SAMARINDA – Hari masih senja ketika Rizky mengendarai motor bebeknya melintasi Kecamatan Palaran, Samarinda. Perjalanannya terhenti seketika tiba di Jalan Trikora. Jalur yang menghubungkan Samarinda Seberang dan Palaran tersebut sudah penuh lumpur dan licin dilintasi.
Rizky dan ratusan pengendara lainnya, Senin (12/4/2021) itu, harus menunggu sekitar setengah jam untuk bisa melewati jalan yang terletak di Kelurahan Mangkupalas, Kecamatan Palaran, tersebut. Musababnya adalah longsor yang kembali menimbun jalur tersebut.
Material tanah bercampur lumpur menutup dua bahu jalan berkisaran ratusan meter. Menghambat akses jalan tanjakan yang berjarak sekitar dua kilometer dari Jembatan Mahkota II ini.
Puluhan pengendara roda dua terjatuh saat melintas. Sementara pengendara roda empat terpaksa putar balik. Salah seorang saksi, Nelly, 48 tahun. Mengatakan sejumlah pengendara motor masih nekat melintas meski sudah dibatasi. Kecelakaan pun tidak terhindarkan.
“Banyak sekali yang jatuh itu, kotor semua badannya,” ucapnya saat diwawancarai kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com, Selasa (13/4/2021).
Salah seorang warga Jalan Trikora yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, sudah dua hari terakhir longsor menutup jalan tersebut. Disebabkan hujan deras yang menghujam beberapa saat sebelum kejadian. Tanah yang sudah diuruk pun turun kembali.
Kepala UPTD Pemeliharaan Infrastruktur Wilayah II Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat (PUPR PERA) Kaltim, Joniansyah, mengatakan bahwa pada Senin malam, sebagian lumpur yang menutupi jalan sudah dibersihkan. Dua alat berat jenis ekskavator dan backhoe, serta dua truk jungkit diturunkan mengeksekusi.
Menurut Joni, runtuhnya lereng itu terjadi di titik pertama, dari total dua titik longsor. Memakan dua bagian jalan sepanjang 100 meter. Pengerukan tanah pun dilakukan 15 personel Dinas PUPR Pera Kaltim. Sementara untuk penyiraman lumpur, dilakukan Dinas Pemadam Kebakaran Samarinda. “Sudah selesai tadi malam ditangani, tidak jauh selepas magrib,” ucapnya.
Menurut Joni, penanganan tersebut bersifat sementara. Sebab, penanganan permanen masih menunggu proses lelang.
Kabid Binamarga Dinas PUPR Pera Kaltim, Irhamsyah, mengatakan jika pihaknya akan membangun dinding turap sebagai penanganan longsor secara permanen. Dieksekusi tahun ini. Turap dibuat sepanjang 175 meter dan memiliki tinggi 4 meter. Pembuatan turap memiliki pagu anggaran sekitar Rp 8 miliar. “Akan dilaksanakan secepatnya,” ucap Irhamsyah.
Dinas PUPR Pera Kaltim mencatat kejadian longsor pertama terjadi pada September 2020. Namun Lurah Mangkupalas, Muhammad Noor, menyebut jika longsor di sana sudah terjadi sejak Mei 2020.
Longsoran berasal dari tebing bukit yang dijuluki Gunung RCTI. Tanah berguguran ke poros jalan. Satu tiang listrik dan ratusan pohon yang tertancap di tebing bukit kini tumbang.
Warga yang dijumpai media ini mengaitkan insiden ini dengan aktivitas tambang yang berlangsung tak jauh dari sana. Pengerukan batu bara di lingkungan tersebut diklaim sudah berlangsung sejak awal era 2000-an.
Muhammad Noor membenarkan pernyataan itu. Kawasan bukit memang sempat dijadikan jalan hauling atau lintasan bagi truk angkutan batu bara. Namun diklaim sudah tidak tampak lagi sejak 2010. “Sewaktu saya sudah di sini pada 2019, aktivitas itu sudah tidak ada lagi,” ucap Noor.
Sementara itu Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, mengungkapkan dua izin konsesi tambang batu bara berada di area itu. Satu berjenis izin usaha pertambangan (IUP) dan satu lagi izin perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B).
Dengan keberadaan dua izin tambang tadi, Rupang tidak heran bencana longsor berulang terjadi. Disinyalir dipicu aktivitas pertambangan yang mengubah bentang alam sekitar Jalan Trikora. Pohon dan tanah yang sebelumnya daerah serapan, tidak mampu lagi menampung air hujan. Daya ikat tanah turun dan lemah, longsor pun terjadi. “Akhirnya jadi lumpur. Tanahnya bercampur dengan air,” sebutnya.
Menurut Rupang, satu-satunya langkah bisa ditempuh pemerintah daerah adalah mem-blacklist dua perusahaan tersebut. Menjadikannya sebagai contoh dan pelajaran karena tidak menyelesaikan kewajiban pemulihan lingkungan.
“Harusnya mereka (penambang) yang mengeluarkan biaya ini dan mempertanggungjawabkan dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan. Ini malah uang rakyat yang dikeluarkan melalui dana kas daerah,” sesalnya. (kk)