya. Termasuk menyudutkan dan menyalahkan korban perempuan, sehingga kekerasan seksua dianggap sebagai hal yang wajar.
“Media Komnas Perempuan pada Tahun 2010 juga melakukan kajian terhadap 8 media cetak yang hasilnya bahwa ruang pemberitaan bagi isu perempuan masih sangat terbatas. Perhatian media pada isu perempuan masih lebih sebagai isu pinggiran,” ujarnya.
Ia terangkan media online masih bersifat adhoc, hal ini berdasarkan peningkatan ruang pemberitaan bagi isu perempuan terkait peringatan peristiwa atau isu tertentu. Pada saat bersamaan situasi ini mengukuhkan potensi media merawat ruang ingatan publik pada kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa bersejarah Indonesia.
“Isu kekerasan masih mendominasi pemberitaan tentang isu perempuan. Di satu pihak menggambarkan kemendesakan isu perempuan, namun di sisi lain tidak mampu mengungkap kompleksitas isu perempuan,” tegasnya.
Ninik menegaskan lebih dari dua pertiga pemberitaan kasus kekerasan seksual terjadi pada perempuan. Kurang lebih sebanyak 83 persen yang memberitakan terkait isu perempuan dan baru 50 persen yang memenuhi etika dan hak korban.
“Peliputan tentang isu pornografi cenderung mengabaikan proses praduga tidak bersalah, ikut menempatkan isu pornografi sebagai isu moralitas dan bukan isu kekerasan seksual dan menempatkan perempuan sebagai komoditi berita dan subjek mata,” paparnya.
Belum lagi, Ninik jelaskan sejumlah media belum menggunakan diksi yang sesuai untuk kasus kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan. Kerap kali ditemukan diksi yang mengganti kata pemerkosaan yang malah menempatkan sebagai isu moral saja.
Ia berharap ke depannya para pemimpin redaksi ataupun pemilik media dapat memberikan atensi dan dukungan pada perlindungan korban kekerasan seksual. Salah satunya dengan melakukan kontrol ketat atas pemberitaan kekerasan seksual.
“Organisasi wartawan dapat memberikan pelatihan maupun sertifikasi jurnalistik berperspektif perlindungan korban dan responsive gender khususnya dalam pemberitaan kekerasan seksual,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Ninik tegaskan sangat dibutuhkannya multistakeholder untuk menggugah kepedulian pada setiap insan pers. Utamanya untuk mendorong hadirnya pedoman pemberitaan kekerasan seksual bagi Jurnalis.
“Diharapkan, kegiatan-kegiatan kolaboratif bisa dilaksanakan lebih banyak lagi ke depan dengan adanya harmonisasi yang sejalan. Dengan demikian, aksi-aksi kolaborasi ini bisa mendorong hadirnya Pedoman tentang Pemberitaan Kekerasan Seksual bagi Jurnalis.
Workshop tersebut menghadirkan Keynote speaker Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu, Senior Program Manager, Gender, Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) Unit Governance and Human Development Branch – The Australian Embassy Indonesia Lisa Noor Humaidah. Sedangkan pembicara workshop tersebut antara lain Ketua Umum FJPI Uni lubis, Kanit PPA Bareskrim Polri AKBP Ema Rahmawati dan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. (rls/NAH)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Agus S