JAKARTA – Melewati jalan berliku namun tanpa lubang, memandangi perkebunan sawit, rumah-rumah warga yang berjarak. Sesekali berhenti di rumah makan sederhana sekadar meregangkan otot-otot hingga menapaki jalur aspal lurus membentang ratusan kilometer. Jalur darat menuju Sarawak Malaysia dan Brunei Darussalam, sebuah perjalanan panjang yang menghubungkan tiga negara ASEAN.
Memilih moda transportasi udara mungkin masih menjadi favorit lantaran menawarkan waktu tempuh yang cepat. Namun perjalanan darat juga bisa menjadi alternatif lain karena harga yang terjangkau, khususnya bagi warga Pontianak, Kalimantan Barat.
Memakan waktu kurang lebih 7 jam dari Terminal Antar Lintas Batas Negara Sei Ambawang, Kalimantan Barat, menuju Terminal Sentral Bus Kuching, Sarawak Malaysia. Perjalanan yang lumayan panjang memang, namun ada tempat pemberhentian untuk makan siang atau sekadar beristirahat.
Pemberangkatan dari Sei Ambawang dibagi menjadi dua perjalanan, pagi pada pukul 07.00 WIB dan malam pada 23.00 WIB setiap hari dengan harga tiket Rp270 ribu. Jarak antarkursi lumayan luas, ada pijakan kaki, AC, kompartemen penyimpan barang pada bagian atas, setop kontak untuk mengisi daya, dan toilet mini.
Fasilitas sama juga ditemui pada bus jurusan Pontianak-Brunei Darussalam. Bedanya, untuk menuju Brunei dibutuhkan waktu kurang lebih 22 jam perjalanan, lantaran jaraknya yang mencapai 1.137 kilometer. Harga tiketnya sendiri mencapai Rp1,1 juta dengan beberapa kali pemberhentian untuk makan, isi bensin, hingga beristirahat.
Pemberangkatan menuju Brunei Darussalam hanya ada pada hari Senin, Rabu, dan Jumat pada pukul 07.00 WIB, sedangkan arah sebaliknya pada Selasa, Kamis dan Sabtu.
Perjalanan 7 jam dan 22 jam memang bukan waktu yang sebentar. Namun, bagi sebagian warga Pontianak, ini adalah pilihan terbaik dibandingkan harus terbang ke Jakarta terlebih dahulu kemudian lanjut ke Kuching atau Brunei Darussalam.
Perjalanan antara Indonesia dan Sarawak ini pun terbilang mulus tanpa gangguan. Infrastruktur yang baik berperan penting dalam memperlancar jalannya berkendara sehingga menimbulkan perasaan nyaman.
Tak heran, banyak mobil dengan pelat kendaraan KB yang berseliweran di wilayah Kuching, Sarawak saking mudah dan terkoneksinya dua negara tersebut.
Begitu pun dengan perjalanan ke Brunei Darussalam. Sebelum ada Tol Pan Borneo yang membentang dari Sarawak, Brunei, dan Sabah, jarak waktu yang ditempuh dari Pontianak ke Brunei bisa mencapai 30 jam.
Namun kini, hanya butuh 22 jam. Yang artinya, infrastruktur ini telah menghemat setidaknya 8 jam perjalanan untuk mencapai kota Bandar Seri Begawan. Nantinya, Pan Borneo juga akan terhubung langsung dengan Indonesia.
Konektivitas antarbatas
Konektivitas ASEAN digaungkan pertama kali melalui Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) pada 2010. Ini merupakan program kerja sama antara negara-negara ASEAN dengan membangun keterhubungan transportasi dan infrastruktur di negara-negara Asia Tenggara guna mewujudkan Komunitas ASEAN.
Konektivitas ASEAN ini tidak hanya berbicara soal kesuksesan infrastruktur dan transportasi yang mampu menghubungkan beberapa negara, tetapi juga berkaitan dengan keberlanjutan pembangunan, inovasi digital, logistik tanpa hambatan, regulasi yang unggul serta mobilitas orang.
Data Kantor Imigrasi Entikong, Kalimantan Barat, menyebut pelintas atau pelaku perjalanan luar negeri yang melewati Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong rata-rata 532 pada hari biasa dan 700 pelintas saat akhir pekan. Angka tersebut naik dua kali lipat saat hari libur.
Keperluan kunjungannya pun beragam mulai dari wisata, bisnis, mengunjungi keluarga, bekerja, hingga berobat. Hal ini membuktikan minat warga Indonesia untuk melewati batas negara menggunakan jalan darat cukup besar.
Pihak imigrasi juga memberikan kemudahan bagi warna negara asing (WNA) berupa bebas visa kunjungan dan visa kunjungan wisata kepada 10 negara di ASEAN dengan jangka waktu tinggal selam 30 hari untuk keperluan wisata.
