Catatan Rizal Effendi
DARI Jakarta saya meluncur ke Sentul Bogor, Jumat (20/10) sore. Alhamdulillah udaranya sangat sejuk. Sentul barusan disiram hujan. Jalan dan hutan di sekitarnya tampak basah. Bogor diguyur hujan sebenarnya hal biasa, maklum curah hujan di kawasan ini biasanya memang tinggi. Karena itulah Bogor dijuluki “Kota Hujan.”
Tapi saya kaget ketika sampai di rumah cucu saya, Jenna. Ternyata distribusi air PDAM di rumahnya lagi ngadat. “Sudah beberapa lama air digilir di sini, Kai, ya salah satunya karena dampak kemarau. Hujan tadi yang pertama,” ujar Mas Akbar, ayah Jenna.
Kawasan Bogor ternyata juga dilanda kemarau akibat badai El Nino. Bukan saja Kalimantan dan daerah lainnya. El Nino adalah fenomena alam yang menyebabkan berbagai wilayah termasuk Indonesia dilanda kekeringan yang berkepanjangan.
Nama El Nino itu unik juga. Konon dari Bahasa Spanyol. Artinya anak laki-laki. Lawannya La Nina, anak perempuan. Kalau El Nino terjadi ketika suhu permukaan laut menjadi lebih hangat, maka La Nina terjadi ketika suhu permukaan laut menjadi lebih dingin. Terutama di Samudera Pasifik.
Kekeringan akibat El Nino membawa berbagai dampak yang berat. Di antaranya krisis air bersih di mana-mana, krisis pangan dan gagal panen, yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras 3,5 juta ton serta terjadinya kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Di mana-mana orang kesulitan mendapatkan akses air karena sejumlah waduk dan sungai mengering. Pemandangan tak lazim terlihat di Waduk Kedungombo, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah. Bayangkan eks kompleks pemakaman yang sudah ditenggelamkan bertahun-tahun silam kini muncul lagi.
Dari Makassar, mantan wapres Jusuf Kalla (JK) secara khusus meminta PMI di kota itu membagi-bagikan air bersih kepada masyarakat. Nipah Park, salah satu mall terbesar di kota ini terpaksa tutup karena tak dapat distribusi air.
Di Balikpapan, air Waduk Manggar dan Teritip juga menyusut. Ratusan tonggak kayu dari waduk bermunculan. Kabarnya ketinggian air sudah di bawah 10 meter. PDAM sudah melakukan penggiliran. Karena kapasitas air baku dari 1.400 liter per detik menurun ke angka 900-an. Kompleks perumahan yang menggunakan WTP juga kelabakan. Termasuk di kediaman saya, kompleks Balikpapan Regency. Warga mau tak mau harus membeli air tanah, yang harganya naik berlipat-lipat. Itu pun harus menunggu giliran.
Kita memang sudah merasakan kekeringan berbulan-bulan. Puncaknya pada Agustus dan September lalu. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Nino diperkirakan masih akan berlangsung hingga akhir Oktober ini.
Tapi ini sudah ada tanda-tanda turun hujan. Malah di Aceh terjadi hujan lebat yang membuat bencana banjir. BMKG memperkirakan wilayah Kalteng berpotensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang dapat disertai angin kencang dan petir hingga tiga hari ke depan.
Di Balikpapan dalam minggu ini ada dua kali hujan, meski durasi atau intensitasnya tidak terlalu panjang. Tapi setidaknya memberi harapan kalau hujan bakal datang dan mengakhiri musim kemarau yang sudah terjadi berbulan-bulan.
Hanya saja Sabtu (14/10) malam lalu terjadi peristiwa memilukan. Seorang warga di Balikpapan Barat meninggal ketika membenahi tandon untuk pengisian air di rumah saudaranya. Fondasi tandon itu mungkin sudah lapuk, ketika air sudah terisi tiba-tiba runtuh dan menimpa warga tersebut.
Upaya pertolongan diberikan. Sang warga sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong. Pemakaman dilakukan Minggu siang dalam suasana penuh dukacita. Padahal keluarga tersebut tengah persiapan menggelar acara Maulud, sehingga acara Mauludnya dirangkai dengan tahlilan kematian. Sungguh tragis, semoga Allah SWT menerimanya husnul khotimah.
