spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kisah Korban Selamat Runtuhnya Jembatan Kartanegara 10 Tahun Silam, Yaya-Nursiyamah Makin Hargai Hidup

Kuliah pada Sabtu sore yang teduh di Universitas Terbuka, Tenggarong, selesai juga akhirnya. Nursiyamah, 34 tahun, bersama seorang teman kuliahnya, Yaya Aris, 44 tahun, bersiap-siap pulang. Keduanya lantas meninggalkan kampus dengan berboncengan di atas sepeda motor pinjaman berjenama Yamaha Jupiter MX.

Sabtu, 26 November 2011, tepat hari ini pada 10 tahun silam, kedua mahasiswi semester akhir di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan PAUD, tersebut, mendekati Jembatan Kartanegara. Rumah mereka memang di seberang Sungai Mahakam yaitu di Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara. Tidak ada yang aneh sore itu kecuali sebuah pelang yang memberitahukan bahwa jembatan sedang dalam perawatan.

Nursiyamah dan Yaya harus menunggu sejenak di mulut jembatan. Perbaikan jembatan menyebabkan diberlakukannya sistem buka tutup. Setelah giliran kendaraan dari arah Tenggarong tiba, Nursiyamah memacu sepeda motornya.

Waktu sudah tepat pukul 16.15 Wita ketika kedua perempuan yang bekerja sebagai guru pendidikan anak usia dini tersebut melintas sejauh 200 meter di atas jembatan. Struktur yang sebangun dengan Golden Gate di San Francisco, AS, itu, tiba-tiba oleng ke kiri. Hanya dalam hitungan detik, badan jembatan runtuh ke Sungai Mahakam.

“Pandangan saya tiba-tiba gelap. Saya seperti tidak sadarkan diri,” tutur Nursiyamah kepada reporter kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, yang menemuinya pada Jumat, 26 November 2021, di Tenggarong. Bersamanya, Yaya mendampingi wawancara ini. Nursiyamah kini berusia 44 tahun, sedangkan Yaya berusia 54 tahun.

Kembali ke peristiwa 10 tahun silam, yang Nursiyamah ingat, ia sudah di tengah jembatan ketika badan jalan oleng. Setelah sadar, dia dan Yaya tahu-tahu sudah di atas fondasi pylon jembatan yang terbuat dari beton. Tinggi fondasi itu hanya beberapa meter dari permukaan Sungai Mahakam.

“Mungkin, kami terlempar ke arah tersebut. Kami berdua bisa selamat karena jatuh di atas fondasi. Kami tidak mengerti mengapa bisa begitu karena seandainya jatuh di sungai, mungkin ceritanya lain,” imbuh Yaya.

Di atas fondasi beton, pylon berkelir kuning masih menjulang walaupun sedikit miring. Tubuh Nursiyamah terbaring. Badannya penuh luka dan tak bisa bergerak. Ia menoleh sebentar ke kanan. Sahabatnya, Yaya ada di sana. Yaya masih bisa berdiri karena hanya luka ringan di kaki.

Yaya kemudian melanjutkan kisah ini. Badannya gemetar ketika terjatuh ke fondasi pylon. Melihat sahabatnya pingsan dengan pakaian yang robek di sana-sini, ia berusaha meminta pertolongan. Ada seorang pria yang belakangan diketahui sebagai pengemudi mobil yang beriringan di belakang mereka. Pria yang juga selamat itu segera membantu Yaya dan Nursiyamah memanggil warga. Mereka pun mendapat pertolongan dan dibawa ke RSUD AM Parikesit yang pada saat itu berdiri di Jalan Imam Bonjol, Tenggarong.

“Di rumah sakit, kami tidak bisa memberi kabar kepada keluarga. Barang-barang seperti ponsel hilang ke sungai, termasuk sepeda motor,” kenang Yaya mengingat masa-masa itu.

Tim dokter menyatakan Nursiyamah menderita cedera serius. Tulang punggungnya patah di dua bagian. Pergelangan tangan kiri, tulang kaki, dan paha kanan, juga patah. Ia menderita perdarahan di perut. Nursiyamah pun harus dirawat selama tiga bulan. Ia menjalani terapi fisik selama setahun. Untuk memulihkan psikologinya, Nursiyamah mengikuti hipnoterapi. Fisik dan psikologinya baru benar-benar pulih pada 2013.

BETAPA BERHARGANYA HIDUP

Nursiyamah dan Yaya bersahabat sejak 2003 atau delapan tahun sebelum kejadian ini. Sejak masih muda sekali, keduanya sudah mengajar di Taman Kanak-Kanak RA Miftahul Huda, Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang.

Peristiwa mengerikan yang dilewati bersama membuat keduanya makin dekat. Persahabatan sekaligus sekerabat kerja mereka sudah menapaki tahun ke-18 sekarang. Mereka berdua sering bersama ke mana-mana sejak tragedi itu hingga hari ini.

Nursiyamah dan Yaya juga mengatakan, sangat bersyukur masih diberikan umur dan kesehatan. Kedua guru ini mengaku, mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Bahwasanya, ada kehendak Yang Maha Kuasa sehingga mereka selamat. Kehendak Ilahi itulah yang harus disyukuri betul-betul. Caranya, dengan menghargai hidup. Nursiyamah dan Yaya kompak berkata, ingin mengabdikan hidup mereka sebagai guru.

“Hanya satu yang masih mengganjal. Kami tidak pernah bertemu lagi dengan lelaki yang menyelamatkan kami. Semoga, beliau membaca berita ini sehingga kami bisa dipertemukan untuk mengucapkan terima kasih kepadanya,” tutup Nursiyamah. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img