spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Rp60 Ribu untuk 2 Lumpia, Fenomena Kuliner Pecinan Halal di Mall Lembuswana

JUMAT malam, 20 Juni 2025. Saya menyempatkan diri singgah ke Mall Lembuswana, Samarinda. Bukan untuk belanja. Bukan pula urusan kantor. Saya cuma penasaran.

Ada video pendek di beranda TikTok saya, menampilkan festival kuliner di mall itu. Judulnya mencolok: Gebyar Kuliner Jakarta Pecinan Halal. Kabarnya, event ini diikuti puluhan tenant yang menyajikan makanan khas Pecinan dari Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya.

Digelar mulai 20 hingga 29 Juni 2025 di lantai 2 Mall Lembuswana, acara ini menghadirkan lebih dari 42 tenant dari Jakarta dan sejumlah kota besar, menyuguhkan kuliner khas Pecinan versi halal.

Ada cehuntiau, gohyong, oyster bakar, sampai baso A Fung. Semua diklaim halal. Awalnya saya tak terlalu ambil pusing, sampai akhirnya membaca komentar-komentar netizen: ramai, mahal, tapi tetap laris. Nah, itu yang bikin saya tertarik datang.

Saya tiba sekitar pukul 19.00 WITA. Area parkir padat. Harus putar satu kali baru dapat tempat. Begitu naik ke lantai 2, suasananya langsung terasa berbeda.

Mall yang biasanya lengang malam hari, kali ini penuh orang. Ramai, tapi tidak sesak. Pengunjungnya beragam. Anak muda, pasangan, keluarga, lalu-lalang membawa makanan.

Deretan stan tertata rapi. Bau minyak panas, asap panggangan, dan wangi rempah bercampur di udara. Beberapa menu terdengar asing. Tapi justru itu yang bikin orang makin ingin mencoba. Termasuk saya.

Saya beli lumpia isi dua, harganya Rp60 ribu. Gudeg Jogja lengkap Rp59 ribu. Harga segini jelas lebih mahal dari biasanya. Tapi anehnya, antrean tetap mengular. Banyak pembeli dari kalangan Tionghoa, tapi warga lokal pun banyak yang ikut mencicipi.

Saya dan istri tergoda juga. Total kami habiskan hampir Rp600 ribu malam itu. “Yang penting bisa mencicipi saja, supaya nggak penasaran,” kata istri saya.

Sistem pembayarannya semua digital—QRIS, e-money, e-wallet. Beberapa stan bahkan tidak menerima uang tunai. Bagi pengunjung yang terbiasa cash, mungkin agak repot. Tapi dari sisi penyelenggara, ini lebih praktis dan aman.

Lorong mall yang biasa kosong, malam itu jadi semacam jalur ekspedisi rasa. Anak-anak duduk santai di kursi dan meja yang disediakan. Remaja sibuk swafoto. Di dekat eskalator, saya lihat petugas kebersihan hilir-mudik mengepel lantai yang mulai lengket.

Ternyata ini event kedua. Sebelumnya digelar di Living Plaza Balikpapan, awal Juni. Di sana lebih dari 40 tenant hadir, membawa bahan masakan langsung dari Jakarta, Bandung, dan Medan menggunakan kontainer. Antrean panjang sampai satu jam jadi pemandangan biasa. Bahkan sempat ada promo cashback 50 persen dari salah satu bank.

Saya melihat, acara ini bukan semata jualan makanan. Ini pengalaman. Ini cara lain menikmati malam di kota karena ada rasa, aroma, dan interaksi.

Dari balik hiruk-pikuk suara wajan dan antrean panjang, saya menangkap satu hal: kota ini butuh lebih banyak ruang untuk bertemu dan berbagi.

Bukan sekadar ruang rapat atau debat, tapi ruang yang memberi alasan untuk orang berkumpul tanpa beban, meski setelah membayar Rp60 ribu untuk dua lumpia.

Saya tak membawa banyak oleh-oleh malam itu. Tapi saya pulang dengan pengalaman. Kadang, kita tak perlu alasan besar untuk keluar rumah. Cukup satu ajakan, satu rasa penasaran, dan sisanya biarkan berjalan seperti malam itu. (*)

Oleh: Agus Susanto

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.