spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pendar-pendar Perubahan

SELIMUT PEKAT malam telah terhampar indah sepanjang kota. Senyap, sepi jalan seakan mengajak terlelap, sejenak istirahat dari ingar-bingar kota.

Belum mau terpejam bola mataku. Masih ba’da Isya. Lembur lagi malam ini… Saat aku masih duduk diteras membaca beberapa lembar naskah untuk diedit bahasanya.

“Assalamu’alaikum Mba’, Mba’ maaf ganggu, pasti tau rumahnya  Adi Mulyadi ya?” ujar laki-laki tua yang tubuhnya berisi dan agak tertatih… mendorong gerobak baksonya, berteriak halus dari luar pagar rumahku, yang tak jauh dari teras.

Agak tertegun… Ia memakai baju kaus Pak Adi Mulyadi, walau agak kusam, mungkin karena lebih sering dipakai, mungkin juga ia terlihat bangga memakainya.

Pak Adi menang, ‘kan Mba? Saya mau silaturrahim dengan Pak Adi, saya mau cerita kalo teman-teman saya mendukung dan memilih Pak Adi, meski kami belum pernah ketemu, tapi kami yakin….”

Meski kami belum pernah ketemu, tapi kami yakin… Begitu percayanya laki-laki ini menjatuhkan pilihannya, mungkin karena nalurinya yang membuat kuat keyakinannya. Sama yakinnya dengan aku, pun aku meyakini laki-laki tua ini tidak sedang berbohong, tidak mengada-ada… Malah haru yang membuncah di bilik hatiku… Ia ingin bersilaturrahim bertemu dengan Pak Adi, malam itu mungkin dengan gerobak baksonya, mungkin dengan ditemani dinginnya malam….

Tanpa ragu aku memberikan alamat lengkapnya. Ia pun berterima kasih sekali dan sekejap berlalu dengan wajah cerahnya, berlari-lari kecil dengan gerobak baksonya. Sangat bahagia. Mungkin bahagia karena kandidat pilihannya menang dalam Pilgub kali ini, mungkin bahagia akan bertemu dengan kandidat pilihannya, mungkin.. .

Sungguh, malam itu aku mendapat pelajaran berharga….

Sungguh, betapa manusia sering dilihat dari aksesorinya. Latar belakang pendidikan, keahlian atau bahkan kekayaannya. Orang pun berlomba menapaki karier demi sebuah kesuksesan. Sukses diidentikkan dengan berkecukupan. Cukup harta dan cukup fasilitas, tapi bukan untuk laki-laki tua ini. Dari sinar wajahnya, meski ada gurat kesulitan hidup, tapi ia memiliki banyak kecukupan dan berjuta kebahagiaan.

Sungguh, kini pun betapa banyak orang berlomba menjadi pemimpin, tetapi betapa sedikit yang menyadari hakikat kepemimpinan sejati. Dekat dengan yang dipimpinnya, dekat dengan rakyatnya.

Aku sangat beruntung, Allah telah mengajariku makna kebahagiaan juga hakikat kepemimpinan sejati. Aku tak akan melupakan malam itu. Akan wajah laki-laki yang sangat berbahagia itu.

Sungguh, begitu banyak rakyat mencintai kandidat ini, semoga rakyat pun siap untuk dipimpin oleh orang yang benar-benar mencintai mereka, bahkan melebihi diri mereka sendiri….

Memang bagaimana pun bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup mereka sehari-hari.

Aku tersenyum. Malam kian jauh, membawaku pada kantuk yang datang. Tapi rasa optimis menyelimuti seluruh gelegak jiwa, bila ingat lelaki tua itu. Tiba-tiba tak terduga, aku merasa mendapatkan nyawa baru.
*
“Mba’, mau makan apa? Ketan, jahe, ato opo?” Mbok Tin menyenggol lenganku.

Malam itu, baru saja aku duduk di warung depan Rudal, warung pinggir jalan yang paling enak menu ketannya, lagi-lagi aku bertemu secara tidak sengaja dalam perbincangan yang sama… siapa calon terbaik di Pilgub kali ini?

“Wah, kalo kandidat ini menang, mantep.” ujar seorang bapak dengan kepulan rokok dan wedang jahe di sampingnya.

“Mantep piye tho, Pak Jenggot?” tanya teman di sampingnya sambil mengunyah ketan anget di depannya. Sementara Mbok Tin jengar-jengir wae, aku jadi geli malam itu. Dapat inspirasi menulis mendadak di warung Mbok Tin. Di sini memang penuh warna, tempat tongkrongan paling top untuk cari ide.

“Yaa, program unggulannya yang seratus juta per RT itu tho.” Katanya

“Ooo… ‘Kan hebat tho, Pak Jenggot?” tanya temannya antusias.

“Lha, maksudku itu. Hebat tapi juga berat.” Mulai berpolitik neh Pak Jenggot.

Aku senyum-senyum kecil, melirik Pak Jenggot sambil menikmati ketan asli Mbok Tin. Emang enak. Seenak obrolan malam ini yang hadir di telingaku secara tidak terduga.

“Beratnya apa tho?” gaya temannya agak ngolok, tapi tetap antusias.

“Lha, pemberian uang sebesar seratus juta per RT setiap tahun, ‘kan beweerattt… Kalo gak amanah, mana bisa jalan tho. Apalagi harus disetujui DPR dulu. Apalagi orang-orang di DPR macem-macem?” Kali ini Pak Jenggot memang ahli juga berpolitik. Gelitik hatiku. Tambah geli, tapi memang benar apa yang ia sampaikan. Pak Jenggot saja tahu.

“Apa maksudnya macem-macem Pak Jenggot?” tanya temannya lugu. Lagi belajar melek politik neh.

Aku terkekeh dalam hati.

“Yaa macem-macem kepentingannya. Kalo gak ada komitmen di DPR merealisasikan seratus juta, ya rewepooot.” Pak Jenggot semangat sekali, seisi warung jadi ikut mendengarkan orasi politiknya.

“Yaah, kita doakan saja Pak Jenggot, semoga yang di gedung megah di DPR itu juga punya komitmen. Yang Gubernur baru juga punya komitmen. Kalo mau perubahan, ya, semua harus sama-sama.” Timpal temannya yang lain, yang lagi asyik makan ketan Mbok Tin, ikut angkat bicara.

“Yaa, kita masyarakat kudu mendukung, mengingatkan kalo gak jalan….”

Bla, bla, bla.. Pak Jenggot masih terus berorasi politik ala-nya, sahut-menyahut dengan teman-temannya. Menambah ramai warung pinggir jalan Mbok Tin.

Malam itu, aku jadi merenung dalam jenak waktu… Betapa banyak orang berharap, betapa banyak orang menanti sebuah perubahan untuk kota, bahkan provinsi kaya ini… Pandanganku kembali menyapu begitu banyak sudut jalan, suasana penuh ramai… Ramai dengan barisan spanduk, ramai dengan baliho kandidat.

Begitu banyak semburat cerita, kisah dalam pesta demokrasi kali ini. Siapa pun berhak menikmati perubahan, entah Mbok Tin si penjual ketan paling enak (menurutku) di kota ini, Pak Jenggot dan gank-nya, para pembelinya yang lain, bahkan tukang parkir pinggir jalan sekali pun….

Yap, bagaimanapun provinsi kita bahkan negara kita memiliki keanekaragaman suku dan budaya, bahasa bahkan keyakinan. Di tengah keragaman Indonesia kini, masih ada orang yang mempersoalkan tentang keragaman tersebut. Orang yang merasa bagian dari mayoritas, bisa jadi mereka berbuat apa saja yang mereka mau.

Bahkan bisa jadi, pihak yang merasa benar, selalu memposisikan orang yang bertentangan dengannya, adalah dipihak yang salah. Akibatnya, aksi persekusi bisa terjadi hanya karena persoalan perbedaan agama, perbedaan adat, perbedaan pendapat ataupun perbedaan yang lainnya.

Demikian pula saling mementingkan kepentingan golongan ataupun pribadi masing-masing perbedaan ini dijadikan sarana untuk memicu konflik antar sesama. Menjadi saling menyerang satu sama lain, menjadikan permasalahan yang menimbulkan kerusakan hati, menabur benih-benih kebencian, merusak pikiran dan akal sehat.

Perbedaan yang ada seharusnya dapat menjadikan hidup kita jadi lebih kaya warna, manusia menjadi lebih bersatu dan lebih kuat dalam menjalani segala rintangan hidup yang indah ini. Perbedaan atau keberagaman diciptakan agar kita berusaha lebih dalam belajar mencintai sesama, lebih dalam merenungi makna hidup dengan perbedaan.

Yap, malam itu dari balik warung Mbok Tin, tepat di depan Rudal, aku menatap langit. Ratusan bintang di sana. Berhamburan, seperti juga segala harap dan cita-cita di hati warga kota ini, provinsi ini… Bahkan negera ini… Cahaya harapan itu berpendaran di hati….(**)

Cerpen Oleh : Muthi’ Masfu’ah

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti