spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

17 Dosen Unmul Ikut Tolak UU Omnibus Law, Castro: Pengusaha Bisa Bayar Pesangon Semaunya

Akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah

SAMARINDA – Aksi unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja di Samarinda bukan saja dilakukan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tetapi juga diikuti akademikus Universitas Mulawarman, Rabu (7/10) kemarin.

Dosen Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah, menyebut rencana pemerintahan Joko Widodo dan DPR yang memaksakan pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja dianggap di luar batas nalar. UU tersebut dinilai berisikan pasal-pasal bermasalah. Nilai-nilai konstitusi (UUDNRI Tahun 1945) dan Pancasila dilanggar. Juga cacat dalam prosedur pembentukan.

“Aspirasi publik pun kian tak didengar. Bahkan terus dilakukan pembatasan seakan tidak lagi mau dan mampu mendengar apa yang menjadi dampak bagi hak-hak dasar warga,” sebut Castro.

Castro pun mengemukakan sejumlah masalah mendasar dari materi muatan pasal-pasal dari berlakunya UU Cipta Kerja. Yang pertama adalah sentralistik rasa Orde Baru. Terdapat 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada presiden melalui pembentukan peraturan presiden. Kedua adalah anti-lingkungan hidup.

Terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis resiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.

Ketiga adalah liberalisasi pertanian. Tidak ada lagi perlindungan petani ataupun sumber daya domestik, dan semakin terbukanya komoditi pertanian impor. Serta dihapusnya perlindungan lahan-lahan pertanian produktif.

Dan keempat adalah abai terhadap hak asasi manusia. Pasal-pasal tertentu mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis. Sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. Terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hak warga, dan lain-lain.

BACA JUGA :  Duh...Tingkat Kemantapan Jalan di Kaltim Terendah Se-Indonesia

Yang kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU. Metode ‘omnibus law’ tidak diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 jo UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Bagaimana mungkin sebuah UU dapat dibentuk tidak sesuai prosedur. Terlebih lagi, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan pada masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia,” sesalnya.

Dengan rentetan persoalan tersebut, serta menyimak potensi dampak kerusakan yang akan ditimbulkannya secara sosial-ekonomi dari terbitnya UU tersebut, Castro, berikut puluhan akademikus lainnya yang tersebar di 30 perguruan tinggi se-Indonesia, tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

PENGUSAHA BISA BAYAR PESANGON SEMAUNYA
Catat Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, ada 1,86 juta orang yang bekerja di Kaltim. Status pekerjaan utama terbanyak adalah sebagai buruh atau karyawan. Jumlahnya 956 ribu orang atau 51,51 persen.

Hampir satu juta buruh di Kaltim inilah yang akan menerima dampak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan.  Paling menjadi sorotan, terkait poin-poin ketenagakerjaan. Salah satu yang dikritisi adalah masalah pesangon. Dalam draf awal, pesangon tenaga kerja diatur dengan batasan minimal. Namun, dalam draf akhir UU Cipta Kerja, pesangon tenaga kerja justru diatur dengan batasan maksimal.

BACA JUGA :  Setahun, Lapas Narkotika Samarinda  Gagalkan 10 Penyelundupan Sabu

Melalui akun Instagram DPR RI, Rabu (7/10) kemarin, ada postingan sanggahan terkait info yang beredar. Berikut beberapa postingan tersebut:
– Di masyarakat, beredar 12 alasan buruh menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Dua belas poin tersebut ternyata tidak benar. Berikut ini kita kupas satu per satu beserta pasal dan fakta yang sebenarnya agar semua jelas!”
– Benarkah uang pesangon tidak ada? Faktanya, uang pesangon tetap ada.

Dalam UU Cipta Kerja, uang pesangon memang tetap harus dibayar pengusaha. Hal ini tertuang dalam draf akhir Bab IV Ketenagakerjaan. Khususnya pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 156 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003. Bunyinya adalah, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Namun, di Ayat 2, dalam draft final disebut, uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan.

Herdiansyah Hamzah menyebut frasa “paling banyak” sangat membahayakan. Artinya pengusaha bisa membayar pesangon semaunya. Asalkan tidak melebihi batas, pengusaha tak akan menyalahi aturan. “Perspektif yang dipakai harusnya standardisasi minimal sebagai jaring pengaman buruh. Ketentuan paling banyak, justru berdampak hilangnya jaring pengaman itu. Jadi, pesangon bisa saja dibayar di batas terendah, kendati pun buruh sudah bekerja puluhan tahun,” tegasnya.

BACA JUGA :  Negara Diminta Hadir Atasi Banjir Sangatta

Dalam draf final Undang-Undang Cipta Kerja, tidak hanya masalah pesangon. Dalam Ayat 3 dikatakan, uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud Ayat 1, juga diberikan paling banyak sesuai ketentuan.

Di ayat 4, disebut juga uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada Ayat 1. Meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh, dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja.

Juga hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Lalu di Ayat 5, disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada Ayat 2, 3, dan 4, diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Dengan rentetan persoalan tersebut, serta menyimak potensi dampak kerusakan yang akan ditimbulkannya secara sosial-ekonomi dari terbitnya UU tersebut, Castro, berikut puluhan akademikus lainnya yang tersebar di 30 perguruan tinggi se-Indonesia, tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Hingga pukul 18.30 Wita hari ini, telah ditandatangani 71 akademikus. Sebanyak 17 di lainnya dosen Universitas Mulawarman dan empat orang dosen perguruan tinggi swasta di Samarinda. (red)

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img