Itu baru dari jalur Entikong. Ke depan, konektivitas antara Indonesia dan Malaysia akan ditambah lewat rute Singkawang-Kuching. Untuk jalur udara, Sarawak, Malaysia dan Brunei Darussalam terkoneksi melalui penerbangan langsung Kuching-Jakarta sebanyak tiga kali seminggu, kemudian Brunei-Jakarta menggunakan maskapai Royal Brunei.
Saat ini, sedang didorong dibukanya kembali rute Pontianak-Kuching yang sangat dinanti oleh kedua negara. Selain itu, rute Balikpapan-Kuching juga menjadi sesuatu yang ditunggu.
Rute tersebut berdekatan dengan Ibu Kota Nusantara (IKN), diharapkan kehadirannya dapat mendorong potensi kerja sama atau kolaborasi lebih lanjut antara Indonesia dan Sarawak Malaysia.
Konsul Ekonomi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching, Sarawak, Malaysia Theodorus Satrio Nugroho mengatakan persamaan rumpun, bahasa, suku (Dayak), dan wilayah yang berdekatan mampu menghubungkan orang ke orang (people to people) sehingga mampu mendorong bisnis dengan melihat produk apa yang paling dibutuhkan masyarakat setempat.
Kehadiran IKN dianggap sebagai jalan baru untuk lebih menghubungkan negara-negara yang berada di Borneo, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam baik secara infrastruktur, transportasi, maupun ekonomi.
“KJRI terus mendorong berbagai stakeholder untuk bisa suatu saat dibentuk asosiasi UMKM se-Borneo sehingga mereka bisa merasakan juga pertumbuhan Borneo melalui IKN ini,” kata Theodorus kepada ANTARA.
Upaya mempererat konektivitas
Sebagai saudara serumpun, hubungan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam terbilang lebih mudah erat. Dengan bahasa yang tidak jauh berbeda, kondisi iklim, dan daerah yang sama, hingga budaya yang saling beririsan, membuat konektivitas ini semakin terjalin.
Tentunya ini tidak lepas dari people to people connection dan hal tersebut bisa menjadi diplomasi jalur kedua, atau di luar jalur formal pemerintah. Misalnya saja, tidak sedikit warga negara Brunei yang mendengarkan lagu-lagu Indonesia, film Indonesia, atau mengikuti gaya busana kaum Muslim.
Kisah, bentuk wajah, dan keseharian yang terjadi di Indonesia sangat relevan dengan kehidupan di sana. Bahkan, tidak sedikit juga warga Brunei yang mengikuti gosip-gosip selebritas Indonesia melalui sosial media atau saluran televisi.
Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Brunei Darussalam Achmad Ubaedillah mengatakan konektivitas antara ASEAN, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang sudah terbangun, harus terus diperbaharui agar semakin relevan dengan kebutuhan orang-orangnya. Hal tersebut dapat meningkatkan kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan keamanan.
Ke depan dalam bidang perdagangan tentu banyak yang bisa dilakukan karena infrastrukturnya sudah ada, tinggal diperbaharui sehingga konektivitas lebih menjadi sesuatu yang relevan.
Pembaruan ini, salah satunya baru saja dilakukan melalui penandatangan nota kesepahaman perihal kerja sama dan koordinasi dalam rangka peningkatan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi Indonesia dengan negara mitra.
Mata uang lokal diharapkan dapat berkontribusi positif pada kegiatan ekspor-impor, investasi, transaksi pembayaran lintas batas, antara lain melalui QR cross border, termasuk dalam memfasilitasi transaksi perdagangan surat-surat berharga.
Bank Indonesia menyebutkan saat ini telah terdapat implementasi kerja sama mata uang lokal antara Indonesia dengan sejumlah negara di kawasan, yaitu Malaysia, Thailand, Jepang, dan Republik Rakyat Tiongkok. Sementara itu, dengan Singapura dan Korea Selatan, telah diperoleh kesepakatan bersama untuk membangun implementasi kerja sama LCT dengan Indonesia.
Selain itu, perlu adanya peningkatan penyelenggaraan festival musik, peragaan busana kelas internasional, pameran seni, serta ajang-ajang lainnya di wilayah Kalimantan untuk semakin menambah kedekatan antarwarga dari ketiga negara.
Terhubungnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadikan ASEAN sebagai komunitas satu dan unggul. Terlebih di dalam keketuaan Indonesia pada KTT Ke-43 ASEAN, kawasan ini semakin berperan besar dalam pergerakan roda ekonomi dunia.
Pada akhirnya, cita-cita Indonesia untuk memperkuat ASEAN menjadi kawasan ekonomi yang tumbuh cepat, inklusif, berkelanjutan, dan relevan bagi masyarakatnya, mampu tercipta. (ant/MK)
Pewarta : Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor : Achmad Zaenal M