spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ketika Sungai Telah Membawamu Pulang

Cerpen: Muthi’ Masfu’ah *

Riak sungai Aare Bern Swiss makin deras ketika Ibu Cinta kembali diingatkan oleh mimpi buruknya yang semakin meraung-raung pada putra tetangganya yang baru saja tewas terseret arus sungai. Dalam mimpi itu, Ibu Cinta melihat anak tetangganya yang telah tewas  terseret-seret air yang bergelombang besar karena derasnya arus sungai. Dilihatnya anak itu meronta-ronta mempertahankan selembar nyawanya. Melawan arus. Hati Ibu Cinta teriris melihat adegan tragis itu. Ia tak sampai hati menyaksikan putra tetangganya itu dilempar ke sana-kemari oleh gelombang air yang tak ada putus-putusnya. Derasnya arus tak sebanding dengan tenaga manusia biasa. Teramat deras.

Dilihatnya pula, tangan pemuda  itu mengapai-gapai seakan mencari pegangan. Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, yang tak dapat berenang, seorang ayah menceburkan diri ke dalam air sungai yang bergelombang dan arus kuat. Sementara tatapan matanya mendadak kabur terhalang oleh derasnya hujan yang turun, orang-orang dari kejauhan di pinggir sungai  berteriak histeris menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Ibu Cinta berlari ke sana kemari, berteriak-teriak. Histeris.

Seorang ayah berusaha habis-habisan menggapai tubuh pemuda itu, menariknya dengan nafas satu-satu. Namun ketika seorang ayah itu berhasil mengangkat pemuda yang nampak tak bergerak, dibantu beberapa orang di sekitar sungai. Pemuda itu telah beku membiru dengan wajah yang memar di mana-mana sangat mengerikan.

Sementara suara teriakan dan tangisan histeris sang bundanya, mengumandang memecah bumi. Berpadu suara derai tawa yang entah dari mana asalnya, suara dari dalam sungai. Lagi dan lagi… Allahuakbar… Ibu Cinta berteriak sekuat tenaga. Suara tangisan dan tertawa berputar begitu cepatnya membuat ia ketakutan yang bertubi. Hingga akhirnya Ibu Cinta terbangun. Mimpi buruk itu terus terulang-ulang.

Ibu Cinta berusaha menepis mimpi buruk itu. Segera. Tapi angin berhembus kencang. Suara air deras sungai tiada pernah henti. Ibu Cinta tampak pucat pasi. Ia berteriak dan berlari kesana-kemari… “Tolong Eril… Tolong Eril…” panik dalam tumpahan ribuan air mata yang mengaburkan seribu pandangannya. Ini bukan mimpi. Ini bukan mimpi buruk itu. Bukannnn. Ia menutup wajahnya dengan dingin kedua telapak tangannya yang halus.

“Mamah, Erilll…. Mamah… Erilll….” basah kuyup Zahra yang berhasil diselamatkan Eril ke tepi sungai, memelukku erat. Begitu cepatnya. Sungai itu membawa Eril pergi. Bahkan dalam hitungan kedip matanya. Allah… mimpi itu berputar-putar. Ini real. Ini real. Bukan mimpi. Allah…

Mata ibu Cinta menatap arus sungai. Saat itu Eril berenang bersama adik perempuannya Zahra dan seorang teman. Sebelum terseret arus deras Eril berusaha menolong adik dan sahabatnya agar sampai ke tepian sungai dengan selamat tetapi. Malang justru Eril yang tidak bisa menahan arus. Eril berteriak minta tolong dan kemudian suaranya hilang bersama arus yang menyeretnya. Dan, ibu Cinta melihat itu semua. Melihat Eril hilang. Pergi bersama arus sungai. Ia tak percaya. Terus tak percaya. Kekuatan apa yang membuatnya masih berdiri di depan sungai berarus deras. Zahra memeluknya erat. Sangat erat. Adik Eril menggigil kedinginan. Menggigil dalam ketidakpercayaan. Sekejam saja, seperti kedipan mata. Eril tak terlihat. Benar-benar tak terlihat.

Hari Kamis sore 6 Mei 2022, Eril dinyatakan hilang setelah hanyut di sungai Aare Bern Swiss. Ribuan berita memenuhi media. Goresan kelabu, berita pilu biru itu menghentakkan hati siapapun yang membacanya. Terlebih Ibu Cinta. Terlebih pemilik topi bundar yang tak lagi menggoreskan wajah keceriaan. Beralih mendung, lesu yang teramat sangat.

Seorang ayah mengoreskan penanya untuk sahabatnya yang berduka panjang, untuk pemilik topi bundar. Bahwa tangis paling mengerikan adalah tangis tak bersuara seorang ayah. Tangannya menyentuh permukaan sungai nan dingin itu. Di dalam hati, ia berteriak. Semoga sentuhan barusan merambat sampai ke anaknya yang entah berada di mana sekarang. Semoga sentuhan itu memberi pesan.

Ia coba lihat-lihat ke dalam dasar sungai, namun yang terlihat malah hal lain. Bayangan saat ia menggendong sang putra, pertama kali saat hari pertama, ia mengantarkannya ke sekolah, juga saat bersorak bangga saat anaknya lulus. Masih ia percik-percikan permukaan sungai itu.

Mungkin jika boleh bertanya, ia akan bertanya. “Di mana anakku, sungai? Tenggelamkah ? Di ujung sana menanti kedinginankah? Sudah menepikah? Atau terduduk di rumah seseorang sedang mengobati cederanya. Sungai, tolong beri tahu.”

Pria bertopi bundar itu runtuh. Setiap hari jutaan ayah, jutaan orang, jutaan anak juga khawatir dan ikut berdoa diam-diam untuk mereka. Barangkali kalau boleh ikut turun ke sana, akan ada banyak Ayah yang siap itu terjun membantu.

Hai sungai yang dingin, tak cukup hangat kah doa itu kami kirim? Yang tiap buka gawai, entah bagaimana secara tulisan insting terus memberi berita Eril, Eril, Eril… Bahkan hampir semua tahu siapa Eril, yang belakangan hari ini banyak orang bahkan jutaaan orang yang secara tulus berdoa agar ia segera ditemukan.

Sungai, jika tangisan sang ayah adalah tangisan paling menakutkan. Maka cukupkah tangis dan doa kami, supaya kau menghangat dan mereda. Tolong beritahu kami, ia di mana? JS Khairen, seorang ayah yang perduli itu menggambarkan bagaimana pilunya Ridwan Kamil sang pemilik topi bundar, yang anaknya di bawa pergi arus sungai.

Angin bertiup deras dari arah sungai. Suara azan berkumandang memecah bumi yang tengah bergundah panjang. Dari video itu terlihat Ridwan Kamil sang ayah mengenakan topi dan baju kuning. Dia berdiri di pinggir sungai, tangan kanannya berada di samping telinga. Sambil mengumandangkan azan, dia melihat sekeliling sungai, berharap putranya bisa segera ditemukan.

Wajahnya mendung. Beberapa hari lalu dia pun ikut turun langsung dalam proses pencarian putra pertamanya yang beranjak dewasa. Dia ikut menyusuri tepi sungai, dengan mata datar.

Suara azan itu bergetar menahan gundah dan pilu yang tak terlukiskan. Ridwan sedang mengumandangkan azan di tepi Sungai Aare. Angin semakin menyapu sang ayah. Seakan merasakan duka dan luka itu.

Ya, keluarga Eril sudah ikhlas dan yakin Allah lebih mencintai Eril. Ridwan Kamil dan istrinya, Ibu Cinta, juga sudah ikhlas melepas putra tercintanya, mereka meyakini Eril sudah pergi. Pergi kembali kepada sang Pemilik Sejatinya. Bersama arus sungai deras membawanya pulang.

Ketika sungai membawanya pergi. Eril papa mama dan anak adik-adik ikhlas mengantarmu pergi ke manapun takdirmu. Di tepian sungai hijau kebiruan tempat seruan terakhirmu menjadi kenangan sang ayah, lantunkan azan sebagai tanda perpisahan.

Pergilah dengan tenang sang putra kebanggaan. Ribuan cerita penuh kebaikan sempat kau torehkan takkan punah dari ingatan. Keluarga itu tegar. Melebihi tegarnya karang. Allah sangat menyayangi Eril, memeluk Eril dengan cara yang Allah mau. Di tepi sungai Bern langit biru dalam deras air mata tak tertahankan. Semua melepasmu pergi. Menuju keabadian atau perjalanan panjang yang baru yang hanya Allah yang tahu. Sang Pemilik Takdir.

Takdir yang Kau beri, menguji hati kami yang melihat, mendengar dan membaca berita itu.  Terasa menyesakkan kehilangan itu. Tangis yang mereka beri membuka mata kami,  karena cinta yang sebenarnya cinta, dan cinta hanya ada satu. Karena kehilangan itu,  mampu mendekat kepadaMu.

Kehilangan pada akhirnya, setiap manusia akan mengalami episode kehidupan itu. Kehilangan orang-orang yang dicintai dan mencintai kita. Meski sakitnya menghantam diri. Kepada siapapun pasti akan terjadi. Entah kapan dan di mana. Entah siapa kehilangan siapa. Suami kehilangan istri tercintainya. Ataupun sebaliknya. Juga untuk kisah duka yang menghentakkan bumi saat ini. Goresan pilu kisah Eril..

Selamat jalan Eril kepergianmu adalah perjalanan dan pelajaran betapa berartinya keluarga dalam hidup kita. Allah.. Hanyalah Ia sumber kekuatan, bahwa hidup harus terus berlanjut. Terima kasih Ridwan Kamil pemilik topi bundar, Ibu Cinta serta Zahra karena kalian kami jadi belajar. Ya kami jadi belajar akan makna mengikhlaskan kehilangan.

Langit masih kelabu. Ibu Cinta telah menitipkan putra tercintanya dalam penjagaan dan perlindungan terbaik dari pemilik yang sebenarnya, Allah SWT dimanapun ia kini berada. Di sini di sungai Aare yang luar biasa indah dan cantik ini keluarga itu melepaskan Eril dengan makna keikhlasan yang begitu dalamnya. Sungguh. Sudah surga menantimu Eril.. (*)

* Cerpen ini ramuan dari berbagai sumber fakta berita, ditulis ulang dalam cerpen oleh Muthi Masfu’ah, seorang cerpenis Kaltim yang menulis hampir 30 buku solo, owner TK Islam Kreatif Salsabila Bontang dan Ketua ABI Literasi Kaltim.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img