spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Puasa dan Keteladanan Politik

Oleh: Aldy Artrian
Ketua Bawaslu Kota Bontang

Kita patut bersyukur telah kembali diperjumpakan dengan Ramadhan tahun ini, sepantasnya pula berharap bahwa Ramadhan ini akan diakhiri dengan peningkatan berbagai capaian dari sebelumnya.

Ramadhan selalu menyajikan berbagai kebaikan, rangkaian ibadah serta puasa menjelma menjadi sekolah meraih derajat taqwa. Mengembalikan manusia kembali pada fitrahnya, fitrah kecakapan seutuhnya dalam mengendalikan atas dirinya sendiri. Guna merawat, lalu mendekatkan kembali hubungan –jika sempat merenggang– dengan Sang Khalik.

Jika memaknai puasa dan politik dalam pandangan filosofis, maka sesungguhnya keduanya memiliki persinggungan tebal dan pertalian erat terhadap tugas manusia di muka bumi. Menjadi pemimpin yang membawa kepada kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.

Hikmah Puasa dan Kebajikan Politik

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih populer dengan (Buya) Hamka. Seorang Ulama, Sastrawan, hingga Aktivis idealis. Dalam salah satu karya monumental, Tafsir Al-Azhar jilid I (2015), beliau menjelaskan puasa adalah upaya pengendalian diri seorang hamba terhadap dua syahwat dirinya yaitu syahwat seks dan syahwat perut yang bertujuan untuk mendidik iradat atau kemauan dan dapat mengekang nafsu.

Keberhasilan pengendalian diri tersebut akan mengangkat tingkatnya sebagai manusia. Kemudian juga mengingatkan bahwa hikmah puasa adalah pendidikan kepada diri sendiri. Apabila hidup kenyang saja terus, pikiran itu lebih banyak terhadap kebendaan. Didik-kan puasa adalah intropeksi, mengatur, menguasai diri sendiri. Sehingga hawa nafsu tidak akan mempengaruhi kita.

Cendekiawan muslim dan ahli tafsir Al Quran, Quraish Shihab menerangkan setidaknya ada empat manfaat dari puasa: pertama, mendidik. Puasa dengan sifat-sifat kesabaran, agar dapat mengendalikan diri dari segala yang membatalkan nilai puasa, semata-mata beribadah kepada Allah SWT.

Kedua, menyehatkan rohani. Menghilangkan penyakit kejiwaan, seperti iri, dengki, hasut, dan sebagainya. Ketiga, jujur. Puasa dengan sungguh-sungguh secara perlahan tapi pasti akan menimbulkan sikap jujur, percaya diri, dan berakhlak mulia. Kesadaran tentang pengawasan Allah terhadap dirinya, otomatis menghilangkan sikap kehipoktritan, kerakusan, sadisme yang pada akhirnya menumbuhkan moral.

Keempat, kepedulian sosial. Orang yang taat melaksanakan ibadah puasa, akan menumbuhkembangkan kepedulian sosial mendalam, dan berpihak kepada kelompok dhu’afa (fakir miskin).

Pada konteks politik, dewasa ini sebagian masyarakat merasa alergi dengan politik beserta segala aktifitasnya. Memandang politik adalah bagian kegelapan dunia. Seolah nilai kemuliaan tidak pernah hidup disana, keserakahan kerap dianggap suatu kewajaran. Sikap sinis ini bertumbuh ditengah masyarakat, rasa pesimis kepada para politisi.

Kecewa demi kecewa menjadikan mereka menjadi apatis untuk berkontribusi. Merasa hubungan dengan pemimpin dan pemerintah (negara) hanya sebatas hubungan transaksional. Tidak lebih. Padahal perlu diketahui, hampir semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara dipengaruhi oleh keputusan-keputusan politik. Berbagai kebijakan publik dirumuskan serta dilaksanakan tak lepas dari bayang-bayang proses politik. Sehingga esensi kehadiran politik sejatinya untuk menyelesaikan urusan-urusan publik dengan cara sebaik-baiknya demi mencapai mutu manfaat terbaik.

Islam sebagai agama paripurna telah mengatur semua urusan manusia tentang kehidupan, termasuk dalam konsep sosial politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia.

Memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan). Selanjutnya, memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar.

Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia (dalam Faizal Reza, 2019).

Selanjutnya Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat menegaskan bahwa seseorang yang bekerja dalam kancah politik setidaknya harus memiliki lima hal yang wajib dipelihara atau dijaga, yaitu: (1) Menjaga agama (hifdzu ad-din); (2) Menjaga jiwa (hifdzu an-nafs); (3) Menjaga nasab (hifdzu an-nasl); (4) Menjaga akal (hifdzu aql); (5) Menjaga harta (hifdzu al-mal).

Dalam catatan Haedar Nasir (2019), Hamka mengajarkan mengenai politik nilai. Politik ditegakkan atas iman, akal budi, dan akhlak mulia. Dengan politik nilai maka urusan politik tidaklah tercela, bahkan menjadi jalan mulia untuk membangun peradaban bersama.

Politik, tulis Hamka dalam Falsafah Hidup, tidak mengurus kepentingan diri, tetapi mengutamakan kepentingan bersama. Dalam berbangsa, politik Indonesia juga memerlukan filosofi keindonesiaan, sehingga menimbulkan kegembiraan, kemuliaan, dan kemajuan.

Keteladanan dalam Kekuasaan

Pemilihan umum (pemilu) merupakan mekanisme penyaluran kedaulatan rakyat untuk mengelola penentuan atau peralihan kekuasaan secara bermartabat. Kekuasaan yang diperoleh tersebut wajib digunakan untuk memenangkan harapan dan kesejahteraan bersama. Bukankah kekuasaan itu bukan tujuan, melainkan jembatan yang mendekatkan dan menghidupkan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Banyak sekali riwayat keteladanan Nabi dan Rasul dalam kepemimpinan terhadap keselamatan ummatnya, ada juga keteladanan para pendiri bangsa dalam merawat bangsa besar ini, dan seterusnya. Untungnya selalu ada nilai pembelajaran baik dari bulan Ramadhan untuk kehidupan demokrasi bangsa ini, setidaknya ada dua dimensi keteladanan yang sangat perlu dihidupkan dalam tataran kepemimpinan dan kekuasaan, antara lain:

pertama, keteladanan personal. Hendaknya setiap calon penguasa (pemimpin) memantaskan diri sebelum mengikuti pencalonan ataupun kontestasi politik, sehingga pada masanya memimpin sudah siap menebarkan nilai-nilai keteladanan dan tentu saja dapat diandalkan.

Hikmah puasa juga turut mendidik (calon) pemimpin untuk menjadi teladan atas kejujuran, kesabaran, kebijaksanaan dan keberpihakan kepada yang lemah. Dalam fenomena pemilihan langsung, kemilau popularitas tidak pernah menjamin kapabilitas pemimpin. Sepatutnya setiap pemimpin (termasuk diri sendiri) memiliki kesatuan keseimbangan dalam intelektual, moral dan spiritual. Memimpin adalah melayani, karena hakikat kekuasaan adalah ladang ibadah untuk memperluas kemaslahatan sebagai wujud ketaatan kepadaNya.

Kedua, keteladanan sosial. Lazimnya keteladanan ini menjelma menjadi nilai-nilai dan norma yang telah disepakati bersama, terbentuknya oleh kesadaran bersama dan berfungsi sebagai perekat suatu sistem sosial. Eksistensi sistem sosial dapat terwujud jika sesama anggota masyarakat menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan.

Berinteraksi dan bersosialisasi akan meneguhkan dukungan sosial. Secara sadar dan terarah kepada keinginan mencapai kebaikan bersama. Perihal pembelajaran nilai politik, maka publik dilarang apatis terhadap pemimpin dan kepemimpinannya. Gunakan hak konstitusional dengan bersikap kritis, menghimpun diri secara kolektif sebagai bentuk lain dari peduli dan berkontribusi. Kekuasaan harus dikoreksi dan dievaluasi.

Dikoreksi, agar selalu terjaga dan berjalan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Dievaluasi juga untuk memastikan kesempatan tidak diberikan kepada pihak yang senyatanya tak mampu memimpin, selayaknya kekuasaan yang dipinjamkan maka padanya tidak boleh menjadi mutlak dan absolut.

Penutup

Dengan demikian, banyak nilai pembelajaran secara eksplisit dan implisit terkandung dalam hikmah ibadah puasa. Puasa mengajarkan manusia untuk mengenali serta mengendalikan dirinya sendiri. Puasa juga untuk mendidik manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Dalam ruang publik, kepemimpinan dan keteladanan adalah satu kesatuan nilai.

Semoga kita selalu dihindari dari pemimpin yang dikuasai syahwat keserakahan sesaat. Melainkan semoga kita selalu dikaruniai pemimpin yang selalu mengajak kepada kebaikan dan keselamatan dunia akhirat. Wallahu a’lam bi as-shawab. (**)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img