PENAJAM PASER UTARA – National Paralympic Comittee (NPC) merupakan organisasi yang menaungi atlet disabilitas yang setara dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Namun dinilai kerap kali terabaikan secara pemenuhan hak dan pemenuhan fasilitas yang mendukung para atlet dalam melatih keterampilannya.
Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua NPC Penajam Paser Utara (PPU) Yuliarti. Menurutnya, pihaknya selalu menemui kendala terutama yang berkaitan dengan dukungan dari pemerintah. Diakui, disabilitas sering kali dianggap aib dan tidak diberdayakan oleh masyarakat.
“Ibaratnya disabilitas itu masih dianggap sebuah aib dan tidak diberdayakan oleh masyarakat,” jelasnya.
Yuliarti menerangkan bahwa para atlet disabilitas masih terkendala dalam pemenuhan sarana dan prasarana. Pihaknya masih harus meminjam fasilitas pendukung dari teman-teman di sekitarnya. Hal ini, kata dia, sangat berbeda dengan perlakuan pemerintah terhadap KONI yang secara perorangan diberikan peralatan olahraga pendukung para atletnya.
“Untuk sementara kita masih mandiri, pembinaannya belum ada. Kita berkeinginan sendiri untuk dapat maju mencari peralatan sendiri dengan meminjam teman-teman dan mencari pelatih sendiri, yaitu relawan karena dia tidak dibayar,” ungkapnya
Ia menegaskan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam pemenuhan hak-hak atlet disabilitas. Termasuk memberikan akses kesehatan, pendidikan dan pekerjaan yang layak. Hal ini tentu berdampak pada minimnya partisipasi atlet disabilitas, terlebih harus mengeluarkan kocek pribadi untuk memenuhi sarana dan prasarananya.
“Kami masih mandiri dalam pembinaan. Belum ada dukungan yang memadai dari pemerintah dalam hal pembinaan dan pelatihan,” tambahnya.
Padahal faktanya, lanjut Yuliarti, prestasi yang diraih oleh atlet disabilitas PPU tak kalah hebat dibanding atlet non-disabilitas. Salah satunya, penghargaan peraih juara pada pekan paralympic tingkat Provinsi Kalimantan Timur, pada 2023 di Kota Balikpapan.
“Ada yang meraih juara 1, 2 & 3, dan sejak 8 tahun yang lalu dari tahun 2016 kita melangkah di Pekan Paralimpik Nasional (PEPARNAS) di Papua, pernah juga ke Bandung, terus nanti 2024 ini akan ke Aceh,” terangnya.
Kendati demikian, Yuliarti mengatakan pihaknya telah berusaha untuk berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) PPU. Namun untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah masih sangat minim. Sehingga, berdampak pada kurangnya pemenuhan dukungan dalam penyediaan sarana dan prasarana latihan para atlet.
“Sebenarnya kita juga udah bekerja sama dengan Dispora tetapi masih sangat minim untuk pendaanaan jadi untuk peralatan belum di-support,” katanya.
Ia juga menerangkan bahwa hingga saat ini masih mengalami ketidakpastian dalam proses pengajuan proposal. Terlebih, proposal telah diajukan berulang kali, Namun pihaknya masih tidak mengerti alasan penolakan dan tidak mendapatkan arahan yang jelas.
“Sudah sering kami ajukan proposal untuk mendapatkan dukungan dana, namun terkadang dana tersebut tidak disetujui dengan alasan tidak tersedia atau tidak ada anggaran untuk olahraga paralimpiade,” ucapnya.
Yuliarti berharap perjuangan atlet disabilitas dalam meraih prestasi mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten PPU. Utamanya terkait dengan pemenuhan sarana dan prasarana para atlet.
“Harapannya kita bisa dibimbing lagi ketika tidak di-approve mana yang salah agar kami dapat paham dan bisa mendapatkan pendanaan untuk atlet penyandang disabilitas itu sendiri,” tutupnya.
Penulis : Nelly Agustina
Editor : Nicha R