(Bagian 5, Novel Bocah Bintan, Mengguggah Harapan dan Jiwa)
Bagiku sosok ibu Syaf adalah berkumpulnya sifat ketegasan dan kedisiplinan dalam dirinya sekaligus, seiring berjalannya waktu akhirnya aku bisa mengenal lebih jauh sosok guru killer itu. Ibu Syaf adalah orang yang tidak akan pernah mau mengampuni kemalasan kami dalam belajar, dalam kamus dirinya tidak ada lagi kosa kata maaf dalam hal mentolerir kelemahan kami dalam menyerap pelajaran sekolah, khususnya pada jam pelajarannya.
Pokoknya selama berada di lingkungan sekolah kami berada dalam garis kekuasaannya, bahkan semua orang tua kami tidak pernah merasa keberatan dengan kebijakan dan gaya ibu Syaf, jika kami melapor kepada orang tua, justru mereka akan menyalahkan kami.
Namun sosok “kejam” itu hanya bisa kami rasakan jika berada di lingkungan sekolah saja, namun jika kami bertemu beliau di rumahnya, kami seperti menemukan sosok ibu Syaf yang lain sangat berbeda dengan karakternya yang keras di sekolah, beliau menjelma menjadi pribadi yang sangat lembut dan murah senyum, entah mungkin saat ingin mengajar ke sekolah kunci senyumnya di letakkan di rumah , yang jelas sirna semua penampilan sangar itu.
Saat itu aku pernah mengantarkan undangan pengajian titipan ibuku yang menjadi pengurus darma wanita bersama beliau, saat aku sudah berada di depan teras rumahnya betapa lutut ini gemetaran luar biasa ditambah suasana lingkungan rumahnya yang angker , aku memberanikan diri menekan tombol bel disamping pintu, namun tak kusangka justru beliau menyapaku dengan penuh lembut, tapi sekali lagi itu hanya berlaku di lingkungan rumah saja.
***
Melihat kondisi siswa di kelas 5 yang begitu beragam, mulai dari yang cepat menangkap dan menyerap pelajaran seperti Anhar dengan Paito yang dianggap paling lelet menangkap pelajaran, maka bu Syaf selaku kepala sekolah mengambil kebijakan untuk memberikan pelajaran tambahan atau les di sore hari sejak kelas 5, setiap Selasa dan kamis sore.
Kebijakan ini setidaknya mengganggu beberapa teman kami yang sudah memiliki jadual rutin bermain bola kaki setiap sore di lapangan sepak bola milik PT Antam. Paito harus lebih sulit membagi waktunya sebagai kuli bantu angkut barang di pelabuhan, Mason terpaksa harus bergantian dengan adiknya untuk mengambil getah karet untuk dikumpulkan kepada penampung , sedangkan Dawam juga akhirnya meminta mengantar Koran selain hari itu kepada ayahnya.
Dasar kami adalah anak-anak yang gila bermain, tetap saja kesempatan menunggu ibu Syaf tiba di sekolah, kami manfaatkan untuk bermain bersama di halaman sekolah dan seperti biasa bermain bola gebok. Kendati sinar matahari sudah mulai tergelincir di sore hari menuju peraduannya, tetap saja sinarannya membuat kami kepanasan, sambil bermain mata kami selalu awas melihat gerbang utama sekolah, siapa tahu bu syaf dengan payung kuningnya yang khas muncul dari pintu gerbang sekolah itu.
Jarak rumah ibu Syaf dengan sekolah tidak terlalu jauh sekitar 500an meter saja, bentuk rumahnya model bangunan tua peninggalan Belanda saat menjajah negeri ini, disekitar rumah beliau hanya terdapat lima rumah besar yang sedikit berjauhan satu dengan yang lainnya, semuanya rumah dinas pegawai PT Antam. Udaranya cukup sejuk dikelililingi oleh banyak pohon-pohon besar yang tua, bahkan kami anak-anak kecil ketakutan jika melihat pohon yang besar itu kesannya angker.
Semua murid laki-laki bermain tanpa terkecuali Wicaksono padahal dia tidak pernah ikut main sebelumnya, dia adalah teman kami yang paling pembersih,walau hari itu dia ikut bermain tetapi lebih banyak menjauh dari arena pertarungan utama. Seperti biasa Sumihar menjadi sasaran empuk bola tenis yang dilempar kepadanya, kadang dia meringis menahan rasa sakit saat bola mendarat di punggungnya. Tiba-tiba Arga berteriak dari belakang , “Ibuu Syaaaf dataaanggg……!!!”, ibarat anak ayam kehilangan induknya, semuanya berhamburan terbirit-birit langsung menuju kelas.
Napas kami masih tersengal-sengal menahan lelah bermain, namun posisi kami semua sudah siap di meja masing-masing. Keringat dibadan masih bercucuran mengalir membuat baju kami kebanjiran keringat. Bayangan ibu Syaf dengan payungnya terpantul di teras kelas kami. Penampilan pakaian Ibu Syaf jika mengajar di sore hari tentu tidak sama jika di pagi hari, meskipun dengan baju rumah tetap saja wajahnya yang dingin dan sorot matanya yang tajam membuat kami tidak memperhatikan lagi penampilannya.
“kalian yang laki-laki, ibu nak tanya kalian, siapa yang bermain tadi di luar berdiri semua jangan ada yang duduk !”, belum sempat Anhar memberikan aba-aba untuk memberi salam, ibu Syaf langsung lebih dahulu berbicara. Perlahan-lahan kami berdiri semua seraya melihat satu dengan yang lainnya. Wicaksono berdiri paling akhir. “Kalian ini bebal, teruk sangatlah, ibu nak suruh kalian itu belajar bukan hanya bermain !. “Cuba kalian cium ni ruangan kelas, bauu keringat kalian semua, macam mana ibu mau mengajar !!”.
Setelah itu ibu Syaf memperhatikan wicaksono anak Sekper PT Antam dan berkata kepadanya “ Engkau ikut main juga Wicak !!!”. “Wicaksono, engkau juga dengar yah”, engkau jangan terpengaruh juga dengan budak-budak kebanyakan ini, bermain tak liat waktu’’. Aku hanya melihat anggukan kepala dari wicaksono saat itu, kemudian Bu Syaf memberikan ultimatum,”Ibu nak ingin kalian dengar semua, pokoknya Ibu tak ingin cium bau keringat Babi lagi kalau ibu masuk kelas !?”. Ibu Syaf akhirnya memerintahkan kami selama 15 menit keluar dari kelas untuk menghilangkan bau keringat dan spontan kami berhamburan menuju taman pemimpi karena disana anginnya segar setidaknya meghilangkan keringat kami.
Sambil berbaring di hamparan rumput yang lembut, sementara sebagian yang lainnya sampai membuka bajunya dan diangin-anginkan bersama, sedang aku dan beberapa lainnya berbaring tiba-tiba merasa terganggu,
“Woiii,,kalian orang tak lihat kah, bau keringat itu aromanya menusuk sampai sini “, protes aku pada yang lain.
“ Sudahlah Qi…..nikmatilah bau keringat babi ini, kan begitu ucap bu Syaf tadi “, seloroh Ismail sambil cengengesan.
”Dasar engkau mail, kau tak main saja keringatmu sudah bau, apalagi sekarang !”, Ujar Riko mengejek Ismail.
“Ayo masuk kelas sekarang, waktu kita dah habis, nanti kita kena marah bu Syaf pula”, ajak Anhar sambil bangkit dari duduknya, bergegas kami semua menuju kelas mengikuti pelajarannya bu Syaf.
Mulai saat itu istilah “keringat babi” sering menjadi bahan candaan kami, pokoknya tiap kali kami habis bermain atau bahkan dalam pelajaraan olah raga sekalipun, kami bergurau, “hati-hati kalian, nanti bau keringat Babi !!”.