spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kedai Kopi di Atas Rawa, Tongkrongan Komunitas Musik dan Teater Samarinda

Aroma pekat menyerbak di ruang tengah kedai. Mesin sangrai dengan tinggi 1,5 meter tersebut berbunyi menderu-deru. Memanggang ribuan biji kopi yang didatangkan dari Bali. Yang semula hijau pucat, berubah tampak gosong dan hitam pekat.

Tahapan selanjutnya adalah penggilingan hingga jadi bubuk. Sebelum diseduh dengan air panas dan tertuang dalam cangkir para penikmatnya. Beginilah aktivitas yang umum dijumpai di kedai-kedai kopi. Namun yang satu ini, berbeda dari kedai umumnya.

Kamis, 4 Februari 2021, media ini mendatangi sebuah kedai kopi yang terletak di Jalan Pramuka, Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara. Lokasinya memang tak cukup umum bagi kedai kopi. Meski tak sulit ditemukan, tetap harus jeli karena lokasi yang tersembunyi. Dihimpit puluhan bangunan rumah bertingkat dua.

Wujud kedai ini pun memiliki kesan tersendiri. Berbentuk seperti rumah lawas Samarinda tahun 1970-an. Berbahan kayu ulin dan berdiri di atas rawa-rawa. Luasnya sekitar 20×10 meter. Halaman depan dominan diisi papan yang berfungsi sebagai jembatan penyeberangan.

Bergerak sedikit ke teras, pengunjung akan melihat dinding berhias ornamen Suku Dayak seperti Topi Cantring dan patung ukiran. Beranjak lagi ke dalam, tampak ruangan cukup besar terhampar sepanjang 8 meter dari pintu masuk hingga meja bar.

Di sisi kiri ruang tamu yang berfungsi sebagai tempat duduk pelanggan itu, sebuah rak besar menampung puluhan kemasan biji kopi. Di sisi kanan, dua meja terlihat mengapit dan menjadi tempat kopi dieksekusi. Diatas meja, beragam alat terhampar seperti mesin V60 dan grinder kopi. Ada pula sejenis amplifier berdiri persis di depan mesin sangrai yang terletak di sisi kiri ruangan.

Elcindra selaku pemilik kedai, mengatakan jika kedai kopinya memang sering digunakan untuk merekam musik atau menjadi tempat pementasan beragam komunitas musik dan teater di Samarinda. “Kedai kopi ini memang bukan sekadar kedai. Tapi memang rumah seni,” ucap pria berambut gondrong tersebut.

DISAMBANGI MUSISI LOKAL HINGGA INTERNASIONAL
Kedai bernama Rumah Rawa cukup dikenal sebagai tongkrongan wajib anak-anak scene atau skena musik dan teater di Samarinda. Sejak dua tahun kedai kopi tersebut berdiri, sudah banyak gelar acara atau showcase dilakukan beragam komunitas musik dan teater.

“Terakhir 4 Desember lalu, teman-teman juga ada membuat showcase atau nonton bareng dokumenter musik. Judulnya Grind for Better life, soal perjalanan skena musik grindcore di Indonesia gitu,” ucapnya.

Sejumlah musisi lokal seperti Desy Edhar, Irene Sugiarto, dan Rio Satrio, sudah beberapa kali tampil di sini. Bahkan ada pula musisi internasional dari genre musik noise seperti Noijzu dan Still Und Dunkel asal Swiss. Grup musik tersebut mendatangi Rumah Rawa pada 19 Maret 2020 lalu.

“Mereka datang mengolaborasikan musik mereka dengan pendongeng tradisional Samarinda yakni M Sabir HL,” lanjut Elcindra.

Pria berkacamata tersebut sangat senang banyak musisi dan seniman mau mengadakan acara di Rumah Rawa. Sebab, jiwa seni juga mengalir di darahnya. Ayahnya, Elansyah Jamhari, adalah salah satu dari empat inisiator Teater Mahakam, sebuah komunitas teater legendaris di kalangan masyarakat Samarinda yang sudah berdiri sejak 1984. “Bedanya seni saya itu ada di kopi,” kelakar Elcindra.

Elcindra juga mengaku jarang mengenakan biaya untuk acara atau showcase di Rumah Rawa. “Kembali ke kesepakatan dan kebutuhan pementasan lagi nanti bagaimana,” ucapnya.

TEMUKAN 1 RASA KOPI BERBAHAN 12 REMPAH RAHASIA
Sebagaimana kedai kopi, Rumah Rawa juga mempunyai signature atau kopi khas unggulan bernama Kopi Rawa. Adalah sebuah kopi susu berbahan 12 rempah rahasia. Dikemas dalam satu cairan sirup.

Elcindra menghabiskan satu tahun untuk menemukan takaran pas untuk keseimbangan ke-12 bahan rempah tersebut. “Pernah ditawar beberapa juta gitu buat resepnya, tapi saya enggak mau,” ungkapnya.

Elcindra mendapat ide menggabungkan 12 rempah tersebut setelah lama hidup di Jogjakarta. Mengambil inspirasi dari minuman berempah seperti wedang uwuh dan minuman lain yang berbahan jahe.

“Itu ‘kan khas banget. Idenya bagaimana mau menghangatkan badan, tapi medianya itu kopi,” jelasnya. “Ke-12 rempah ini bisa ditemukan sehari-hari kok. Cuma proses campurnya rumit,” sambungnya.

Proses pembuatannya sendiri dimulai dari 12 bahan rempah. Bahan-bahan itu kemudian dimasak dalam tungku berukuran 250 Liter untuk membuatnya menjadi sirup kental. Untuk sekali pembuatan sirup rempah tersebut memerlukan 3-4 Jam. Kopi Rawa pun bisa dinikmati dengan harga Rp 18 ribu. “Meskipun sering sold out,” ungkapnya.

DARI PSIKOLOGI BERAKHIR DI KOPI
Elcindra mendirikan Rumah Rawa pada 2019. Berselang seminggu setelah pulang dari Kota Pelajar, Jogjakarta. “Awalnya kuliah Jurusan Psikologi di Universitas Mercu Buana, total 10 tahun di sana,” ucap pria 35 tahun itu.

Sesampainya di Kota Tepian, Elcindra mengajak beberapa teman-temannya yang berasal dari latar belakang teater dan seniman menggarap rumah kepemilikan ayahnya tersebut. Total ada 4 orang yang diajaknya. “Didirikan dengan harapan aku enggak pengin kerja formal atau kantoran,” sambungnya.

Alasan lainnya, kata Elcindra, sudah cukup lama dia bergelut di dunia perkopian. Sejak 2013, dia sudah menjadi barista untuk berbagai kedai. Pertengahan 2016, dia mendirikan kedai kopi bernama Bin Slab di Jogja. Terakhir, Elcindra bekerja kantoran di sebagai supervisor produksi pada 2017. “Kalau bisa dibilang rezekinya udah disana,” sambungnya.

Pria beranak dua tersebut sebenarnya sedari awal tidak menyangka akan terjun begitu “dalam” di dunia perkopian. Berawal dari iseng dan mencari kerjaan pada semester akhir perkuliahan. Kini total sudah 8 tahun dia bergelut di bisnis perkopian. “Enggak menyangka banget. Tapi alhamdulillah bisa sangat menikmati,” pungkas pria berkacamata itu. (kk)

Artikel kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti