BONTANG – Selasa, 5 Maret 2024 lalu, menjadi momentum penting bagi ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) di seluruh Indonesia. Melalui Webinar KORPRI Menyapa di kanal YouTube Kemendagri RI, mereka diberi pencerahan tentang pentingnya menjadi ASN yang dewasa dalam berdemokrasi.
Topik ini penting dibahas karena ASN yang dewasa berdemokrasi sedang dibutuhkan saat ini, di kala Indonesia sedang menjalani rentetan pesta demokrasi t2024. Dalam hal ini ada Pemilu (Pilpres dan Pileg) yang baru saja dilewati serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar November 2024 mendatang.
Dibalik pesta demokrasi yang sedang berlangsung di Tanah Air ini, pertanyaan mendasar muncul: Apakah keterlibatan ASN dalam politik praktis menjadi jaminan integritas birokrasi atau justru mengancam kepercayaan publik?
Prof.Dr.KH.Asrorum Ni’am Sholeh, S.Ag, LC, MA (Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora) maupun DR. Muhadam Labolo, M.Si (Guru Besar Ilmu Pemerintahan) sama-sama kompak menyebut bahwa ASN yang dewasa dalam berdemokrasi adalah ASN yang punya mental siap menang dan siap kalah.
Tentu bukan sebagai pelaku politik, tetapi ASN sebagai pemegang hak pilih. Dalam hal ini, ASN yang dewasa dalam berdemokrasi; apabila pilihan politiknya menang (baik dalam pilpres maupun pileg) maka Ia tetap akan menghormati orang lain yang pilihan politiknya kalah.
Ia tidak akan mencaci, tidak akan menghina orang lain itu. Demikian pula, ASN yang dewasa dalam berdemokrasi; apabila pilihan politiknya ternyata kalah, maka Ia akan segera move on, dan secepatnya menyiapkan mental dirinya untuk kembali pada tugas sebagai birokrat yang siap mengawal pelaksanaan program/kegiatan presiden pemenang Pilpres maupun para politisi yang duduk di kursi legislatif tanpa diskriminasi serta pengaruh dari pilihan politiknya terdahulu.
Dengan mental tersebut, menurut Prof. Ni’am, ASN sesungguhnya sedang menjalankan politik kebangsaan. Yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan dirinya atau golongan tertentu.
Dengan kedewasaan berdemokrasi tersebut, ASN sesungguhnya sedang menjalankan tugas utamanya men-deliver pelayanan publik yang prima kepada masyarakat dalam bingkai profesionalitas dan netralitas.
Sepakat dengan netralitas sebagai indikator utama kedewasaan berpolitik seorang ASN, DR. Muhadam Labolo, M.Si menyerukan bahwa pada era sekarang, ASN memang hanya dapat menjalani perannya dalam politik (Pilpres, Pileg, Pilkada) just only as spectator/penonton.
Dalam hal ini DR.Muhadam menyitir bahwa partisipasi politik warga negara sesungguhnya dapat dibagi menjadi 4 segmen: Pertama, kelompok Apatis, yakni kelompok orang-orang yang buta politik atau tidak mau terlibat sama sekali dalam politik.
Kedua, kelompok spectator (penonton), yakni mereka yang memiliki hak hanya sebatas memilih tanpa boleh memberikan dukungan secara terbuka kepada kelompok Ketiga, yakni Gladiator (alias para petarung) atau orang-orang yang terjun langsung ke dalam dunia politik (capres, caleg, calon peserta pilkada).
Dan yang terakhir adalah kelompok Keempat, diisi oleh para pengkritik sistem politik. Menurut Muhadam, ASN telak berada dalam segmen kedua sebagai spectator (penonton), karena regulasi pula yang membatasi ruang geraknya untuk memberi dukungan atau bahkan terjun langsung sebagai gladiator.
Sebagai penonton, ASN tentu dibatasi bajunya sendiri yang beratributkan netralitas. Yang dengan atribut netralitas tersebut, ASN dijamin dapat memberikan layanan publik yang adil dan tidak diskriminatif kepada semua (baik kepada kelompok apatis, gladiator maupun pengkritik).
Pun, bila seorang ASN telah memutuskan untuk menanggalkan atribut netralitas tersebut dan turun ke medan laga sebagai gladiator, maka seyogyanya bajunya pun harus Ia lepas dan mulai ikut bertarung dengan mengenakan baju ala gladiator.
Karena pada saat menjadi Gladiator, seseorang tentu akan bertarung untuk memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri atau kelompok gladiator-nya sendiri.
Karenanyalah tepat sekali, bila Prof. Niam juga menyebutkan bahwa keterlibatan ASN dalam politik praktis akan menyebabkan terjadinya public distruss (ketidakpercayaan publik) terhadap birokrasi akibat ASN yang “pilih kasih” dalam memberikan layanan.
ASN ‘rasa’ gladiator ini tentunya akan terjebak pada situasi kondisi yang rawan konflik kepentingan, yang keputusannya terpengaruh oleh desakan kepentingan pribadi maupun desakan kelompoknya sendiri.
Ia tidak lagi dapat berfikir objektif untuk memberikan pelayanan terbaik dan profesional bagi semua. ASN demikian akan kesulitan membedakan nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk dalam tugasnya men-deliver layanan publik yang adil.
Baginya, yang terpenting adalah kepentingan diri, golongan dan kelompoknya. Pada tahap ini, jelas sekali konflik kepentingan menjadi tak terelakkan, demikian pula etika birokrasi pun akan menjadi terabaikan. (adv)