JAKARTA – Kontroversi mengenai terpilihnya Guripa Telenggen, yang diduga sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebagai Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puncak periode 2023-2028 mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menilai bahwa hal ini bukan merupakan kecolongan dari pihak Polri, melainkan kelalaian dalam pemeriksaan latar belakang.
Berdasarkan Pengumuman Bawaslu RI Nomor 2571.1/KP.01/K1/08/2023, Guripa Telenggen terpilih menjadi komisioner Bawaslu Puncak 2023-2028 bersama Yorince Wanimbo dan Fredi Wandikbo. Pelantikannya pun telah dilaksanakan pada Sabtu (19/8).
“Saya tidak sepakat ini merupakan bentuk kecolongan. Bagi saya, jika kita tidak bisa menuding ada kesengajaan, maka ini adalah kelalaian,” ungkap Fahmi dikutip dari Alinea.id.
Fahmi menambahkan bahwa Polri memiliki peran dalam proses seleksi calon anggota Bawaslu, terutama dalam penerbitan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Namun, proses penerbitan SKCK tampaknya tidak dilakukan dengan teliti.
Dalam proses seleksi, kepolisian juga terlibat dalam beberapa tahap, seperti tes kesehatan dan kejiwaan oleh Biddokkes serta tes psikologi oleh Biro SDM Polda setempat. Namun, Fahmi menilai bahwa integritas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan seleksi tampak kurang.
Pengamat pertahanan dan keamanan, Connie Rahakundini Bakrie, juga menyoroti isu ini. Ia menilai bahwa jika benar adanya terduga anggota OPM menjadi pimpinan Bawaslu, hal ini dapat mengancam keutuhan NKRI. “Kasus ini the worst. Indonesia bisa bubaran,” ujar Connie.
Connie juga meminta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, untuk segera bersikap. Ia menekankan pentingnya isu ini mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah daripada kasus lain seperti Al-Zaytun.
Fahmi menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi. Ia meminta tim seleksi dan Bawaslu RI memberikan klarifikasi terkait isu ini. “Jika ternyata itu adalah kelalaian, tentu saja selain harus ada koreksi keputusan, harus ada juga pihak yang bertanggung jawab atas kelalaian itu,” tegasnya. (MK)