Sampai hari ini, Kutai Kartanegara masih menjadi daerah dengan tangkapan dan budi daya biota air tawar maupun laut terbesar di Kaltim. Dari catatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kukar pada 2020, produksi perikanan berbagai jenis di kabupaten ini menembus 202.277 ton. Potensi besar tersebut terus ditingkatkan Pemkab Kukar. Satu di antaranya, mengembangkan budi daya udang vannamei.
Bupati Kukar, Edi Damansyah, mengatakan bahwa komoditas udang vannamei akan dikembangkan di Delta Mahakam. Sebagai langkah konkret, pemkab telah membuat nota kesepahaman dengan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah. Budi daya udang vannamei di provinsi tersebut terbilang sukses.
“Tujuannya adalah mengembangkan udang vannamei di Kukar,” jelas Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kukar, Muslik, Selasa, 21 September 2021. Pengembangan udang direncanakan di kawasan Delta Mahakam dengan lokasi di Kecamatan Anggana, Muara Jawa, dan Sangasanga. Ketiga daerah pesisir itu sebelumnya dikenal sebagai produsen udang windu. “Penambahan opsi budi daya udang vannamei diharapkan bisa meningkatkan pemasukan pembudi daya,” jelasnya.
DKP Kukar juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kabar baiknya, kementerian akan terlibat intensif dengan membantu penyediaan dan peralatan di Kukar. Budi daya biota ini memang memerlukan teknologi tinggi. Muslik menambahkan, pembudi daya yang ingin mengembangkan udang vannamei harus mempunyai klasifikasi dan cakap teknologi maupun penanganan limbah.
Pengembangan lahan tambak untuk udang vannamei ditargetkan seluas 12 ribu hektare selama lima tahun. Kapasitas produksi udang vannamei bisa mencapai 60 ton per hektare seperti di Jawa Tengah. Produktivitas ini berbanding jauh dari udang windu yang hanya 1 ton per hektare.
LEBIH DETAIL TENTANG UDANG VANNAMEI
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika. Habitat asli spesies ini tersebar dari Teluk California di utara Meksiko sampai pantai barat Guatemala, El Savador, Nikaragua, Kosta Rika, hingga Peru di Amerika Selatan.
Tubuh fauna laut ini berwarna putih transparan sehingga dikenal sebagai white shrimp. Panjang tubuhnya bisa 23 sentimeter, terbagi dua bagian yaitu kepala dan perut. Spesies ini hidup dengan baik dengan salinitas (keasinan air) 15-30 ppt (bagian per seribu). Udang vannamei diketahui suka memangsa sesama jenis, tipe pemakan lambat tetapi terus-menerus, menyukai hidup di dasar, dan mencari makan lewat organ sensor (Efektivitas Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia l.) terhadap Imunitas dan Sintasan Udang Vannamei (litopenaeus vannamei) yang Diinfeksi Bakteri Vibrio harveyi, skripsi Universitas Muhammadiyah Malang, 2017).
Menurut Wyban dan Sweeney (1991), udang vannamei adalah omnivora dan pemakan bangkai. Udang ini biasanya memakan crustacea kecil dan plychaetes atau cacing laut. Pergerakannya juga terbatas saat mencari makanan karena makhluk nocturnal. Ia hanya aktif mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, udang lebih banyak pasif, diam pada rumpon di dalam air tambak, atau membenamkan diri dalam lumpur.
Udang vannamei resmi diizinkan masuk ke Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No 41/2001. Kebijakan ini diambil seturut produksi udang windu yang menurun pada 1996 akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan. Udang vannamei pada awalnya dianggap tahan serangan penyakit. Dalam perkembangannya, spesies ini terserang berbagai penyakit seperti white spot syndrome virus, taura syndrome virus, infectious myo necrosis virus, vibrio, dan early mortality syndrome.
PERLU TEKNOLOGI TINGGI
Kepala Bidang Pemberdayaan Usaha Kecil Pembudidaya Ikan, DKP Kukar, Fadli, menyebut bahwa pengembangan udang vannamei memiliki tingkat keberhasilan tinggi di Jawa Tengah. Walaupun demikian, budi daya juga disertai risiko kegagalan yang tinggi. Penanganan budi daya ini kategorinya semi-intensif. Tingkat keberhasilannya bergantung dengan peran teknologi seperti kincir air untuk membuat gelembung udara.
Kekurangan budi daya udang vannamei adalah menghasilkan limbah air. Limbah berasal dari sisa pakan dan kotoran udang. Zat sisa tersebut akan meningkatkan kandungan nitrogendioksida dalam air sehingga memunculkan bau pekat. Kandungan organik air juga menurun yang bisa menyebabkan gagal panen.
Akan tetapi, sambung Fadly, bila tambak dikelola dengan benar dan mengaplikasikan teknologi, hasilnya sangat menjanjikan. Udang vannamei sangat diminati di Jepang dan negara-negara Eropa. Komoditas industri perikanan ini memiliki nilai ekonomis serta permintaan pasar yang tinggi. (kk)