spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Hanya Setahun Pendapatan dari Batu Bara, Bisa Muluskan Seluruh Jalan hingga Pelosok Kaltim

Suara Gubernur Kaltim Isran Noor membahana di sebuah ruangan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Sebulan silam, Isran yang memenuhi undangan Komisi VII menyuarakan ketidakadilan mengenai dana bagi hasil atau DBH. Gubernur dengan lantang meminta pembagian lebih untuk daerah penghasil batu bara.

“Bagi hasil untuk daerah penghasil seharusnya tidak hanya sebesar royalti. Tambang batu bara di Kaltim itu open pit (penambangan terbuka). Dampak kerusakan lingkungan dan infrastruktur jalan sangat besar,” seru Isran pada 11 April 2022, seperti dikutip dari siaran resmi Pemprov Kaltim.

Selama ini, pembagian DBH diatur Undang-Undang 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasal 129 mengamanatkan, pemerintah daerah menerima 6 persen dari keuntungan bersih pemegang IUPK atau izin usaha pertambangan khusus sejak berproduksi. Porsi 6 persen itu dibagi lagi. Provinsi dapat 1,5 persen, kabupaten/kota penghasil 2,5 persen, dan kabupaten/kota di dalam provinsi yang sama mendapat 2 persen.

“Mestinya jauh lebih besar, bisa 30-40 persen dari hasil pendapatan penjualan batu bara,” pinta Gubernur dalam pertemuan tadi.

DBH sektor minerba yang Kaltim terima pada 2020 sebesar Rp 9,33 triliun. Sementara itu, DBH pada 2021 sebesar Rp 6,67 triliun sebagaimana lampiran keputusan menteri ESDM. Apabila DBH itu 6 persen dari keuntungan bersih pemegang IUPK, laba bersih seluruh perusahaan batu bara di Kaltim pada 2019 sebesar 155 triliun. Sementara pada 2020, jumlahnya Rp 111,16 triliun.

Perhitungan ini masuk akal ketika disandingkan dengan produk domestik regional bruto Kaltim. PDRB Kaltim dari sektor pertambangan dan penggalian pada 2019 adalah Rp 297 triliun. PDRB sektor yang sama pada 2020 sebesar Rp 250 triliun. Laba bersih perusahaan batu bara di Kaltim pada 2021 dipastikan jauh lebih besar. PDRB sektor penggalian dan pertambangan pada tahun lalu menembus Rp 313 triliun seiring meroketnya harga komoditas.

Pengerukan berpendapatan ratusan triliun rupiah itu, sebagaimana dalil yang diajukan Gubernur Isran, berlangsung dahsyat di tengah kondisi infrastruktur Kaltim yang memprihatinkan. Menurut Badan Pusat Statistik Kaltim, sekitar 57 persen jalan di seluruh provinsi ini masih dalam kondisi sedang, rusak, dan rusak berat. Panjang seluruh jalan di Kaltim ialah 15.359 kilometer. Sepanjang 1.171 kilometer berstatus jalan negara (pusat), 895 kilometer jalan provinsi, dan 12.753 kilometer jalan kabupaten/kota (Kaltim Dalam Angka 2021, hlm 582-589).

Dari 15.359 kilometer jalan di Kaltim itu, hanya 6.618 kilometer yang kondisinya baik. Sisanya, masih dalam kondisi sedang (3.864 km), rusak (2.280 km), dan rusak berat (2.597 km). Daerah yang memiliki jalan rusak berat terpanjang adalah Paser yaitu 532 kilometer dan Mahakam Ulu dengan 507 kilometer (hlm 582).

Ironi di Depan Mata

Pemberian donasi ratusan miliar oleh pemilik perusahaan tambang batu bara di Kaltim kepada tiga perguruan tinggi di Pulau Jawa sebenarnya ironi kecil. Masalahnya, ada ironi yang lebih besar sejak era emas hitam bersinar dua dekade silam. Sebagian besar jalan di Kaltim rusak manakala perusahaan pertambangan menikmati laba ratusan triliun rupiah setiap tahun.

Ketimpangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Laba bersih seluruh perusahaan pertambangan di Kaltim pada 2019 adalah Rp 155 triliun. Apabila satu tahun saja seluruh laba itu digunakan untuk infrastruktur Kaltim, semestinya tak sejengkal pun jalan di provinsi ini yang kondisinya rusak. Jalan negara yang menghubungkan kabupaten dengan kota hingga jalan lingkungan dari desa ke desa mulus semua.

Pembangunan jalan poros Samarinda Seberang menuju Terminal Peti Kemas Palaran di Samarinda dapat dijadikan amsal. Struktur ini dibangun dengan pembiayaan berskema tahun jamak pada periode pertama Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.

Jalan selebar 14 meter dengan empat lajur itu kelar dibangun pada 2013. Panjangnya 18 kilometer dengan permukaan cor beton. Biaya pembangunan menelan Rp 358 miliar sebagaimana siaran resmi Pemprov Kaltim. Artinya, pembangunan setiap 1 kilometer jalan dua jalur empat lajur memerlukan Rp 19,88 miliar.

Pendapatan bersih seluruh perusahaan pertambangan di Kaltim pada 2019 tadi adalah Rp 155 triliun. Jumlah itu setara dengan biaya pembangunan 7.796 kilometer jalan serupa poros Palaran. Panjang itu sudah mendekati seluruh bentang jalan Kaltim yang kondisinya sedang, rusak, maupun rusak berat. Dalam kalimat lain, pemasukan seluruh perusahaan batu bara dalam setahun cukup untuk meningkatkan jalan di Kaltim yang kondisinya belum baik menjadi jalan dua jalur empat lajur.

Inilah ironi yang sebenarnya  di depan mata masyarakat Kaltim. Jangankan jalur-jalur di pelosok desa, jalan poros Samarinda-Kutai Barat yang begitu penting saja babak belur selama ini. Padahal, begitu banyak perusahaan batu bara yang beroperasi di jalur poros tersebut. Batu bara nyatanya tak seindah ‘akronimnya’. Ia bukanlah barang Tuhan yang dibagi rata. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img