spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Duduk Perkara Kapal Angkut CPO yang Karam di Sungai Mahakam, Diduga Ilegal, Petaka bagi Warga

Pagi masih buta ketika Ambo Dalle mengecek tambak ikan miliknya di Sungai Mahakam. Langkahnya terhenti seketika melihat cairan berwarna oranye mengambang di permukaan sungai. Ribuan ikan ikut mengapung tak bernyawa di atas keramba.

Ambo Dalle hanya bisa melongo melihat pemandangan di hadapannya. Total 120 kilogram ikan di tambaknya tewas. Disinyalir kerugian pembudi daya berusia 47 tahun itu mencapai puluhan juta rupiah.

Kisah pilu menimpa usaha warga Gang Nelayan, Kelurahan Rawa Makmur, Kecamatan Palaran, Samarinda, tersebut adalah dampak dari insiden tenggelamnya kapal di Sungai Mahakam pada Sabtu dini hari, 10 April 2021 yang lalu. Angkutan air tersebut merupakan pengangkut minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Karam tak jauh dari Jembatan Mahkota II.

[irp posts=”12958″ name=”Sungai Mahakam Tercemar Minyak Kelapa Sawit, Jatam: Pemerintah Harus Audit Lingkungan “]

Menurut Lurah Rawa Makmur, Rudi Aries, sekitar 40 keluarga terdampak insiden tersebut di daerahnya. Tumpahan CPO dari merembes hingga ke dua kelurahan lain. “Kapal itu tenggelam di bawah Jembatan Mahkota II. Minyak yang diangkut terbawa arus sampai sekitar 5-6 kilometer. Sungai itu kami lihat tercemar selama tiga hari,” ungkap Rudi kepada kaltimkece.id, jejaring mediakaltim, dua hari yang lalu.

Petaka itu tak hanya membuat ribuan ikan pembudi daya mati. Warga yang kesehariannya bergantung Sungai Mahakam, seperti untuk keperluan mandi, benar-benar merasakan dampaknya. “Badan pasti berminyak setelah mandi,” timpal Rubia, perempuan 42 tahun yang tinggal di tepi sungai.

SATU TEWAS TENGGELAM
Kepala Seksi Unit Pencarian dan Pertolongan, Basarnas Kaltim, Octavianto mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi ketika kapal berjenis self propelled oil barge atau SPOB melintasi perairan di daerah Simpang Pasir, Kecamatan Palaran. Menuju Dermaga Teluk Cinta, kapal tersebut tenggelam pukul 05.30 Wita. Kapal disinyalir tenggelam karena arus sungai yang kencang. “Membuat kapal tidak seimbang. Sempat oleng sebelum tenggelam,” ungkap Octavianus, dikonfirmasi, Senin, 12 April 2021 lalu.

Tragedi itu menelan nyawa satu anak buah kapal (ABK) bernama Jufri, 30 tahun. Ditemukan tak bernyawa Minggu malam, 11 April 2021, pukul 22.00 Wita, sekitar 3,5 kilometer dari lokasi kejadian. Jufri bertugas sebagai kepala kamar mesin kapal.

Salah seorang dari tujuh ABK, Muchtar Tandiawi, mengatakan bahwa kapal bernama Mulya Mandiri 07 itu semula bersiap tambat di Dermaga Teluk Cinta dengan posisi miring. Namun seketika kapal kayu melintas dan menyebabkan ombak besar menghantam badan kapal. “Kapal kemudian tenggelam. Kami semua lompat menyelamatkan diri, termasuk Jufri,” ucap Muchtar.

Berdasarkan informasi beredar, kapal tersebut ditengarai membawa sekitar 120 ton CPO. Namun data yang didapat Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim, Ence Ahmad Rafiddin Rizal, angkutan kapal ketika itu hanya sekitar 5 ton.

“Dari SPOB, (informasinya) hanya membawa kurang lebih 5 ton minyak. Tetapi, informasi berikutnya kami belum tahu pasti karena sampai hari ini informasi dari ABK belum bisa dimintai keterangan,” ungkapnya, Senin 12 April 2021.

DLH Kaltim juga mencatat pencemaran CPO di Sungai Mahakam dari insiden tersebut hingga 7 kilometer dari titik kejadian. Dikalkulasi dari tangkapan layar drone yang dilakukan DLH Kaltim srta pengukuran melalui aplikasi Google Maps.

“Bahkan mengenai pelabuhan salah satu perusahaan di sana. Jadi mereka inisiatif melakukan pelaporan ke kami, mereka membersihkan limbah tersebut,” ucapnya.

Kepala Seksi Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Samarinda, Kapten Slamet Isyadi, hingga saat ini belum mengetahui persis muatan minyak yang dibawa kapal tersebut. “Di data kami kapal itu terakhir kali membawa balik nama kepemilikan pada 2017. Dan sertifikat kapalnya terakhir diperbarui pada 2015. Jadi, secara tidak langsung pengangkutan itu ilegal,” ucap Slamet.

Dalam kasus ini, KSOP Kelas II Samarinda disebut hanya fokus menangani kondisi lingkungan. Sejauh ini sudah 3600 Liter minyak sawit didapat dari hasil penyedotan di Sungai Mahakam. Sedangkan untuk penyelidikan lebih dalam, diserahkan kepada Polresta Samarinda.

“Kami terus berkoordinasi dengan Polairud Samarinda. Tapi informasinya, kapal tersebut hendak diselidiki lebih lanjut oleh Polresta Samarinda,” ucapnya.

NAKHODA KAPAL JADI TERSANGKA
Polresta Samarinda mengerahkan Bagian Reskrim menyelidiki kasus pencemaran dari kejadian tersebut. Sedangkan untuk kecelakaan kapal ditangani Polairud. Dari tujuh ABK diperiksa, satu orang ditetapkan tersangka yang tak lain sang nakhoda kapal berinisial RT. Disangkakan UU Pelayaran No 17/2008 Pasal 323 ayat 1 dan 3 dan UU lingkungan hidup. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap penyewa kapal.

“Dari pasal itu ada keterkaitan dengan peran si nahkoda, kami menyangkakan itu,” sebut Kasubbag Humas Polresta Samarinda, AKP Annissa Prastiwi, mewakili Kapolresta Samarinda, Kombespol Arif Budiman, Rabu, 14 April 2021.

Polresta Samarinda saat ini masih menunggu proses untuk pengangkatan bangkai kapal. Pendalaman juga masih dilakukan untuk memastikan jumlah angkutan CPO kapal tersebut saat kejadian. “Kami juga masih mendalami terkait UU lingkungan,” sambungnya.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mengecam pencemaran lingkungan dampak insiden kapal karam tersebut. Koordinator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan bahwa tumpahan minyak tersebut bakal berdampak terhadap ekosistem sungai. Molekul dalam kandungan minyak, menyebabkan terhalangnya cahaya matahari dan oksigen masuk ke sungai. Memengaruhi bioekoregion atau kelangsungan biota sungai. Respirasi biota sungai dalam jangka panjang memicu coral bleaching dan kematian hewan-hewan di sungai.

Rupang meminta pemerintah segera menginvestigasi dampak pencemaran secara keseluruhan. Perusahaan juga bisa dijerat karena kelalaian. Disangkakan Pasal 99 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Jika terbukti, pelaku terancam pidana penjara tiga tahun dan dikenakan denda paling sedikit Rp 1 miliar.

“Sudah cukup Sungai Mahakam kritis akibat limbah batu bara. Dengan limbah sawit ini, bebannya semakin berlipat untuk kembali normal,” pungkasnya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti