spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Judi Berkedok Ketangkasan

Bontang memiliki julukan “Bontang Kota Taman” (Terbit, Agamis, Mandiri, Aman, Nyaman), yang resmi diberikan pada tahun 2002. Brand “Kota Taman” ini bukan hanya sekadar isapan jempol, melainkan telah menjadi identitas bagi warga Kota Bontang. Sebagai kota yang tertib, pemerintah berusaha untuk mengawasi setiap aktivitas warganya melalui sistem CCTV yang terpasang di setiap simpang jalan di kota ini.

Julukan “Bontang Kota Agamis” dapat terbukti dengan adanya Majelis Taklim yang aktif di setiap RT di kota ini. Dan yang paling membanggakan, ada sebuah perkumpulan Mubaligh yang terdiri dari berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Hidayatullah, DDI, dan lainnya. Badan Koordinasi Dakwah Islam Bontang (BKDIB) adalah wadah bersatunya para Mubaligh ini dan menjadi mitra penting bagi pemerintah kota Bontang.

Namun, julukan “Kota Agamis” ini mulai terganggu oleh munculnya permainan “capit boneka” yang telah muncul dalam tiga bulan terakhir di beberapa toko sembako di kota Bontang. Permainan ini ditujukan terutama untuk anak-anak perempuan, tetapi terkadang juga dimainkan oleh orang dewasa, dan telah menjadi topik pembicaraan di kalangan aktivis Islam di kota Taman. Salah satunya adalah dalam grup WhatsApp Messenger Mubaligh BKDIB Kota Bontang. Permasalahan mendasarnya adalah hukum yang mengatur permainan ini.

Sebenarnya, “capit boneka” (claw machine) sudah beredar bukan hanya di kota Bontang, tetapi juga di wilayah pedesaan di kota lainnya. Namun, baru-baru ini permainan ini mulai muncul di kota Bontang selama tiga bulan terakhir.

Biasanya, mesin-mesin ini ditempatkan di minimarket dan toko yang sering dikunjungi anak-anak. Dalam permainan ini, seorang pemain membeli koin untuk dimasukkan ke mesin “capit,” lalu dengan menggerakkan tuas, ia berusaha untuk mengambil boneka yang ada di dalam mesin. Meskipun permainannya terlihat sederhana, namun pertanyaannya adalah apakah ini merupakan permainan ketangkasan atau judi?

Sebenarnya, permainan “capit boneka” tidak bisa disebut sebagai permainan ketangkasan karena dari awal, alat “capit” telah dirancang untuk bisa kuat atau lemah dalam periode tertentu. Apakah “capit boneka” dapat dianggap sebagai judi? Hal ini akan tergantung pada apakah permainan tersebut memenuhi tiga unsur: (1) pembayaran, (2) bergantung pada keberuntungan semata, bukan kemampuan yang dapat diasah, dan (3) pemain yang beruntung mendapatkan hadiah, sementara pemain yang tidak beruntung tidak mendapatkan apa-apa atau hadiah yang nilainya jauh lebih kecil dari yang telah mereka bayarkan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa permainan “capit boneka” ini sebenarnya merupakan bentuk judi yang menyamar sebagai permainan ketangkasan. Ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengonfirmasi bahwa permainan “capit boneka” yang populer di kalangan anak-anak adalah haram. Dalam fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 3 Oktober 2007, MUI telah mengatur permainan yang boleh dan tidak boleh dimainkan menurut ajaran Islam.

Sebagai otoritas yang menjaga Syariat Islam di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah dengan tegas menyatakan hukum permainan “capit boneka” ini. Oleh karena itu, perlu dukungan penuh dari pemimpin kota Bontang, Bapak Basri Rase M.IP, untuk melarang peredaran permainan yang dapat melibatkan anak-anak dalam aktivitas perjudian sejak dini.

Kebijakan pelarangan judi sendiri telah ada dalam sistem hukum Indonesia, dan definisi judi dapat ditemukan dalam Pasal 303 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan bahwa “main judi adalah setiap permainan yang bergantung pada keberuntungan semata dan berdasarkan pengharapan untuk memenangkan sesuatu, dengan imbalan pembayaran.” (*)

Oleh: Maghfirudin A.A, Mubaligh Kota Bontang

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti