spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Komunikasi Antar Budaya dengan New Media

Sejak kasus infeksi pertama yang ditemukan di kota Wuhan, Tiongkok, pada akhir Desember 2019 lalu pada tanggal 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan virus ini sebagai pandemi global yang mana virus ini telah menyebar di 118 negara dan menginfeksi lebih dari 121.000 orang di Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika ketika ketetapan ini dikeluarkan oleh WHO.  Tentu saja kita sedang membicarakan 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) atau yang kini kita kenal dengan sebutan coronavirus disease 2019 (COVID-19).

Pandemi Covid- 19 telah memberikan pengaruh besar pada aspek- aspek berbagai negara di seluruh belahan dunia, tak terkecuali negeri kita tercinta Indonesia, mulai dari aspek kesehatan, aspek ekonomi, aspek pendidikan, aspek keamanan, aspek sosial, hingga aspek komunikasi. Pemerintah pun berusaha keras untuk menemukan inovasi guna menangkal penyebaran virus COVID- 19, seperti pembentukan UU, surat edaran, pembiasaan kebiasaan baru, dan lain-lain.

Dari aspek komunikasi pun harus terus berjalan karena tanpa aspek komunikasi, aspek- aspek yang lain akan menjadi sangat terbatas pergerakannya. Karena itu, untuk terus mengerakkan roda perkomunikasian dikala pandemic yang mengharuskan setiap warga masyarakat untuk melakukan pembatasan sosial dengan cara tidak secara langsung bertemu tatap muka, maka muncul lah yang dinamakan dengan new media (media baru).

New media sendiri secara sederhana dapat diartikan proses penyampaian informasi lewat teknologi digital. Lalu berdasarkan ahli, new media diartikan oleh Rahmanita Ginting dalam bukunya Etika Komunikasi dalam Media Sosial sebagai media yang menggunakan internet berbasis teknologi online, berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif, serta dapat berfungsi secara privat atau publik.

Beberapa contoh new media sendiri adalah bisa berupa permainan komputer, animasi komputer, instalasi komputer interaktif, interface computer, situs web, dan media sosial.

New media ini memberikan banyak sekali kemudahan dalam berkomunikasi dari segi kemudahan dan kecepatan. Namun new media tidak sepenuhnya berisi hal- hal positif, ada pula hal- hal negatif yang disebabkan oleh new media.

Contohnya kita ambil dari media sosial yang paling banyak di kenal oleh masyarakat yaitu whatsapp (WA), lalu kita hubungkan dengan komunikasi antar budaya. Kita semua tahu bahwa setiap budaya di Indonesia memiliki sifatnya masing- masing. Sering kali kita mendapati konflik yang terjadi pada antarpribadi dikarenakan pertukaran kata- kata melalui WA yang maknanya kehilangan konteks.

Dalam sebuah grup WA alumni SMA, seorang anggota wanita memberikan masukan agar olahraga kamisan diganti dengan hari yang lain karena setiap hari kamis ia puasa sunnah. Seorang anggota pria berkomentar yang isinya kira- kira “Cing maneh teh tong lempeng- lempeng teuing da lain jidar” (“Kamu nggak usah terlalu lurus karena bukan mistar”). Pesan tersebut sebenarnya dimaksudkan oleh pengirim hanya sebagai candaaan belaka.

Namun penggunaan kata “maneh” (kamu) yang cenderung kasar dalam bahasa Sunda ditambah komentar yang dianggap kurang bijak menimbulkan ketersinggungan pada yang menerima pesan. Kalau kita mencari siapa yang salah disini, keduanya tidaklah salah.

Masalahnya adalah karena pesan WA yang disampaikan tersebut kehilangan konteks. Coba kalau komentar tersebut disampaikan secara tatap-muka, dengan intonasi berkelakar dan ekspresi wajah yang lucu, mungkin efek yang ditimbulkan akan lain lagi (Mulyana, 2019).

Dari contoh tersebut bisa kita simpulkan bahwa new media telah sangat mempengaruhi pada aspek komunikasi. Lalu pertanyaannya, dengan new media (media sosial) pada masa pandemic COVID- 19 seperti ini yang menglobal ini akan menggantikan komunikasi antarpribadi, termasuk komunikasi antarpribadi antara orang- orang yang berasal dari budaya- budaya berbeda yang sering disebut komunikasi antar budaya?

Jawabanya, tentu tidak. Perbedaan budaya tampaknya akan tetap bertahan, meskipun setiap budaya cepat atau lampat akan berubah. Jika kita memasukkan agama sebagai bagian dari budaya, jelas tidak akan terjadi pencampuran agama.

Bahkan bahasa tubuh, seperti bagaimana menyapa orang lain (misalnya sesama pria saling memeluk dan berciuman pipi di Timur Tengah), bagaimana cara seseorang memanggil orang lain (melambaikan telapak tangan dengan telapak tangan di atas dan lengan ditarik ke belakang, seperti di Belanda), serta mengatakan penolakan dengan cara menengadahkan kepala di Turki, semua itu tidak mudah berubah menuju satu bahasa tubuh yang bersifat universal. (**)

Oleh: Muhammad Rizal Ashfiya; Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img