Provinsi Kaltim merupakan daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, empat dari 10 pengekspor batu bara terbesar Indonesia berasal dari Kaltim. Keempatnya adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT Indominco Mandiri.
Dengan demikian, Kaltim amat terpukul karena India adalah pasar ekspor terbesar kedua batu bara Bumi Etam. Ekspor batu bara Kaltim ke India memiliki pangsa 26,79 persen dari total ekspor provinsi ini pada 2019 sebagaimana Laporan Perekonomian Kaltim 2019 dari Bank Indonesia.1.
Masih banyak lagi tekanan bagi kinerja perusahaan tambang di Kaltim. Sudah hampir setahun, harga batu bara internasional belum beranjak dari USD 55 per ton. Menurut bursa ICE Newcastle sebagai salah satu acuan harga batu bara global, komoditas tersebut sudah menyentuh USD 52,4 per ton pada pertengahan Juli 2020. Dibandingkan tahun lalu, harga batu bara internasional terjun 35 persen.
Tekanan selanjutnya adalah harga gas bumi sebagai komoditas energi primer yang sedang murah-murahnya. Ketika ditambah dengan situasi India dan pasar ekspor Tiongkok yang masih lesu, pasokan batu bara di seluruh dunia saat ini benar-benar berlebih atawa oversupply. Beragam situasi di atas diperkirakan mendorong harga batu bara dunia terjerembab semakin dalam.
BACA JUGA:
Ekspor Batu Bara ke India Melorot, Mengancam Industri Pertambangan di Kaltim
Badai Batu Bara India, Ancaman PHK di Kaltim Menanti
Kaltim Kehilangan Pembeli Batu Bara, Ekonomi Bisa Lumpuh
Lewat keterangan tertulis, Arif Hadianto selaku corporate communication manager PT Berau Coal, mengakui bahwa bisnis batu bara saat ini penuh dengan tekanan. Berau Coal sebagai pemegang perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dengan konsesi terbesar di Kaltim memiliki target pasar ekspor ke Tiongkok dan India.
Kondisi di kedua negara ini, industri hulu seperti pembangkit listrik belum pulih karena pandemi. Lagi pula, India dan Tiongkok lebih memprioritaskan batu bara domestik ketimbang mengimpor dari Indonesia untuk menghidupi pembangkit listrik mereka.
“Pada akhirnya, batu bara Indonesia belum banyak terserap pasar. Sukar sekali mencari pembeli sehingga permintaan dan penawaran untuk komoditas ini tidak seimbang,” jelas Arif, Rabu, 22 Juli 2020.
Sebagaimana anggota APBI yang lain, Berau Coal merespons situasi ini dengan menurunkan volume produksi. Langkah tersebut dipilih supaya oversupply batu bara di pasar dunia tidak semakin lebar.
“Perusahaan juga mengambil berbagai langkah efisiensi. Ancaman terbesar memang PHK (pemutusan hubungan kerja) namun itu adalah pilihan terakhir,” jelas Arif. Berau Coal meminta permakluman dari pemangku kepentingan terhadap situasi ini. Sebagai contoh, perusahaan mesti mengurangi nilai tanggung jawab sosial (CSR). (fel/red)