spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pandangan Sekilas Atas Drama Korea

Awalnya adalah pandangan kelompok positivistik-objektif dalam melihat sebuah teks atau bahasa. Bagi kelompok ini, bahasa adalah perkara gramatika. Berbahasa yang baik dan benar adalah berbahasa yang sesuai dengan tata bahasa yang berlaku. Sebaliknya, berbahasa yang buruk adalah berbahasa yang mengabaikan tata bahasa dan ini akan menimbulkan problem tersendiri.

Dalam riwayat bahasa Arab misalnya. Kebutuhan membenahi Ilmu Nahwu Sharaf (Ilmu Tata Bahasa Arab) di antaranya karena adanya tragedi pembunuhan disebabkan kekeliruan memahami gramatika bahasa Arab.

Pada masanya, orang Arab pernah tidak memakai titik, baik itu letak titik maupun jumlahnya, sebagai pembeda antara satu huruf dengan huruf lainnya. Karenanya tidak ada pembeda antara huruf “Ba” dan “Tha” atau “Jim” dan “Kha” karena titik yang menjadi pembeda tidak dituliskan.

Dalam kata yang titik nya tidak dituliskan, maka kata “Uqtul” yang berarti bunuhlah, dengan kata “Iqbal” yang berarti terimalah, susunan huruf nya sama. Kesalah fahaman muncul ketika Khalifah mengutus seorang kurir dan dalam suratnya menyuruh bawahannya untuk menerimanya dengan memakai kata “Iqbal” atau terimalah. Sayangnya ada kekeliruan membaca perintah Khalifah. Kata “Iqbal” dibaca menjadi “Uqtul”. Jadinya kurir tersebut pun dibunuh bukan diterima dengan baik.

Meski gramatika adalah hal penting, namun ada kritik penting terhadap pandangan diatas. Perhatian berlebih terhadap gramatika atau struktur, menjadikan bahasa atau teks tidak dilihat memiliki khazanah subjektivitas atau kandungan sosial budaya yang kaya. Menurut pandangan subjektif-hermeneutis, bahasa tidak sekering itu. Bahasa bukan hanya perkara gramatika tapi juga perkara sosial dan budaya yang kaya dan subjektivitas yang sangat kental.

Ketika bahasa Inggris memperkenalkan 16 Tenses dalam grammarnya, ini bukan hanya tentang perlunya memakai gramatika waktu dalam berbahasa. Tetapi juga menyiratkan cara pandang terhadap waktu yang menekankan akurasi. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang gambarannya tentang waktu cenderung global.

Ketika orang Indonesia membedakan dengan sangat detail antara padi, gabah, beras, nasi atau bubur sementara orang Inggris menamai semuanya dengan kata “Rice”, ini menyiratkan kaya, detail dan pentingnya nasi bagi orang Indonesia dibanding orang Inggris. Ketika orang Islam Indonesia membaca dalam Quran ada surat bernama Al-Baqarah yang berarti Sapi, sedikit yang mengingat bahwa Al-Baqar adalah penamaan bagi Sapi berumur 2-3 tahun. Bukan seluruh Sapi yang diternak manusia.

Pandangan berikutnya terhadap teks atau bahasa yang juga sangat penting adalah pandangan kelompok Marxist-Kritis. Dalam pandangan ini, teks atau bahasa bukan hanya masalah objektivitas dan subjektivitas, tetapi masalah kuasa. Teks atau bahasa adalah medium yang sangat tepat untuk menyebarkan sebuah pandangan tertentu yang tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam bahasa, terkandung operasionalisasi kekuasaan. Karena melalui teks dan bahasa lah hegemoni sebuah kekuasaan bisa dijalankan.

Bila dulu pemerintah menciptakan label PKI dan ekstrem kanan kepada kelompok-kelompok yang kerap bersebrangan, maka pada saat ini teroris atau intoleran adalah label baru. Penghilangan nama tokoh-tokoh seperti Hasyim Asy’ari dan memunculkan banyak nama-nama tokoh PKI dalam sebuah kamus sejarah, menurut pandangan Marxist-Kritis tidak bisa dianggap sebagai peristiwa penulisan sejarah biasa. Dalam peristiwa tersebut terkandung agenda politik yang pada dasarnya tidak sesederhana yang dikira.

Tentunya diperlukan pengetahuan Bahasa dan teknis sinematografi yang mumpuni untuk melihat Drama Korea sebagai sesuatu yang objektif-positif. Namun bila kita melihat Drama Korea secara subjektif-hermeneutis, kita bisa melihat beberapa cara pandang dan budaya Korea melalui Drama Korea.

Seperti kesamaan Komunikasi orang Korea dengan orang Indonesia yang berpola High Context Culture yang berbeda dengan kecenderungan pola Komunikasi Barat yang berpola Low Context Cultre. Atau kesamaan sistem kekerabatan antara orang Korea dan orang Indonesia yang berpola Extended Family.

Namun hal menarik adalah ketika melihat Drama Korea dalam perspektif kritis. Terlebih bila dibandingkan dengan film Amerika produksi Holywood. Terlihat ada perbedaan diametral antara Drama Korea dengan film Hollywood.

Untuk melihat film Hollywood dalam perspektif marxist, adalah hal yang menarik bila kita membaca artikel David Robb pada majalah Brill’s Content berjudul “Hollywood Wars” pada tahun 2001. Robb sendiri adalah seorang freelance jurnalist di Hollywood yang setelah menulis “Hollywood Wars” tiga tahun kemudian (2004) menulis buku berjudul “Operation Hollywood: How the Pentagon Shapes and Censors the Movies”

Para pembuat film di Hollywood, selalu ingin membuat film sebaik dan seefisien mungkin. Termasuk diantaranya ketika membuat film perang. Untuk membuat film perang yang baik, dibutuhkan peralatan perang seperti pesawat tempur, kapal selam, tank, kapal tempur yang asli bukan imitasi. Namun butuh biaya yang sangat besar untuk bisa memakai peralatan tersebut. Sebagai gambaran, untuk menyewa pesawaf F-15 buatan Israel, pada masa itu dibutuhkan uang mencapai 10.000 dollar AS untuk satu jam.

Menurut Robb, pemerintah Amerika pun memanfaatkan situasi ini. Pentagon bersedia menurunkan biaya sewa peralatan perang mereka untuk pembuatan film, asal film yang dibuat sesuai dengan visi pemerintah Amerika. Bahkan Pentagon tidak segan-segan untuk menggratiskan biaya sewa peralatan, asal script film yang disodorkan Hollywood sesuai dengan yang mereka inginkan.

Bila para pembuat film tidak mau memenuhi syarat dari Pentagon, maka mereka harus membayar biaya mahal untuk menyewa peralatan perang. Untuk berhubungan dengan industri film ini, Pentagon membuat sebuah buku panduan khusus berjudul “A Producer’s Guide to US Army Cooperation with the Entertainment Industry”

Karena itu tidak aneh bila kita melihat paradoksnya film Ramboo yang pernah booming di Indonesia pada tahun 1980an. Ramboo seorang super soldier yang bisa memporak-porandakan satu kompi pasukan Vietnam seorang diri, sementara Amerika kalah telak di perang Vietnam. Pada titik inilah menurut Robb, film tidak lagi menjadi media hiburan tapi juga media propaganda.

Karenanya Rob pun memilah dua jenis film Amerika, yaitu film yang direstui Pentagon dan film yang tidak direstui Pentagon. Bila film yang direstui Pentagon adalah film yang mengikuti kepentingan Pentagon atau pemerintah Amerika, maka film yang tidak direstui adalah film yang bertentangan dengan kepentingan Pentagon

Diantara film yang direstui Pentagon adalah “Air Force One” (1997) yang menceritakan canggihnya pesawat kepresidenan Amerika dan aksi heroik Presiden Amerika, “Pearl Harbour” (2001) yang menggambarkan betapa pengecutnya Jepang yang menyerang Pearl Harbour dan betapa gagahnya Amerika melawan Jepang, atau “Top Gun” (1986) yang menggambarkan gagahnya prajurit AU Amerika yang dibintangi Tom Cruise.

Sementara itu Pentagon menolak memberikan bantuan pada film “Born on the Fourth of July” karena menyerukan kampanye anti perang Vietnam, film “Crimson Tide” karena pembangkangan yang dilakukan kru kapal selam Angkatan Laut AS. Adalagi film klasik “Forrest Gump” yang dibintangi Tom Hanks karena memberikan gambaran buruk tentang militer dekade 1960an. Karena sebagaimana diketahui, dalam film itu Tom Hank memerankan prajurit Amerika yang ber-IQ rendah. Terlebih dalam film tersebut ada percakapan yang merendahkan salah satu Presiden Amerika, Lyndon Johnson.

Bila kita melihat Drama Korea, maka propaganda seperti inilah yang agak sulit ditemukan. Tidak seperti Amerika yang ingin menunjukan betapa digdaya dirinya melalui film-film Hollywood, pemerintah Korea seperti tidak ingin melakukan hal serupa. Meskipun sangat mustahil rasanya Drama Korea yang sudah dikonsumsi banyak negara, bukan sebuah design yang tidak melibatkan pemerintahnya.

Karena sulitnya menemukan propaganda ala Amerika ini juga maka ketika Drama Korea masuk pada tema seperti terorisme, maka gambaran yang muncul terlihat lebih fair dan terbuka. Tidak seperti film Amerika yang selalu menggambarkan terorisme dengan orang berwajah Timur Tengah, maka dalam Drama Korea, isu terorisme dihadirkan dalam wajah multi ras tidak selalu Timur Tengah. Bahkan orang berparas Korea pun menjadi gambaran bagian dari teroris.

Meski begitu, bukan berarti pesan-pesan nasionalisme dan kepentingan Korea tidak terselip dalam Drama Korea. Karena kita dengan sangat mudah akan melihat produk-produk unggulan Korea berseliweran di setiap Drama Korea. Kita akan sulit melihat pemeran di film Korea memakai Iphone namun semuanya seolah memakai HP Samsung. Sekali-kali kita mungkin melihat pemeran nya memakai mobil Volvo produksi Swedia dan mengunyah Kopiko produksi Indonesia, namun dominannya kita akan melihat pemerannya memakai KIA atau Hyundai sebagai kendaraan sehari-hari dan memakan Bulghogi, Ramen atau Kimchi.

Namun kembali ke judul diatas. Apa yang kami tulis ini baru pandangan sekilas. Meski rujukannya adalah beberapa film yang sedang trending di netflix, namun jumlah film yang ditonton tetaplah minim.

Bandung, 03 Mei 2021

Oleh: Delianur
Ketua Bidang Derah Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti