spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ricuh Setelah Suara Dipangkas, Pemilihan BEM Unmul 2021/2022, Rektorat Turun Tangan

Sudah pukul 11 malam namun sidang terbatas membahas sengkarut pemilihan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mulawarman belum juga kelar. Di sebuah ruangan di Unmul, sidang pada Rabu, 8 Desember 2021, itu berlangsung sengit. Para mahasiswa saling potong suara, mengemukakan pendapat mengenai pemilihan umum raya (pemira).

Kericuhan ini tidak bisa dilepaskan dari rangkaian kegiatan pemira sebelumnya. Bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa Unmul, kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya.

Bermula ketika Komisi Penyelenggara Pemilihan Raya (KPPR) Unmul mengadakan pemungutan suara pada 30 November 2021. Pemilihan yang dilangsung selama sembilan jam sejak pukul 08.00 hingga 17.00 Wita itu dilakukan sistem e-voting. Terdapat dua pasangan calon (paslon) yang bertanding. Selain Ikzan Nopardi (FISIP) dan Bagus Rekso (FKIP), ada Joji Kuswanto (FT) dan Andi Indra Kurniawan (FEB).

Setelah seluruh suara dihitung, Ikzan-Bagus dinyatakan sebagai pemenang dengan memperoleh 4.462 suara. Sementara Joji-Kuswanto mendapat 4.440 suara. Kedua pasangan hanya berselisih 22 suara. Dengan demikian, Ikzan dan Bagus ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden BEM Keluarga Mahasiswa (KM) Unmul periode 2021/2022.

Namun, lima hari usai pemungutan suara, KPPR mengurangi 200 suara dari pasangan Ikzan-Bagus. Komisi pun menetapkan Joji-Kuswanto sebagai Presiden dan Wapres BEM KM terpilih hari itu juga. Keputusan tersebut diambil setelah Badan Pengawas Pemilu Raya (Bawasra) mengeluarkan surat keputusan bernomor 06 tentang Putusan Laporan Hasil Pemira.

Dalam surat tersebut, tim sukses Ikzan-Bagus dinyatakan terbukti melanggar pemira yakni melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan. Persisnya, menyebarkan ajakan pada tengah malam atau delapan menit setelah masa kampanye berakhir pada 30 November itu di sebuah grup aplikasi perpesanan.

Tidak terima dengan keputusan panitia, keesokan harinya, Ikzan dan Bagus bersama timnya mendatangi gedung Rektorat Unmul. Mereka menuntut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Alumni, Encik Akhmad Syaifudin, memanggil penyelenggara pemira.

Masalahnya, mereka curiga, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) berpihak kepada paslon. Dugaan keberpihakan itu dengan mengintervensi panitia. Ikzan-Bagus menyatakan, keputusan panitia cacat formil. Dasarnya, surat permohonan gugatan dan bukti yang dilampirankan berbeda.

“Ini keanehan kedua, setelah saya dinyatakan gagal berkas saat menjadi bakal paslon, cuma gara-gara persoalan redaksi bahwa KRS harus terbaru. Beberapa keganjilan itu pertanda panitia (Bawasra) berpihak kepada paslon sebelah,” ungkap Ikzan dan Bagus, Rabu, 8 Desember 2021.

Dua Malam Mencekam
Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Yupa, Siti Rahma, mengabarkan, ada sekelompok orang sambil membawa balok kayu ke lantai dua student center (SC) Unmul pada Ahad malam, 5 Desember 2021. Suara pecahan kaca dari sekretariat DPM Keluarga Mahasiswa terdengar jelas.

Berdasarkan informasi yang diterima Siti, satu orang dari kelompok tersebut mengaku sebagai anggota salah satu paslon presiden dan wapres BEM KM Unmul. “Tapi, dia tidak menjawab ketika ditanya dari paslon mana. Dia mengaku hendak menyegel sekretariat. Kami bilang ke dia, kami tidak punya urusan. Yang penting jangan menggangu aktivitas kami,” kata Siti, Kamis, 9 November 2021.

Ketegangan belum berhenti. Pada Senin, 6 Desember 2021, pukul 12 malam, lima pria, beber Siti, terlihat berseliweran di area SC. Tiga orang di antaranya ke lantai dua mendatangi sekertariat DPM sambil teriak-teriak. Dua orang yang tersisa menahan sambil meminta maaf kepada anggota UKM Teater yang berlari ke sumber suara. “Tiga orang lainnya marah-marah. Satu di antara mereka berkata, ‘ini soal pemira. Ini soal pemira’,” ungkap Siti.

Wakil Presiden BEM KM Unmul Periode 2020-2021, Efan Alfarizki, menjelaskan dampak dari kejadian tersebut. Sejumlah inventaris DPM seperti dispenser, meja, kipas, dan alat elektronik lainnya, dilaporkan rusak. Mengenai lima pria yang datang pada Senin itu, diduga hendak merusak sekertariat Pusat Studi Islam Mahasiswa (Pusdima) namun berhasil dicegah.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, beber Efan, para pelaku perusakan diduga mahasiswa Unmul yang tidak menerima keputusan panitia pemira mengurangi suara salah satu paslon. BEM KM mengecam aksi vandalisme ini. BEM meminta, kasus ini diusut tuntas dan para pelakunya diberi hukuman setimpal.

