spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pro Kontra Putusan MK Bolehkan Kampanye di Kampus, BEM Unmul: Kesempatan untuk Uji Gagasan Paslon

SAMARINDA – Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan bernomor Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diketok pada 15 Agustus 2023 lalu. MK mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h. Putusan tersebut melarang pihak yang berkampanye menggunakan fasilitas pendidikan kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan hadir tanpa atribut kampanye.

Adanya putusan ini pun menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyararkat, termasuk juga para akademisi maupun mahasiswa. Salah satunya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang berpendapat bahwa hal ini adalah bentuk pendewasaan demokrasi Indonesia agar lebih terbuka termasuk pada institusi pendidikan di Indonesia.

“Menurut saya ini hal yang wajar,dan juga merupakan satu langkah yang baik buat pendewasaan demokrasi di Indonesia yang sebelumnya kurang terbuka,” kata Presiden BEM FH Wildam Al Anzhari saat di temui pada Rabu (23/08/2023)

Wildam mengungkapkan, putusan MK tersebut juga dapat menjadi kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menguji kapasitas pasangan calon. Sehingga, kampus dapat menjadi wadah untuk menguji gagasan dan pikiran para pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Dengan diperbolehkannya kampanye di fasilitas penidikan, kami sebagai mahasiswa sangat senang. Karena dengan begitu institusi  pendidikan dapat menjadi wadah testimoni untuk menguji gagasan dan pikiran para paslon secara lebih akademis ketimbang hanya orasi kosong belaka di lini masyarakat yang mudah diperdaya,” ujar Wildam.

Selain itu, kampanye politik yang dilakukan selama ini cenderung statis dan hanya menyasar masyarakat yang mudah diperdaya saja. Pemuda sekarang sudah tidak tertarik lagi dengan orasi kosong yang tidak subtansial dan tidak mengandung gagasan yang solutif. Politik identitas dan pencitraan pun sudah sangat kuno sehingga diperlukan penyegaran dalam politik Indonesia.

“Berkaca dari kampanye yang dulu kan itu isi orasinya cuma ajakan memilih tanpa ada gagasan dan visi yang jelas kenapa masyarakat harus memilih dia. Sasaran orasinya pun itu masyrakat menengah ke bawah yang gampang diperdaya, kalau yang lain kan tinggal menjual politik identitas, pencitraan ,atau money politics,” kata Wildam.

Harapannya, putusan MK ini dapat menjadi langkah progresif politik agar terhindar dari narasu kampanye yang kosong dan menyesatkan yang kerap dilakukan paslon Pemilu sebelumnya. Langkah ini juga dapat mengantisipasi pola politik identitas dan pencitraan yang lama menjamur di tubuh perpolitikan Indonesia. (yug)

Penulis : Yuga

Editor : Nicha Ratnasari

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti