Semua Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di Indonesia, termasuk di Kaltim, telah lama sesak. Kebanyakan dihuni pelaku penyalahgunaan narkoba. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pun berharap revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bisa menjadi solusi masalah over capacity ini.
Tim Peliput: Andi Desky, Muhammad Rafi’i
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Kaltim dan Kaltara, Sofyan mengatakan, seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Permasyarakatan mulai dari lembaga pemasyarakatan (lapas) hingga rumah tahanan (rutan) sudah melebihi kapasitas (over capacity). Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung lama dan akan semakin sesak.
Dia mengatakan, total narapidana dan tahanan di seluruh UPT Pemasyarakatan di Kaltim-Kaltara per 22 April 2022, sebanyak 12.488 orang. Sedangkan kapasitas atau daya tampung lembaga hanya 3.586 orang. Artinya terjadi kelebihan kapasitas hampir 9.000 orang di seluruh UPT Permasyarakatan di Kaltim-Kaltara.
“Semua serba over kapasitas. Jadi total UPT ada 17, bapas (balai pemasyarakatan, Red.) ada 3, rubasan (rumah penyimpanan barang sitaan negara) ada 1, dan lapas ada 14. Itu semua over kapasitas. Dulu sebelum Covid-19 hampir mencapai 18 ribu. Saya pastikan dari 12 ribu sekian itu, ada 7 persen adalah penghuni yang terjerat narkoba,” jelasnya, Jumat (22/4/2022).
Membludaknya jumlah tahanan ini, kata Sofyan tidak hanya disebabkan kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Menurutnya, ada beberapa tindak pidana dengan hukuman ringan dibawah satu tahun yang semestinya tidak perlu dijebloskan ke tahanan. Pemberian hukuman ringan atau sanksi sosial dengan wajib lapor, seharusnya sudah bisa memberikan efek jera.
Selain memberi ruang untuk kapasitas UPT Permasyarakatan sekaligus memudahkan pengawasan, kebijakan ini juga dapat meminimalisasi penggunaan anggaran negara. Pasalnya berdasarkan dari data yang disampaikannya, untuk anggaran makan para tahanan dan narapidana di seluruh lapas dan rutan di Kaltim memerlukan sekitar Rp 30 miliar.
“Sampai kapan pun tidak pernah ada cerita lapas kosong (tidak over capacity, Red.) selama regulasi tidak diubah,” ucapnya kepada Media Kaltim.
Soal lapas khusus narkoba, Sofyan mengungkapkan idealnya memerlukan area 20-30 hektare. Di dalam lapas memiliki sarana dan prasana seperti rumah sakit, panti rehabilitasi, rumah ibadah, dan tempat pertemuan untuk menunjang kegiatan permasyarakatan dan lainnya. “Banyak yang harus kita buat di sana, tidak hanya orang dikurung. Idealnya lapas narkotika ya seperti itu,” ungkapnya.
Disisi lain, ia menganggap harus ada perubahan pola pikir dari penyidik pada kasus narkotika, untuk tidak lagi menitikberatkan sebuah kasus pada hukuman kurungan saja. Namun prinsip pengobatan bagi pengguna narkotika juga harus dikedepankan untuk menghentikan adiksi atau ketergantungan narkotika tersebut.
“Untuk konsumsi sendiri mestinya harus di-asesmen. Ketika memang orang itu terbukti benar baru pengguna pertama, kedua, ketiga, itu mungkin wajib rehab (rahabilitasi, Red.) bukan menjalankan hukuman,” jelasnya. Asesmen yang dimaksud berupa tindakan penilaian untuk mengetahui kondisi residen akibat penyalahgunaan narkoba yang meliputi aspek medis dan aspek sosial.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly berharap revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mampu menjadi solusi atas kondisi lapas yang melebihi kapasitas. Banyak persoalan terjadi di dalam lapas katanya, karena dipicu lapas over capacity akibat banyaknya narapidana kasus narkoba.
“Banyak persoalan kita karena over kapasitas dan lain-lain, kita sekarang sedang merevisi UU Narkotika, dalam proses pembahasan di DPR RI, kita harapkan ini dapat membantu pengurangan over kapasitas di lapas kita,” kata Yasonna melalui keterangan resmi, Jumat (22/4/2022) setelah melantik 39 pejabat di lingkungan Kemenkumham di Jakarta.
Dia menilai UU Narkotika saat ini, tidak memiliki konsepsi jelas mengenai pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika. Penanganan pada pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan, semestinya difokuskan pada upaya rehabilitasi melalui mekanisme asesmen. Sementara bandar narkoba katanya, dapat diberi hukuman berat untuk memberi efek jera.
Akhir 2021, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai masalah over capacity di lapas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Divisi Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Chikita Edrini Marpaung menyatakan, kondisi lapas yang sudah over capacity itu bentuk nyata pemerintah melakukan pelanggaran HAM.
“Apakah pemerintah dapat diduga melakukan pelanggaran HAM? Tentu. Karena tadi, pelanggaran HAM yang jelas-jelas nyata di depan kita,” ujar Chikita dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (12/9/2021). Menurutnya, over capacity di dalam lapas tidak manusiawi. Dalam kondisi berdesakan dalam sel katanya, akan bisa memunculkan dampak lain seperti kondisi kesehatan narapidana yang buruk.
Senada, peneliti Imparsial, Hussein Ahmad menyebut kondisi over kapasitas lapas merupakan pelanggaran hak narapidana. Menurutnya, warga binaan tetap dapat memperoleh hak-haknya selayaknya manusia. “Setidak-tidaknya ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi yang secara sistematis dilakukan oleh negara. Negara sudah tahu masalahnya, tapi tetap dibiarkan,” paparnya.
Sementara Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Kaltim Wisnu Andayana mengatakan, memang semestinya pengguna narkotika direhabilitasi dan tidak dikurung dalam penjara. Dengan catatan harus ada proses asesmen terpadu yang dilakukan secara ketat.
“Bukan semestinya tapi memang seperti itu aturan mainnya. Selama ini penyalahguna direhabilitasi, untuk pengedar ya di penjara, penyalahguna sebenarnya adalah korban,” terangnya kepada Media Kaltim, Kamis (21/4/2022).
BUKAN PENGGUNA NARKOBA
BNNP Kaltim jelas Wisnu, telah menjalankan proses asesmen di kantor mereka. Setiap kasus penyalahgunaan narkotika baik oleh penyidik Polri maupun dari BNNP wajib melalui asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari ahli psikologi, ahli pidana, ahli medis dan ahli hukum.
“Untuk mengetahui apakah pelaku benar-benar sebagai pelaku tindak pidana narkotika atau sebagai korban penyalahgunaan narkoba yang memerlukan rehabilitasi. Hasilnya berupa rekomendasi untuk pertimbangan hakim di pengadilan,” jelas pria yang pernah menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sulawesi Barat tersebut.
Wisnu mengatakan, sepanjang 2021, BNNP Kaltim dan jajaran telah melakukan upaya demand reduction melalui upaya rehabilitasi baik medis maupun sosial dan berbagai kegiatan dalam mendukung upaya pelaksanaan rehabilitasi. Tercatat sebanyak 371 orang telah direhabilitasi, rinciannya 260 klien rehabilitasi rawat jalan dan 111 klien rehabilitasi rawat inap.
Sementara 55 klien melanjutkan ke program pasca-rehabiltasi. Dengan nilai ukuran kualitas hidup klien pasca-rehabilitasi adalah 25 klien pulih dan produktif, 21 klien yang pulih dan tidak produktif, 2 klien tidak pulih dan produktif, serta 4 klien yang tidak pulih dan tidak produktif.
Dia menilai kelebihan kapasitas di lapas memang karena besarnya jumlah pelaku peredaran narkoba dan bukan oleh pengguna benda haram tersebut. “Kalau para pengguna ditahan bisa semaput di lapas karena tidak adanya perawatan pada pecandu. Jadi lapas penuh bukan oleh pengguna narkoba, tapi dipenuhi oleh pengedar narkoba,” ungkapnya.
Lebih lanjut Wisnu mengatakan, DPRD Kaltim tengah menggodok revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Fasilitas Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika. Didalam perda disebutkan terkait peran pemerintah daerah dalam hal mendukung program rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika.
Sementara Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda Nomor 7 Tahun 2017 DPRD Kaltim, Saefuddin Zuhri menilai, kelebihan kapasitas di lapas karena membludaknya pelaku penyalahagunaan narkotika harus serius ditindaklanjuti. Karena itu katanya, DPRD Kaltim telah melahirkan perda yang mengatur tentang fasilitas rehabilitasi pengguna narkoba.
Dia membenarkan saat ini DPRD tengah menggodok revisi Perda Nomor 7 tersebut. Beberapa poin yang akan direvisi yakni menyesuaikan perda dengan Intruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Juga tentang peran Pemprov Kaltim dalam mendukung rehabilitasi pengguna narkotika termasuk penganggarannya.
“Artinya sebelum ada revisi Undang-Undang Narkotika kita sudah buat perda yang mengatur rehabilitasi. Yang jelas kita sosialisasikan tentang narkotika ini, kita edukasi masyarakat, kita dorong masyarakat pro aktif sebagai upaya menahan laju peredaran narkotika,” jelas anggota Komisi III DPRD Kaltim itu.
Dia menambahkan, bila benar penyebab over capacity lapas karena diisi penyalahguna narkotika, maka sarana dan prasana untuk rehabilitasi harus siap dan mumpuni. Agar mampu menampung pasien rehabilitasi dan memberi kesembuhan pasca-rehabilitasi. “Kalau dari legislasi saya harap ada peraturan turunannya dan semua kabupaten/kota membuat perdanya juga,” tandasnya. (eky)