MEKKAH – Gunung Arafah kembali jadi pusat perhatian dunia Islam saat jutaan jemaah dari 171 negara berkumpul menunaikan ibadah wukuf—puncak dari seluruh rangkaian haji. Sejak Kamis siang (5/6/2025) Waktu Arab Saudi (WAS), lautan manusia berpakaian ihram putih memadati Padang Arafah untuk memanjatkan doa, istighfar, dan pengharapan.
Namun tahun ini, total jemaah haji justru tercatat sebagai yang terendah dalam 30 tahun terakhir (di luar masa pandemi Covid-19). Yakni 1.673.230 orang. Turun hampir 160.000 dari tahun sebelumnya. Bandingkan dengan puncak haji pada 2012 yang tembus 3,1 juta orang.
Meski demikian, Indonesia tetap menjadi negara pengirim jemaah terbesar. Totalnya 221.000 orang. Disusul Pakistan dan India. Kementerian Agama RI menyebutkan lebih dari 203.000 jemaah Indonesia telah tiba di Makkah sejak awal pemberangkatan.
Penurunan ini diperkirakan dipengaruhi berbagai faktor. Suhu ekstrem, kebijakan visa lebih ketat, larangan membawa anak-anak, dan naiknya biaya perjalanan haji.
Arab Saudi tahun ini menerapkan kebijakan larangan membawa anak-anak dalam rombongan haji. Usia minimal diperkirakan 12–15 tahun. Hal ini dilakukan untuk menghindari tragedi seperti tahun sebelumnya, di mana lebih dari 1.300 jemaah wafat akibat panas dan kepadatan.
Selain itu, jemaah perdana diprioritaskan. Ini menjawab ketimpangan yang selama ini menguntungkan mereka yang punya akses lebih besar secara ekonomi. Haji tahun ini juga makin mahal: paket berkisar antara Rp160–240 juta per orang (setara USD 10.000–15.000).
Pemerintah Saudi menerjunkan drone berteknologi AI, kamera termal, hingga sistem kontrol visa ketat. Bahkan hingga awal Juni, 269.000 orang dicegah masuk ke Makkah karena tak memiliki izin resmi.
PERTAMA MENJEJAK ARAFAH
Pada Februari 2025, saya dan istri berkesempatan menjalani ibadah umrah. Ini untuk pertama kalinya bagi saya. Sedangkan istri, ini umrah kedua. Ini bukan hanya sekadar perjalanan ibadah, melainkan juga perjalanan batin. Kami banyak menghabiskan waktu di Masjidil Haram, menjalani tawaf, sa’i, dan memperbanyak ibadah di Raudhah serta sekitar Multazam.
Salah satu momen yang paling membekas dalam perjalanan umrah saya adalah saat berkunjung ke kawasan Arafah. Kami memang tidak berhenti lama, hanya melewati kawasan Padang Arafah sembari ditunjukkan beberapa lokasi penting—mulai dari area tenda reguler jemaah haji Indonesia hingga deretan tenda VIP yang nantinya akan dipadati saat musim haji tiba.
Di tengah perjalanan, kami juga menyempatkan diri singgah di Jabal Rahmah, bukit yang diyakini sebagai tempat bertemunya kembali Nabi Adam dan Siti Hawa. Untuk bisa mencapai lokasi ini, kami harus melewati pintu masuk yang penuh sesak jemaah dari berbagai negara. Suasana cukup padat, namun di dalam cukup longgar. Kami bisa mengambil waktu sejenak untuk berfoto, mengabadikan momen di tempat yang begitu sakral.
Memandangi Padang Arafah saat itu masih sepi. Tanahnya gersang, sunyi, namun terasa menyimpan getaran spiritual yang dalam. Saya membayangkan, betapa lautan manusia dari seluruh dunia akan memenuhi tempat ini saat puncak wukuf tiba.
Dalam hati saya berdoa, “Ya Allah, semoga suatu saat Engkau panggil aku kembali, bukan hanya untuk melihat, tapi juga untuk menjalani ibadah haji yang sesungguhnya.”
Saya memang sudah mendaftar haji. Tapi antrean haji reguler begitu panjang hingga 30 tahun. Saya berharap, semoga ada jalan lebih cepat, semoga umur dan rezeki dilapangkan.
Karena berhaji bukan cuma soal menunaikan kewajiban, tapi tentang menjawab panggilan. Sebab kita tak pernah tahu, ada yang sudah lama menabung, punya uang, tapi belum juga dipanggil berangkat. Sementara yang lain, tanpa disangka, diberi jalan begitu cepat menuju Tanah Suci.
Bagi saya, haji adalah cara menuntaskan rindu yang belum selesai, yang baru pertama menginjakkan kaki di Tanah Haram dalam perjalanan umrah. Rindu yang tak bisa dibayar dengan logika, tapi hanya bisa dijawab jika Allah benar-benar memanggil.
WUKUF, SIMBOL KESETARAAN
Wukuf dimulai selepas azan Zuhur pukul 12.20 WAS dan berlangsung hingga fajar 10 Zulhijah. Di bawah terik yang menyengat, para jemaah duduk, berdiri, menangis, merenung, atau bersandar di batu Jabal Arafah, tempat di mana Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah terakhirnya.
Wukuf bukan sekadar kewajiban. Di sana, semua melebur. Tak ada bedanya pejabat atau buruh, orang berada atau sederhana. Yang tersisa hanya hati yang berserah, doa yang lirih, dan air mata yang jatuh di hadapan Tuhan.
Jemaah Kota Bontang yang tergabung dalam Kloter 16 Embarkasi Balikpapan menunjukkan kondisi prima. Pagi 9 Zulhijah, mereka mengikuti senam pagi di area tenda Arafah, dipimpin langsung dr. Nursaadah dari Tim Kesehatan Haji Kloter (TKHK) 16 BPN.
“Senam ini membantu menjaga kebugaran jemaah, agar tetap fit menjelang puncak ibadah,” kata dr. Nursaadah.
Selain itu, jemaah juga mendapatkan snack box higienis untuk tambahan asupan energi. Petugas tetap siaga memantau kondisi kesehatan para jemaah secara berkala.
Sejak awal pemberangkatan, Petugas Jemaah Haji Daerah (PHD) Bontang, Yarkani, secara konsisten mengirimkan laporannya ke saya. Kemudian saya publikasikan melalui mediakaltim.com, akun Instagram @media_kaltim dan TikTok Media Kaltim. Laporan ini menjadi jembatan bagi keluarga dan masyarakat Bontang untuk mengetahui kabar terkini jemaah secara real-time.
Ya, Wukuf di Arafah selalu menjadi pengingat bahwa pada akhirnya, kehidupan ini bermuara pada satu titik: pengakuan akan kelemahan manusia, dan ketundukan total kepada Allah SWT.
Di tanah yang gersang itu, jabatan, gelar, dan kekayaan tertanggalkan. Yang tersisa hanyalah jiwa-jiwa yang bersujud dalam harapan, air mata, dan cinta kepada Sang Khalik.
Bagi setiap Muslim yang diberi kemampuan fisik, finansial, dan waktu, berhaji bukan sekadar ritual, tapi kesempatan menata ulang hidup. Bukan hanya menunaikan kewajiban, tapi memohon kelapangan untuk pulang dengan hati yang lebih bersih, lebih kuat, dan lebih tenang.
Dan saya percaya, panggilan itu bukan tentang siapa yang lebih mampu, tapi siapa yang lebih diizinkan.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.