KESADARAN AIR KURANG
Mengatasi kekurangan air memang tidak mudah. Ini menjadi isu dunia. Makanya ada peringatan Hari Air Sedunia (World Water Day) setiap tanggal 22 Maret sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya air bersih bagi keberlangsungan hidup.
Peringatan Hari Air Sedunia ditetapkan melalui Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Sejak itu kampanye dan upaya membangun kesadaran masyarakat tentang penggunaaan dan pengelolaan sumber daya air terus digaungkan. Termasuk di Indonesia.
Dari situs PBB disebarluaskan tema Hari Air Sedunia Tahun 2023, yaitu “Be The Change” atau “Menjadi Perubahan.” Cukup singkat, tapi bermakna dalam. Yaitu suatu upaya mendorong masyarakat untuk mengambil peran dan tindakan dalam hidup mereka untuk mengubah cara mereka dalam menggunakan, mengonsumsi, dan mengelola air bagi keberlangsungan kehidupan mereka.
Sayang kampanye tentang air di masyarakat sangat kurang. Masih kalah dengan sampah. Padahal dari tahun ke tahun kebutuhan air meningkat karena pertambahan penduduk dan ragam pemakaian. Sedang sumber air baku terbatas dan belum dikelola secara maksimal dan efisien. Warga seperti cuek, seakan-akan air akan datang dengan sendirinya.
Pada waktu normal sekali pun, Balikpapan misalnya, masih kekurangan suplai air baku. Catatan saya kurangnya sekitar seribu liter per detik. Pasti sudah bertambah. Selama ini sumber air baku hanya dua. Dari waduk dan embung serta sumur atau air tanah. Ada Sungai Wain, tapi selama ini dipakai oleh Pertamina. Kapasitasnya juga terbatas.
Tempo hari sebenarnya mau dicoba pemanfaatan air laut (desalinasi). Investornya sudah berkali-kali datang ke Pemkot. Berbagai perizinan sudah diselesaikan. Sayang di detik terakhir partner dari luarnya ada masalah, sehingga rencana itu jadi batal atau tertunda. Saya sering mengatakan cepat atau lambat Balikpapan harus menempuh program desalinasi sambil menunggu teknologi yang lebih murah.
Dalam waktu singkat ini, Balikpapan tentu berharap banyak janji dari Kementerian PUPR ditunaikan. Waduk Sepaku di Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah mulai diisi air. Rencananya 500 liter per detik akan dikirim ke Balikpapan. Tinggal persoalan siapa yang menanggung biaya pemasangan pipa transmisi. Biayanya cukup besar karena panjang pipa dari Sepaku ke Balikpapan di atas 50 km.
Selama ini mengatasi kekurangan air baku, PDAM dan warga di Balikpapan menggunakan sumber air tanah. Apakah bersumber air dari mata air, sumur dangkal atau sumur dalam. Yang perlu diwaspadai penggunaan air tanah berlebihan bisa menimbulkan dampak baru.
Anjloknya tanah atau penurunan permukaan tanah di sekitar kawasan Puskib (eks RSU lama) beberapa tahun lalu memberi indikasi karena pengurasan air tanah yang sudah berlebihan. Itu juga berdampak terhadap kuantitas dan kualitas air tanah jadi menurun. Belum lagi kemungkinan terjadinya intrusi air laut.
Izin penggunaan air tanah memang tidak bisa diumbar. Apalagi produksinya dalam skala besar. Karena itu dulu ada pemikiran untuk membatasi penggunaan air tanah untuk keperluan sekunder seperti pencucian kendaraan dan sejenisnya. Di Jakarta ada Pergub yang mengatur pengendalian air tanah di zona bebas air tanah.
Pemkot juga harus mengendalikan penentuan tarif penjualan air tanah, yang belakangan tidak terkendali dan ada kesan semau-maunya. Masa harga per tandonnya sampai di atas Rp 200 ribu. Tentu sangat mencekik kantung warga tak mampu.
Harus kita sadari bahwa seyogianya sesuai UUD, air dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pandangan Islam mengutip dari Rumah Zakat, menjual air dalam kondisi normal masih bisa dibenarkan. Tapi dalam kondisi darurat dan krisis air, sebenarnya harus dibagi cuma-cuma sebagai bentuk sedekah. Kecuali biaya pengangkutannya. Adalah sangat zalim jika ada orang yang berpikiran peluang besar mengeruk keuntungan dari menjual air di tengah krisis air. (*)