“Menyikapi keputusan harus disertai dengan cerdas dan kepala dingin. Tidak perlu melakukan kerusakan. Sangat disayangkan fasilitas yang kami perjuangkan malah dihancurkan dengan tidak bertanggung jawab.” jelas Efan, Selasa, 7 Desember 2021.

Ketua DPM KM, Muhammad Guntur Saputra, memberikan klarifikasi mengenai masalah ini. Tudingan intervensi itu muncul ketika tim salah satu paslon melihat DPM ikut rapat bersama panitia. Padahal, terang Guntur, kehadiran DPM hanya mengarahkan, bukan mengintervensi.

Mengingat, peran DPM dalam pemira adalah steering sommittee (SC). Sedangkan KPPR dan Bawasra berperan sebagai penyelenggara. Kententuan tersebut diatur di UU Pemira Pasal 6. “Mengenai pemotongan suara, sudah sesuai aturan hukum dan tafsiran kepanitiaan yang berlaku,” tegas Guntur kepada media ini.

Ihwal perusakan sekertariat DPM, Guntur mengaku tidak mengetahui persis siapa pelakunya. Meski demikian, menurutnya, tidak susah mencari tahunya. “Secara logika, sederhana. Siapa lagi coba, yang merusak? Tidak ada asap, jika tidak ada api,” ucapnya.

Dikonfirmasi pada kesempatan berbeda, ketua tim sukses Ikzan-Bagus, Mujahidin, menyatakan, timnya tidak pernah merencanakan dan merusak sekretariat. Saat perusakan terjadi, tim pemenangan disebut sedang fokus menyusun rencana advokasi dan domenstrasi di rektorat.

Satu hari sebelum demonstrasi, tim menyusun rencana agar protes berjalan damai. Mengenai kabar timnya sebagai pelaku perusakan, Mujahidin mencurigai, hal tersebut sebagai penggiringan opini untuk mendiskreditkan paslon timnya.

“Kalau memang pelakunya bagian dari kami, akan kami tindaklanjuti. Apapun sanksi yang diberikan, kami akan menghargai,” jelas Mujahidin via telepon, Kamis, 9 Desember 2021.
Kampus Turun Tangan

Pada Rabu, 8 Desember 2021, Unmul mengadakan sidang tertutup selama 12 jam dari pukul 11.00 hingga 21.11 Wita. Dalam sidang tersebut, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Alumni, Unmul, Encik Akhmad Syaifudin, menyatakan, dua ketetapan yang dikeluarkan KPPR dibatalkan. Keduanya yakni pemotongan 200 suara paslon Ikzan-Bagus dan pengesahan Bagus-Rekso sebagai Presiden dan Wapres BEM KM terpilih.

Ketua DPM KM, Muhammad Guntur Saputra, menyayangkan keputusan rektorat tersebut. Menurutnya, keputusan tersebut sama saja mengintervensi pemira. Seharunya, keputusan penyelesaian masalah ada di tangan DPM. Sementara Joji Kuswanto menyatakan, keputusan rektorat adalah tanda kampus mengintervensi dinamika organisasi mahasiswa.

“Keputusan itu tidak berdasar. Harusnya mengacu aturan (AD/ART) kemahasiswaan dulu. Ini forumnya mahasiswa. Kami tetap berjuang untuk keadilan ini,” tegas Joji.

Encik Akhmad Syaifudin menjelaskan, keputusan membatalkan ketetapan KPPR berdasarkan maklumat bernomor 491/UN17/KM/2021 yang diteken pada Senin malam. Kampus disebut membuat surat tersebut dengan beberapa pertimbangan.

Di antaranya adalah pemenuhan rasa ketidakadilan pelaksanaan dan penetapan pemira, adanya dugaan tidak melaksanakan mekanisme pemerimaan gugatan secara adil, dan DPM KM yang dinilai tidak merespons panggilan rektorat untuk dimintai keterangan secara tatap muka. “Khusus poin yang terakhir, kampus perlu penjelasan yang lengkap mengenai kondisi pemira,” beber Encik.

Sepanjang Senin, 6 Desember 2021, Encik mengaku menghubungi DPM KM untuk bertemu. Dalam komunikasi tersebut, Encik mempersilakan organisasi tersebut menentukan tempat pertemuan. Selain itu menawarkan pengamanan penuh hingga meminta bertemu berdua saja.

Akan tetapi, semua permintaan tidak direspons baik. DPM KM baru memberi tanggapan setelah maklumat dikeluarkan. “Ketika malam itu saya mengeluarkan maklumat, baru mereka datang ke saya,” terang Encik, Jumat, 10 Desember 2021.

Encik menjelaskan bahwa maklumat dikeluarkan untuk mengembalikan posisi dan proses pemira sebelum semua konflik ini terjadi. Dalam persidangan tertutup tadi mengundang semua pihak berwenang, termasuk kedua paslon. Dalam forum tersebut, beberapa pihak dilaporkan tidak percaya dengan netralitas DPM KM.

“Kami, sebagai orang tua, hanya ingin menengahi anak-anak kami. Jangan sampai ada yang luka-luka dan ada fasilitas yang dirusak. Upaya komunikasi pun sudah saya lakukan juga. Jadi, kalau saya disebut intervensi, tidak mungkin pang saya cawe-cawe masuk,” ucap Encik.

Drama Politik yang Klasik
Untuk menganalisis peristiwa tersebut secara objektif, kaltimkece.id meminta tanggapan dari akademikus politik, Budiman; dan sejarawan lokal, Muhammad Sarip. Sebagai alumnus Unmul, Muhammad Sarip menjelaskan latar belakang permira. Ia mengaku pernah mengalami dinamika organisasi kemahasiswaan dari level fakultas hingga universitas era 2000-an.

Penerima Sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah dari Kemdikbud-BNSP itu mengatakan, pelaksanaan pertama pemira Unmul berlangsung pada 16 Februari 2004. Waktu itu, Unmul baru menggunakan sistem Keluarga Mahasiswa (KM) yang memisahkan lembaga legislatif dan eksekutif. Sistem tersebut sebagai pengganti sistem presidium yang ditetapkan pada 2001.

Dalam sistem presidium, setiap perwakilan fakultas dimungkinkan menjabat sebagai koordinator ekskutif kampus yang dipilih per dua bulan sekali. Kekuasaan legislatif dan eksekutif dipegang oleh presidium.

Namun, konflik internal Unmul dan situasi politik Indonesia pascareformasi mengubah konstelasi. Semangat pemilihan langsung atau one-man-one vote pun berembus kencang di permukaan publik. Sejarah pemira di kampus setelahnya selalu diwarnai dengan konflik.

“Waktu pemira pertama, yang nyapres itu ada lima calon. Konflik dan penggunaan aksi massa untuk memaksakan kehendak sudah terjadi sejak kali pertama pemira,” ungkap Sarip ditemui media ini di kantornya di Samarinda.

Sarip mengungkapkan, konflik mahasiswa Unmul sebenarnya tidak dari organisasi mahasiswa internal kampus saja. Organisasi eksternal kampus dipastikan selalu terlibat dalam kontestasi pemira. Berbeda dengan organisasi internal yang memberi pengetahuan tentang studi dan keilmuan, organisasi eksternal memberikan ideologi yang sudah hadir dalam pergerakan nasional sejak era 1950-an.

Secara historis, pemisahan antar organisasi internal dan eksternal berdasarkan kebijakan normalisasi kehidupan kampus atau badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/NKK) yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978.

Sejak saat itu, organisasi eksternal selalu bertarung merebut posisi di organisasi internal semua kampus di Indonesia. Di Unmul, Sarip menyebut, organisasi eksternal memberi ideologis kepada pucuk pimpinan organisasi internal. “Mereka punya pengaruh di beberapa BEM Fakultas. Biasanya, mainnya di peraturan,” beber Sarip.

Akademikus Budiman setuju dengan pendapat Sarip. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Unmul, itu mengaku sudah lama mengamati politik organisasi kampus sejak 2005. Menurutnya, hampir setiap fakultas di Unmul, ada organisasi eksternal yang melekat dengan mahasiswa internal kampus. Beberapa fakultas itu seperti FISIP dan Fakultas Hukum.

Kedua fakultas tersebut kerap bersinggungan dengan dunia organisasi lain dan kehidupan politik. Mengenai konflik pemira yang terjadi baru-baru ini, Budiman menilai, hal tersebut adalah wujud akumulasi dari dinamika organisasi internal dan eksternal kampus.

“Ini bukan karena saya mengajar FISIP, lho, ya. Tetapi analisis saya. Mereka selalu berhasil menjabat karena memegang mahasiswa baru. Yang jelas, beberapa tahun terakhir, pemira memang selalu ramai dengan konflik,” beber Budiman.

Encik Akhmad Syaifudin, menambahkan, sebenarnya tidak ada masalah mahasiswa Unmul yang mengikuti organisasi eksternal kampus ikut pemira. Secara peraturan, undang-undang menjamin setiap mahasiswa bebas berorganisasi. Hanya saja, Encik berpesan agar mahasiswa mengedepankan kedewasaan dalam berorganisasi. Jangan sampai, pesan dia, hanya konflik yang dikenang saat berorganisasi.

“Jadi terkait hasil akhir (pemira), kami tunggu kondusif dulu. Masalah ada pemenang dan sebagainya, itu sebetulnya nomor kesekian. Kampus tidak ingin ada konflik lebih besar. Keselamatan Unmul itu yang terutama,” tutup Wakil Rektor Bidang Akademik dan Alumni. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti