spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Legal Opini

Penjelasan Pembelaan Diri, Penganiayaan, dan Pembunuhan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Oleh: M Rizal Fadillah, S.H., M.H. C.L.A.

Bahwa Indonesia merupakan negara hukum hal ini telah dijelaskan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, berdasarkan hal tersebut setiap penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi aturan hukum yang telah dibuat oleh negara. Menyikapi Peristiwa Hukum yang saat ini ramai dibahas hingga masuk pemberitaan nasional terkait dengan sesorang pria di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu Amaq Sinta yang diduga menjadi korban tindak pidana pencurian dengan kekerasan (begal) dan sempat dijadikan tersangka pembunuhan subsidair penganiayaan yang menyebabkan meninggalnya seseorang oleh Polres Lombok dan saat ini perkaranya sudah dihentikan Proses Penyidikannya oleh Polda NTB, maka hal ini sangat menarik ketika kita mengkajinya secara komprehensif dari aspek hukum pidana.

Bahwa kepolisian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka seharusnya sudah melaksanakan beberapa rangkaian proses berdasarkan aturan yang diatur dalam KUHP serta KUHAP dan merujuk juga kepada Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Saat ini yang ramai menjadi perbincangan di masyarakat, apakah dalam setiap rangkaian proses yang telah dilaksanakan oleh kepolisian sudah sepenuhnya memenuhi prinsip kehati-hatian serta ketelitian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka berdasarkan hukum materiil dan formil?

Sebagaimana mengutip dari beberapa pemberitaan media nasional, yaitu Amaq Sinta seorang korban begal yang sempat dijadikan tersangka dengan disangkakan menghilangkan nyawa seseorang yang disubsidair melakukan penganiayaan sampai seseorang meninggal dunia sebagaimana diatur pada Pasal 338 KUHP subsidair Pasal 351 ayat (3), dimana korbannya merupakan 2 orang begal yang semula berjumlah 4 orang, para begal tersebut menggunakan senjata tajam dalam aksinya, yang kebetulan pada saat kejadian tersebut Amaq Sinta dalam perjalanannya sudah membawa sajam yang dipersiapkan hanya untuk niatnya melindungi diri dari para pelaku tindak pidana kejahatan di jalanan.

Berdasarkan ringkasan uraian di atas, agar tidak kembali terjadinya kasus-kasus serupa seperti yang dialami Amaq Sinta. Pertama masyarakat juga harus diberikan pemahaman terkait perbedaan pembelaan diri atau pembelaan terpaksa dengan tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya seseorang yang telah diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga masyarakat tidak memiliki keragu-raguan dalam bertindak membela dirinya dan dapat memposisikan dirinya secara terukur pada saat melakukan pembelaan diri terhadap para pelaku begal.

Jika dilihat dari kronologi ringkasan perkara yang dialami Amaq Sinta, apa yang dilakukannya sudah dapat dianggap sebagai pembelaan diri yang seharusnya memang tidak dapat dihukum atau dipidana, hal ini sesuai dengan alasan pemaaf berdasarkan Pasal 49 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.”
Ayat (2) “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

Pasal 49 KUHP tersebut telah mengatur dengan jelas mengenai perbuatan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat, sehingga menurut Pasal ini orang yang melakukan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” tidak dapat dihukum, yang dalam Hukum Pidana Indonesia dikenal dengan istilah “Noodweer”.

Kemudian apa perbedaan Pasal 49 KUHP tersebut dengan Pasal 351 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan dan Pasal 338 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan. Bahwa berdasarkan Pasal 351 ayat (3) KUHP menjelaskan sanksi pidana bagi pelaku penganiayaan yang menyebabkan kematian, maka dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dan menurut penjelasan Pasal 338 KUHP terkait tindak pidana pembunuhan adalah ketika siapapun atau seseorang yang merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Sehingga sangat jelas perbedaan dari unsur-unsur pasal dalam KUHP tersebut terkait dengan pembelaan diri seseorang, dengan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan meninggalnya seseorang, dan tindak pidana pembunuhan. Maka dari itu seseorang yang dapat dipidana tidak cukup hanya karena seseorang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum (Actus Reus), sehingga meskipun perbuatan seseorang memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana karena harus dilihat sikap batin (mens rea/niat atau maksud tujuan) pelaku pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.

Dan terakhir perlu diapresiasi keputusan Polda NTB yang telah bekerja secara profesional dengan menerbitkan Surat Perintah Pengehentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara yang dialami oleh Amaq Sinta, sebagai langkah preventif agar kasus serupa tidak terulang, maka di sini pentingnya peran aktif institusi pemerintah terkait maupun dari lembaga bantuan hukum dari lingkungan akademik dapat bekerja sama memberikan penyuluhan hukum untuk mengedukasi masyarakat. (*)

* Advokat di Balikpapan. Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia DPC Kota Balikpapan

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img