Dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia, tak ada pilkada terberat dan penuh tantangan selain pilkada serentak 2020. Para pasangan calon, tak hanya harus menghadapi siasat pasangan lain, atau bagaimana menyiapkan program agar pemilih tertarik memilih mereka.
Akibat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung 7 bulan, mereka juga harus peduli dengan keselamatan diri sendiri, orang lain atau orang-orang di sekitarnya. Sialnya, karena Corona bentuknya berupa virus yang tak nampak mata, yang bisa dilakukan hanya mencegah dan waspada. Selebihnya, berdoa…
Meninggalnya Kena Ukur Karo Jambi Surbakti calon Bupati Karo Sumatera Utara, calon Bupati Berau Muharram menyusul kemudian calon Wali Kota Bontang Adi Darma, serta Ibnu Saleh, calon Bupati Bangka Tengah, serta lebih dari 60 paslon lain se-Indonesia dinyatakan positif terpapar Corona, adalah bukti sangat konkret betapa berbahanya virus ini.
Walau berbagai pihak mendesak pilkada serentak yang ketiga ini diundur sampai Corona sirna, DPR, pemerintah maupun KPU selaku penyelenggara pilkada bersikukuh menolaknya. Alasannya, siapa yang tahu kapan virus asal Wuhan, China itu hilang. Terlebih, energi dan biaya dikeluarkan sudah terlampau banyak.
Persoalan lain menurut Menko Polhukam Mahfud MD, jika pilkada serentak 2020 mau ditunda maka harus diusulkan KPU ke Presiden. Sebelum diputuskan Presiden, DPR RI juga harus diminta pendapatnya apakah setuju ditunda atau diteruskan sampai pencoblosan 9 Desember 2020. Tak cukup waktu sebab pelaksanaannya tidak sampai 2 bulan lagi.
Permasalahan lain jika ditunda, lanjut Mahfud, pemerintah harus menunjuk 270 pejabat pelaksana tugas atau Plt, mengisi jabatan kepala/wakil kepala daerah yang kosong karena mereka mengambil cuti mengikuti pilkada. Dengan begitu roda pemerintahan di daerah yang dihelat pilkada serentak tetap berjalan.
Pernyataan Mahfud merupakan jawaban atas desakan berbagai pihak termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang meminta pilkada diundur dengan alasan keselamatan masyarakat harus lebih diutamakan dibanding apapun termasuk keberlangsungan roda pemerintahan daerah.
Pernyataan saudagar Bugis sekaligus politisi senior Partai Golkar ini ada benarnya. Lihat saja jumlah kasus Corona di Indonesia tak pernah turun, trennya malah terus naik. Sampai Sabtu (10/10/2020) sudah 328.952 orang dinyatakan positif, dimana 11.765 diantaranya meninggal dunia. Dan dari total 34 provinsi, seluruhnya menyumbang pasien positif Covid-19.
Tantangan lain yang harus dihadapi paslon adalah resesi ekonomi yang dipastikan bakal melanda Tanah Air. Angka pengangguran dan PHK meningkat, dikhawatirkan para pemilih tak peduli dengan pilkada karena lebih memikirkan bagaimana caranya menghidupi diri atau keluarga, dibanding datang ke TPS memilih orang yang belum tentu dapat meringankan beban hidup mereka.
Pandemi Corona dan resesi ekonomi, diprediksi akan menggerus tingkat partisipasi pemilih saat pencoblosan. Dalam kondisi sekarang, target partisipasi pemilih sebesar 77,5 % yang diinginkan KPU sepertinya berat tercapai. Sebab, pemilih akan selalu dihantui rasa was-was apakah mereka tidak akan tertular bila mendatangi TPS.
Untuk mengatasinya, seluruh penyelenggara pilkada dari semua tingkatan, wajib menjalankan protokol kesehatan. Menyediakan tempat cuci tangan atau hand sanitizer, menggunakan masker, menjaga jarak serta areal TPS dan sekitarnya harus selalu disemprot disinfektan.
Langkah lain, membuat mekanisme proses pencoblosan yang lebih cepat sehingga pemilih tak berlama-lama berada di TPS. Cara lain, terus melakukan sosialisasi lewat virtual atau tatap muka terbatas, kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama soal pentingnya pilkada dan pencegahan Corona saat pencoblosan berlangsung.
Pertanyaan besarnya, apakah hal ini bisa diterapkan secara merata di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, yang menyelenggarakan pilkada? Harus bisa! (redaksi)