Cerpen: Muthi’ Masfu’ah
Aku memandang datar, vas bunga cantik yang kau rangkai 2 bulan lalu. Dadaku terasa sesak, aku teringat saat istriku hamil anakku. Aku masih kurang perhatian padanya. Aku tergolong suami yang begitu cuek, pulang seenaknya dan lebih mementingkan teman-temanku. Hingga kadang aku pulang malam. Aku belum pernah bertanya kondisi kehamilannya, belum pernah bertanya kamu ngidam apa? Ingin dibelikan apa? Tak pernah ada terucap dariku bentuk perhatian untuknya. Aku hanya menghabiskan waktu untuk kesenanganku sendiri. Tapi aku lihat kamu, diam saja tidak pernah menuntut apapun dariku.
Tiba-tiba tanpa aku sadari, butiran bening hangat mengalir di pipiku, ada rasa sesal di hati ini. Aku malu pada diriku sendiri, aku malu pada istriku, aku bukanlah suami yang baik untuknya, aku malu pada istriku aku bukanlah suami yang bijak baginya, aku suami yang teramat idealis, aku suami yang egois yang menelantarkannya. Membiarkannya dalam kesendirian, membiarkannya setiap malam menangis dalam hatinya.
Kadang pagi, aku melihat matanya sembab. Mungkin semalam ia menangis, tapi tak jua aku bertanya padanya. Aku biarkan ia setiap pagi menyiapkan sarapan untukku, sambil memutar mesin cuci, mencuci baju-baju kotorku. Sore hari bahkan malam aku datang, rumah tetap rapi, pakaianku juga sudah wangi digantung di lemari dan makan malam yang sudah tersedia di atas meja. Biasa ia menyambutku dengan rapi, harum. Meski aku lihat matanya sayu dan badannya sering terasa hangat. Tapi, berkali-kali aku menyalahkan diriku, aku suami yang kurang perhatian padanya.
Aku masih memandangi vas bunga rangkaian istriku di meja makan. Rumah ini terasa sepi, tak akan aku dengar lagi suaranya. Tidak akan pernah. Mengajakku untuk makan, mengingatkan aku untuk salat, minum vitamin, atau berbagai bentuk perhatianmu untukku. Walau selama ini aku kurang perduli. Aku selalu menyalahkan dalam hati, inilah akibat perjodohan orangtua. Walau istriku ini adalah tipe yang aku cari, tapi orangtuaku selalu memaksakan bahwa aku belum siap menikah, apalagi aku baru 25 tahun. Aku masih ingin berlama-lama bermain dengan sahabatku, entah bersepeda ke gunung, ngobrol hingga larut malam atau apapun asalkan bersama sahabat-sahabatku.
Tapi istriku memang sabar. Walau aku tahu mungkin, di balik kesabarannya, ada rasa kesedihan yang mendalam mendampingiku, mungkin semua ia lakukan demi aku dan buah hatiku yang ada dirahimnya. Walau aku tahu, beberapa orang lelaki yang hendak melamarmu waktu itu tak hanya aku. Tapi beruntungnya aku lebih dulu melamar dan orangtuaku adalah sabahat orangtuamu. Dan aku lihat, ia hanya diam dan menuruti perintah orangtuanya. Menerima lamaranku.
Aku paham dibalik kata, “Iya Abi” ada kata tidak yang kau sembunyikan didasar hatinya, apalagi aku melihat wajah sendunya yang ayu. Setiap aku meminta sesuatu. Aku paham di balik senyum manismu, ada tangis yang mendera di hatimu tanpa aku perduli apa sebabnya.
Aku paham dibalik jawabanmu, “Gak ada apa-apa Abi, aku baik-baik saja Abi”. Ada apa di hatimu yang sengaja engkau sembunyikan.
Aku tahu dibalik anggukanmu, ada penolakan halus di hatimu yang tak pernah kau ungkapkan padaku dan aku selalu tidak perduli akan itu. Aku tahu itu, aku paham. Ia cukup takut mengungkapkannya padaku, mungkin terlalu tegasnya diriku padanya.
Aku masih ingat betul kala itu, saat Ramadan telah tiba, kau menyiapkan dengan rapi pakaian takwa untukku juga sekaligus pakaian Lebaran yang sama denganmu. Aku tak bertanya uang belanja darimana ia dapatkan, sepertinya kalau aku hitung tidaklah cukup semua itu. Tapi aku terlalu tak perduli, aku yakin kalu diam berarti cukup, itu saja dalam pikiranku. Tak juga, aku ucapkan terima kasih atas semua itu.
Saat kita berbelanja di sebuah toko busana muslim, dan aku pernah memilihkan jilbab dari kualitas yang terbaik, tapi kamu menolaknya dengan alasan tidak cocok, padahal aku tahu mungkin kamu mau, aku lihat dari matamu yang berbinar dan agak kaget ketika melihat harga jilbab tersebut. Kamu keberatan karena harganya menurutmu kemahalan. Dan kamu lebih memilih jilbab dengan harga yang sederhana. Duhai, aku mulai sadar. Engkau adalah wanita terhebat dan tersabar yang aku temui di dunia.
Aku melihat rak sepatuku yang rapi tersusun, juga isi lemariku dengan kemeja-kemeja bagus bermerek yang kau pilihkan untukku. Yang berbeda harga dengan milik istriku. Kamu lebih mengutamakan aku. Entah mataku berkaca. Ruang ini terasa sempit.
Kembali mataku terus berkaca, saat tengah malam sebulan lalu. Aku pulang larut, kau tawarkan makan malam, aku hanya jawab dengan gelengan kepala, aku jarang sekali mau menyentuh masakanmu, bukan karena masakanmu tidak enak, tapi lebih karena aku sudah makan bersama sahabatku.
Aku juga tahu, kamu begitu hati-hati mengeluarkan uang belanja bulanan, kau catat rapi di handphonemu dan kau kirimkan laporannya untukku, tanpa aku minta. Aku perlu angkat jempol buat kecerdasanmu dalam hal mengatur tata laksana rumah tangga, beda kebalikannya dengan aku, aku jarang bahkan tak pernah mencatat mengeluaranku. Bahkan akhir bulanpun aku sering mendapati dompetku terisi uang walau tak banyak. Kau bilang, “Untuk jaga-jaga Abi, kalau Abi lapar atau bensin mobil habis”. Aku ingat kata-katamu dan aku terharu.
Urusan jam tangan, tiba-tiba aku ingat. Beberapa kotak jam rapi di lemari disusun olehmu, yang harganya juga lumayan. Tapi ketika aku hendak membelikan untukmu, kamu pasti bilang , “Belikan yang harganya gak usah terlalu mahal Abi, sayang uangnya Abi.” Sungguh kamu adalah wanita sederhana yang aku temui.
Aku masih dalam ruangan sunyi, aku merenung. Aku bukanlah suami yang baik buatmu dan bukan ayah yang baik buat anak kita, hampir 5 tahun berumah tangga, dan kita dikarunia 2 anak ini, aku tak mengenal kondisi rumah ini, keadaan rumah, karena sebagian waktu aku banyak habiskan di luar sana bersama sahabatku. Meski aku selalu setia padamu, tak akan tega menyakiti hatimu.
Dan aku selalu ingat, setiap waktu salat ia menyirimkan pesan di wa. “Abi jangan lupa salat ya Abi…” Dan aku untuk urusan waktu salat, aku sebisa mungkin melaksanakannya. Hanya aku sadar, aku belum bisa menjadi imam yang baik untukmu. Aku jarang salat berjamaah denganmu. Mataku berkaca lagi.
Kita baru menyadari makna cinta yang dalam dan arti sebuah kasih sayang, saat orang tersebut sudah tak ada di sisi kita. Mataku terus berkaca. Allah, Maafkan aku. Rindu suara manja dan lembutmu memanggilku untuk makan, mengingatkan salat, jangan lupa istirahat, minum vitamin. Saat kau tak ada di sini. Baru aku paham. Baru aku menyadari betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Meski aku tak mampu menjagamu.
Aku pandangi vas bunga rangkaianmu. Rangkaian terakhirmu. Aku yakin engkau damai bersama pelukan pemilik aslimu, Yang Agung. Yang mengajarkan banyak makna cinta dan kasih sayang, Allah. Mataku terus berkaca. (*)