TANJUNG REDEB – Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit perlahan naik atau mulai membaik. Hal itu tentu menjadi angin segar bagi pekebun kelapa sawit setelah mengalami penurunan harga akibat dampak pelarangan ekspor hasil olahan TBS.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Berau, Lita Handini menerangkan, berdasarkan surat keputusan (SK) penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun yang bermitra di Kaltim, pada periode September 2022 terjadi kenaikan harga beli TBS. Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, harga TBS terpantau naik rerata Rp 100.
“Untuk usia tanaman paling muda yakni tiga tahun di bulan Agustus ditetapkan sebesar Rp 1.711 menjadi Rp 1.807 pada September, untuk usia tanaman di atas 10 tahun dari semula Rp 1.940, menjadi Rp 2.049,” ungkapnya, Selasa (20/9/2022).
Ia menjelaskan, penetapan harga itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan. Lalu, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian tandan buah segar kelapa sawit produksi pekebun.
“Penentuan harga harus sesuai dengan regulasi yang ada, dengan mempertimbangkan kondisi pasar hasil olahan kelapa sawit. Saat ini kondisi pasar mulai membaik, sehingga memberi dampak baik kepada peningkatan harga TBS,” tuturnya.
Ambang batas harga beli TBS jelasnya, dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pekebun dalam memperoleh harga TBS yang wajar. Hal tersebut untuk menghindari adanya persaingan yang tidak sehat antara perusahaan perkebunan di Kaltim.
“Regulasi dibuat dan ditetapkan agar semua pihak tidak merasa dirugikan. Baik pekebun, pengusaha, ataupun perusahaan,” tegasnya.
Kendati demikian, harga TBS itu merupakan harga di tingkat pabrik pengolahan kelapa sawit dan hanya berlaku untuk kebun plasma dan kebun swadaya masyarakat yang telah bermitra. Sementara, pekebun mandiri atau yang tidak bermitra, harga TBS ditetapkan langsung oleh pabrik pengolah kelapa sawit.
“Kami terus mendorong agar petani mandiri mau menjalin kemitraan dengan perusahaan agar dilindungi dengan regulasi yang ada. Ini berkaca dari kejadian beberapa waktu lalu, pekebun mandiri menjadi pihak yang paling terdampak,” ujarnya.
“Kami terus berupaya agar pekebun menjalin kemitraan dengan perusahaan. Tujuannya, agar mereka terlindungi dengan regulasi yang ada. Kita tidak mau kejadian yang pernah terjadi dapat terulang lagi, karena pekebun mandiri menjadi pihak yang sangat terdampak,” tandasnya. (Dez)