spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Harga Batu Bara Baru Empat Bulan Membaik, Perusahaan Batu Bara Belum Pulih

SAMARINDA – Harga batu bara dunia terus membaik dalam empat bulan belakangan. Akan tetapi, rentang waktu tersebut belum cukup bagi sejumlah perusahaan tambang batu bara memulihkan operasinya. Setelah menerima pukulan hebat selama pandemi, pelaku industri batu bara menghadapi harga dunia yang labil. Karyawan disarankan untuk menyikapi dengan bijak.

Sepanjang 2020 adalah tahun yang berat bagi sektor pertambangan batu bara. Publikasi laporan keuangan tiga perusahaan tambang batu bara di Indonesia menggambarkan keadaan tersebut sebagaimana dirilis katadata. Pertama adalah Adaro yang ekspor batu baranya anjlok 29,95 persen tahun lalu. Menurut laporan keuangan perusahaan, Adaro hanya mengantongi laba bersih senilai USD 146,92 juta atau setara Rp 2,05 triliun. Laba korporasi pada 2020 turun hingga 63,65 persen dibandingkan 2019.

BACA KORAN MEDIA KALTIM DIGITAL EDISI 22 MARET

Begitu pula Indo Tambangraya, induk PT Indominco Mandiri, yang meraup laba bersih USD 39,46 juta tahun lalu atau setara Rp 552,56 miliar saja. Laba bersih Indo Tambangraya turun hingga 69,5 persen dibandingkan 2019. Perusahaan terakhir yang menyiarkan laporan keuangannya adalah Bukit Asam. Laba bersih perusahaan pelat merah ini pada 2020 hanya Rp 2,38 triliun atau anjlok 41,17 persen.

“Penurunan laba menyebabkan perusahaan mesti berhitung ulang jika ingin berinvestasi atau menaikkan kapasitas produksi,” ulas akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi. Menurutnya, perusahaan sekelas Adaro dan Bukit Asam disebut memiliki analis mumpuni yang bisa menilai faktor-faktor makro ekonomi. Hasil analisis tentang situasi global yang memengaruhi harga batu bara menjadi dasar perusahaan mengambil kebijakan. Kenaikan harga saat ini disebut lebih dipengaruhi musim dingin dan Imlek di Tiongkok. Sifatnya hanya sementara. “Kondisinya berat,” kata Aji Sofyan, “karena shadow price atau harga batu bara yang masih bayang-bayang.”

Di tengah ketidakpastian harga komoditas, banyak perusahaan belum berani mengoptimalkan faktor-faktor produksi seperti alat, modal, dan tenaga kerja. Menurut Aji Sofyan, harga batu bara yang membaik hingga menembus USD 90 per ton baru berjalan empat bulan. Waktu sedemikian belum cukup bagi perusahaan tambang memulihkan kondisi mereka setelah penurunan laba bersih tahun lalu.

“Lagi pula, dampak dari kenaikan harga saat ini sebenarnya baru dirasakan beberapa bulan mendatang,” sambung doktor bidang ekonomi tersebut. Dalam jual-beli batu bara, jelasnya, harga ditentukan oleh kontrak. Batu bara yang diproduksi sekarang, sebenarnya, memakai harga di periode sebelumnya. “Tidak seperti sembako. Hari ini diproduksi, besok dijual dengan harga pasar yang berlaku,” terangnya.

Pola transaksi demikian menimbulkan time lag atau keterlambatan waktu buat perusahaan melancarkan arus kas. Ketika cash flow perusahaan tambang di Kaltim masih dipengaruhi situasi berat selama pandemi, Aji Sofyan berpandangan, sukar bagi korporasi menaikkan operasi ke kapasitas maksimal. Krisis 2016 yang menghantam sektor pertambangan bisa dijadikan perbandingan. Perusahaan perlu setahun lebih untuk memulihkan kondisinya waktu itu.

“Sekarang ini, baru empat bulan harga membaik. Pandemi juga belum selesai. Mustahil perusahaan bisa pulih secepat itu,” jelasnya.

Belum pulihnya operasi sejumlah perusahaan sektor pertambangan menyebabkan lapangan kerja baru belum terbuka. Demikian halnya kebijakan seperti menambah insentif bagi karyawan yang masih bekerja. Menurut Aji Sofyan, perusahaan yang masih beroperasi dan bisa menggaji karyawan saja sudah bagus dalam kondisi saat ini.

TAHAN PRODUKSI, KARYAWAN DIHARAPKAN BIJAK

Industri ekstraktif batu bara melewati masa suram sepanjang 2020. Dampaknya bahkan berpengaruh ke sektor tenaga kerja. Menurut catatan Bank Indonesia Perwakilan Kaltim yang mengutip data BPJS Ketenagakerjaan, sebanyak 45.671 tenaga kerja di-PHK dan dirumahkan tahun lalu. Kebanyakan berasal dari sektor perhotelan, pertambangan, dan perdagangan. Perinciannya adalah 22.043 tenaga kerja di-PHK sedangkan 23.628 orang dirumahkan se-Kaltim.

Badai ekonomi yang berimbas kepada sektor ketenagakerjaan ini sudah disadari pemerintah. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahkan memutuskan tidak menaikkan upah minimum pada 2021. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah agar sektor industri, termasuk pertambangan, tidak kolaps.

“Kondisi riilnya adalah banyak perusahaan pertambangan maupun industri ikutan yang belum bangkit meskipun harga batu bara dunia membaik,” terang Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Kaltim, Bakri Hadi. Sekitar 15 persen anggota Hipmi Kaltim adalah pengusaha yang bergelut di klaster pertambangan.

Bakri Hadi setuju bahwa situasi ini menyebabkan sejumlah perusahaan mengerem investasi maupun kapasitas produksi. Menurutnya, faktor utama yang bisa memperbaiki situasi seperti ini adalah program vaksinasi Covid-19. Kurva pandemi yang terus melandai sepanjang program vaksinasi membawa harapan terhadap perbaikan ekonomi.

“Akan tetapi, pandemi juga belum pasti berakhirnya. Saya pikir wajar bila perusahaan di sektor pertambangan sangat berhati-hati di tengah keadaan yang penuh ketidakpastian ini,” imbuhnya. Hipmi Kaltim mendorong pemerintah mengakselerasi program vaksinasi supaya berdampak kepada perbaikan ekonomi. Satu di antara usulan Hipmi adalah jalur vaksinasi mandiri bagi sektor swasta berbadan hukum.

Corporate Communication Manager PT Berau Coal, Arif Hadianto, membenarkan bahwa harga batu bara pada awal 2021 memang membaik dibanding tahun lalu. Akan tetapi, perusahaan melihat bahwa harga masih fluktuatif. “Perusahaan tetap mengambil langkah tepat dan efektif agar mendapat manfaat dari kenaikan harga sekarang,” terangnya dalam wawancara terdahulu.

Praktisi bisnis pertambangan batu bara dari Samarinda, Eko Prayitno, menjelaskan bahwa harga batu bara dunia memang membaik dibanding tahun lalu. Harga yang fluktuatif menyebabkan banyak perusahaan memilih tidak menaikkan kapasitas produksi. Menurutnya, bukan hanya izin usaha pertambangan (IUP) yang menahan produksi. Sekelas pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) pun masih sukar bangkit.

“Dari jumlah karyawan yang di-PHK dan dirumahkan tahun lalu, terlihat penurunan signifikan dari sektor ini,” kata pria yang juga ketua Asosiasi Pengusaha Pertambangan Batu Bara Samarinda tersebut. Eko memaparkan, kondisi sekarang nyaris serupa dengan krisis 2016. Waktu itu, harga batu bara jatuh ke titik terendah setelah bertahun-tahun harga emas hitam di posisi spektakuler. PHK massal terjadi di Kaltim.

Harga kemudian membaik pada 2018 yang disebut Eko sebagai kembali ke posisi “wajar”. Pada saat itu, produksi juga kembali ke kapasitas yang wajar alias tidak setinggi ketika booming batu bara pada 2013. Yang jelas, sebutnya, perusahaan memerlukan waktu untuk memulihkan diri setelah melewati krisis 2016. “Sebenarnya, pada kondisi seperti ini, tidak mem-PHK atau merumahkan karyawan saja sudah bagus,” tutupnya.  (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti