KUTAI BARAT – Bantuan pemerintah untuk perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) di Kampung Siram Makmur, Kecamatan Bongan kabupaten Kutai Barat (Kubar) Provinsi Kaltim dinilai tidak tepat sasaran.
Pasalnya, sejumlah warga mengatakan, bantuan yang diberikan melalui dana desa itu justru disalurkan untuk rumah yang sudah layak. Sementara rumah-rumah yang terancam roboh malah terabaikan.
Contohnya, rumah milik Sumaryanto dan Suhartiah di RT 02. Dua rumah itu dibangun pemerintah melalui program transmigrasi tahun 1997 silam, kondisinya mulai hancur di bagian lantai, dinding dan dapur.
Alih-alih mendapat bantuan, Suhartiah seorang janda tua dan Sumaryanto yang mengandalkan kerja serabutan harus berjuang sendiri untuk bisa memperbaiki rumah mereka.
”Sampai sekarang enggak ada bantuan sama sekali. Sampai hari gini masih rumah Transmigrasi. Selama di sini, keadilan yang ngga ada. Malah yang menerima bantuan ini orang berada,” kata Sumaryanto dan istrinya Watini, saat dikonfirmasi di Siram Makmur Selasa (11/6/2024).
”Rumah ini lantainya sudah dimakan rayap, pagar juga sudah dimakan rayap belum bisa mengganti. Seharusnya yang dapat bantuan ini rumah tidak layak jadi layak huni. Kalau caranya kayak gitu rumah reot ya tetap reot terus yang bisa membangun cepat jadi. Sementara kita juga kepingin kayak gitu susahnya enggak ketulungan,” tambah Suhartiah.
Rumah tak layak juga terdapat di RT 03. Rumah yang isinya bak kapal pecah itu hanya menyisakan dinding keliling. Sedangkan kamarnya sudah hancur. Yuliana Sari dan suaminya mengaku selama ini hanya didata namun tidak pernah mendapat bantuan.
”Saya enggak dikasih, padahal sama aja keadaan seperti ini. Orang-orang itu saya lihat pilih kasih di sini. Rumah dan hidup kami begini saja (kurang mampu) didata terus tapi enggak pernah ada apa-apa,” katanya.
”Bukan saya iri, coba kalau kasi bantuan itu yang ratalah. Yang ku lihat malah yang sudah bangun rumah setengah jadi itu dibantu. Nanti kalau kirimkan data ke sana yang dapat bukan saya juga,” tambah dia.
Kondisi tak jauh beda dialami Benediktus Ben dan Sarbani. Kedua lelaki yang menjadi ketua RT 4 dan RT 6 itu hanya bisa mengelus dada meratapi nasib kurang beruntung karena rumah mereka tak masuk kategori yang layak dibantu. Padahal dari sisi kenyamanan, keselamatan dan MCK sudah tak layak.
”Untuk makan saja susah apalagi (bangun rumah). Kalau terhadap masyarakat (penerima bantuan) katanya ada tapi siapa yang dapat enggak tahu juga,” ungkap Sarbani.
”Yang rumah transmigrasi ini kalau menurut orang menengah ke atas ini nggak layak huni. Tapi saya tidak paham rumah beton yang dibantu. Kemarin ibu-ibu sempat diusir karena singgung (bantuan RTLH). Katanya rumahku mau roboh enggak dibantu, itu langsung disuruh keluar dari kantor desa,” ujarnya.
Warga kurang mampu di Siram Makmur makin gigit jari karena Kepala Desa, Pius Ola dianggap salah kaprah dalam memahami program bantuan rumah layak huni. Yang harusnya rumah tidak layak huni dibantu agar layak huni malah diterjemahkan sebaliknya.
Menurut Pius, jika rumah tidak layak huni yang dibantu sama dengan membuat rumah makin tidak layak ditempati.
Ola mendasari pemikiran keliru itu hanya karena pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 menyebut rumah layak huni, bukan rumah tidak layak huni.
Sehingga dia menerjemahkan secara lurus, rumah layak hunilah yang dibantu atau orang yang tengah membangun rumah layak huni. Sedangkan rumah tidak layak huni tidak akan dibantu.
Dia berdalih bagi masyarakat yang belum membangun maka tidak akan diberikan bantuan dengan alasan takut disalahgunakan.
”Jadi bunyinya itu rumah layak huni, boleh dibantu per rumah itu Rp 10 juta. Jadi yang dibantu rumah layak huni bukan tidak layak huni, ada regulasinya. Bapak bilang rumah tidak layak huni dibangun untuk orang, pengertiannya jadi begini saya buat makanan tidak layak makan untuk dimakan orang,” jelas Pius menyalahartikan program untuk warga kurang mampu tersebut.
”Kalau ada aturan mengatakan bahwa membangun rumah tidak layak huni untuk dihuni, sama artinya dengan kita membuat makanan tidak layak makan untuk dimakan oleh balita. Regulasinya di sini jelas bantuan rumah layak huni bukan rumah tidak layak huni. Nah rumah layak huni itu bantuannya maksimal Rp 10 juta maka sasarannya itu orang yang sedang membangun,” tambah Pius.
Menurut Kementerian Sosial, indikator RTLH antara lain rumah yang tidak permanen atau rusak, dinding dan atap dari bahan yang mudah rusak atau lapuk, lantai tanah atau semen dalam kondisi rusak, dan rumah yang tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci, dan kakus.
Sayangnya, kriteria ini diabaikan Pius Ola, yang menyebabkan ketidakadilan dalam penyaluran bantuan.
Ironinya, di tengah berbagai keluhan warga kurang mampu, Pius malah dengan gagah mengaku dialah yang paling kaya di kampung Siram Makmur.
”Kebetulan orang kaya di Siram Makmur ini hampir enggak ada, kalau ada yang bilang saya kaya mungkin saya satu-satunya. Karena saya pernah dibantu oleh petinggi sebelumnya saya tolak. Kalau ada yang bilang saya kaya, saya aminkan dan mudah-mudahan benar,” klaim pria asal Lembata NTT tersebut.
”Sedangkan yang lain, warga saya ini saya akrab dengan mereka, saya cium aroma tubuh mereka saya tahu betul bau keringat mereka,” tandasnya.
Pengakuan Pius ini membuat warganya makin murka. Mereka bahkan menyentil gaya hidup Pius yang makin nyentrik setelah jadi petinggi. Warga yang tak ingin namanya disebut mengatakan, Pius Ola bisa membeli mobil mewah hingga beberapa bidang tanah setelah jadi petinggi.
”Kita enggak pernah urus pribadi orang apa lagi iri dengan kehidupan Petinggi, mungkin itu rezekinya dia. Cuma yang kita lihat setelah jadi petinggi sekitar tiga tahun ini bisa beli mobil mewah, kalau enggak salah sudah 4 mobilnya. Ada juga beli tanah dan kebun sawit yang kami dengar itu sekitar 15 hektare,” imbuh seorang pria yang meminta namanya dirahasiakan.
Untuk itu mereka meminta Inspektorat, BPKP dan aparat berwajib mengaudit penggunaan dana desa di Siram Makmur. Lantaran selain RTLH yang tidak tepat sasaran, pengelolaan dana desa sekitar 7 Miliar rupiah sejak tahun 2021 banyak digunakan untuk program mubazir.
Seperti air bersih, kebun desa hingga lapangan olahraga yang tambal sulam di tempat yang sama.
Pewarta: Ichal
Editor : Nicha R