spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tiga Tahun Kasusnya Fluktuatif, Dinkes Kukar Waspadai Kasus DBD

TENGGARONG- Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara (Dinkes Kukar) memberikan perhatian khusus terhadap tren peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di daerahnya.

Menurut Kepala Sub Koordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kukar, Sri Suharti, jumlah kasus DBD selama tahun 2020 sebanyak 307 kasus. Selang setahun kemudian turun sekitar 39,5 persen dengan total 186 kasus. Sedangkan hingga Juni 2022, kasus DBD melonjak menjadi 210 kasus.

Sementara tingkat kematian, lanjut Sri, pada tahun 2020 sebanyak 2 kasus, sedangkan tahun 2021 menjadi 3 kasus.

Untuk tahun berjalan pada 2022 ini, data sementara Dinkes Kukar mencatat sebanyak 1 kasus kematian. Seluruh data tersebut, jelas Sri, didapat dari laporan 32 puskesmas yang ada di 18 kecamatan se-Kukar.

Sri menjelaskan pula, dari 6 kasus kematian selama 2020 hingga Juni 2022, didominasi anak usia 5-14 tahun sebanyak 3 kasus. Diikuti usia 15-44 tahun sebanyak 2 kasus dan usia 1-4 tahun sebanyak 1 kasus.

Sri memastikan pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk menekan kasus DBD di Kukar, terutama Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan gotong royong pembersihan lingkungan. Termasuk pula menguras dan membersihkan tempat penampungan air bersih.

Terlebih sifat nyamuk Aedes Aegypti yang menyebabkan BDB, disebut Sri merupakan nyamuk yang eksklusif dan unik. Disebut eksklusif karena lebih senang bersarang dan bertelur di air yang bersih, bukan di air yang kotor. Dikatakan unik, lantaran telur nyamuk penyebab DBD ini mampu bertahan 4-6 bulan di tempat kering. Seolah “mati suri”, ketika air kembali menampung, maka telur-telur tersebut kembali menetas.

“Selain faktor hujan, telur nyamuk DBD ini tahan 4-6 bulan tanpa air. Jadi selama musim kemarau memang jarang ada peningkatan kasus, jadi mereka bertelur di musim kemarau di dinding tadahan air,” ujar Sri saat ditemui diruangannya, Jumat (1/7/2022).

Sehingga tidak hanya membuang genangan atau tadahan air saja. Tempat yang menampung air itupun sebaiknya dikuras dan disikat secara berkala. Memastikan telur-telur nyamuk Aedes Aegypti yang berada di dinding-dinding penampungan air, bersih dan tidak bersisa.

“Selama masyarakat masih abai kebersihan, maka (kasus) DBD tetap ada,” ungkap Sri.

Terkait aktivitas pengasapan atau fogging, saat ini memang dikurangi atau tidak disarankan lagi. Karena dianggap kurang efektif, karena hanya membunuh nyamuk yang beterbangan saja. Maka pencegahan dengan membunuh selagi masih dalam fase telur lebih dianjurkan. Karena efek negatif yang dihasilkan dari penyemprotan lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya.

“PSN itu lebih ke mencegah, karena fogging untuk nyamuknya dan jentiknya tidak mati. Jika sarang tetap ada, pasti kasus terus ada,” tutupnya. (afi)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img