spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Siti Fajjarina, Guru Penggerak dari Tengah Sawit: Cahaya Pendidikan di Pelosok Kutai Timur

SANGATTA – Di sebuah sekolah yang terletak di tengah hamparan kebun kelapa sawit di Muara Wahau, Kutai Timur, semangat pendidikan tak pernah padam. Di sanalah Siti Fajjarina, atau yang akrab disapa Miss Ririn, menyalakan obor pengetahuan dan harapan bagi anak-anak pelosok. Ia bukan sekadar pengajar, melainkan penggerak perubahan di tengah keterbatasan.

Sejak kecil, Ririn telah bermimpi menjadi guru. Meski sempat patah semangat karena gagal masuk perguruan tinggi negeri, ia akhirnya diterima di salah satu kampus ternama di Jakarta. Cita-cita masa kecilnya untuk mengajar di daerah terpencil tetap terjaga hingga akhirnya terwujud di Kutai Timur.

“Saya memang ingin mengajar di pelosok, karena merasa bisa lebih berguna di sana,” ungkapnya kepada Media Kaltim, Jumat (2/5/2025).

Ririn sempat lolos seleksi program SM3T untuk ditempatkan di Nusa Tenggara Timur, namun ia juga mendapat tawaran menjadi guru di sekolah milik perusahaan kelapa sawit di Muara Wahau. Setelah mempertimbangkan durasi pengabdian, ia memutuskan untuk mengajar di Muara Wahau.

Mengajar di pelosok tentu bukan perkara mudah. Ririn dihadapkan pada keterbatasan fasilitas dan kesenjangan kemampuan belajar siswa. Namun, ia tak menyerah. Ia menciptakan media pembelajaran sendiri dan menjadikan lingkungan sekitar sebagai laboratorium hidup, terutama dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Tak hanya itu, ia secara sukarela membuka kelas tambahan untuk Matematika dan Bahasa Inggris, serta menginisiasi program matrikulasi bagi siswa yang tertinggal.

“Saya percaya semua anak punya potensi. Mereka hanya butuh pendekatan yang tepat,” ujarnya.

Ketika semangatnya sempat meredup, program Guru Penggerak hadir sebagai penyulut semangat baru. Lewat program ini, Ririn menyadari bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajar, tetapi juga turut membentuk ekosistem pendidikan yang berpihak pada murid.

Kini, sebagai Guru Penggerak, ia aktif membagikan ilmunya kepada guru lain, menjadi narasumber pelatihan, dan mengikuti berbagai kompetisi pendidikan. Ia menjadikan filosofi Ki Hajar Dewantara sebagai pedoman dalam setiap inovasi yang ia terapkan.

Salah satu momen paling berkesan adalah ketika ia menerapkan pembelajaran diferensiasi berdasarkan kesiapan siswa. Meski sempat ragu, hasilnya luar biasa—siswa yang selama ini dianggap lemah justru menunjukkan kemajuan pesat ketika diberi ruang belajar sesuai kemampuannya.

Siti Fajjarina bersama anak didiknya. (Ist)

“Selama ini mereka hanya bergantung pada teman yang lebih pintar. Saat diberi ruang sendiri, mereka justru tumbuh,” ceritanya.

Tak hanya para siswa, lingkungan sekolah juga berubah. Guru mulai melihat potensi siswa secara menyeluruh, bukan hanya dari nilai akademik. Anak-anak yang dahulu minder kini tampil percaya diri di bidang seni dan olahraga, bahkan berhasil mewakili sekolah hingga tingkat provinsi dan nasional.

Di momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Ririn menyampaikan harapannya agar pendidikan di Kutim terus konsisten dan berkembang.

“Meski di pelosok, kami bisa bersaing. Anak-anak kami punya potensi besar, mereka hanya butuh kesempatan yang sama,” tegasnya.

Ia juga berharap agar kurikulum pendidikan di Indonesia lebih stabil, sehingga guru dan siswa tidak terus-menerus terdampak oleh perubahan kebijakan yang mendadak.

Kepada para guru muda, Ririn berpesan agar tidak gentar menghadapi keterbatasan.

“Menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa. Di tempat terpencil, kehadiran kita bisa menjadi cahaya yang menerangi masa depan mereka,” pungkasnya.

Penulis: Ramlah
Editor: Agus Susanto

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.