spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Galau

(Bagian 6, Novel Bocah Bintan, Mengguggah Harapan dan Jiwa)

Di sudut ruangan guru, tidak seperti biasanya tampak pak Arif  sedang duduk melamun  disana, sorot matanya tampak  kosong seraya ditangannya masih memegang lemah secarik kertas,  kemungkinan itu adalah sepucuk surat entah dari siapa. Pak Arif  adalah seorang guru yang sering mengumbar senyumannya yang khas  kepada kami semua,   kendati pakaian safari abu-abunya yang agak lusuh kerap kali dipakainya, namun tetap saja dia tampak necis dan parlente. Sifatnya yang ceria  dan semangat  membuat kami senang jika berada dalam jam pelajarannya.

Beliau memang  guru baru di SDN 006 sudah setahun lalu bertugas  mengajar di sekolah kami, guru muda jebolan IKIP Jakarta. Setelah lulus beliau  mendaftar sebagai calon PNS dan ditempatkan di Kijang, Pak Arif  mengajar mata pelajaran Pendidikan sejarah perjuangan Bangsa (PSPB) saat itu, selain itu beliau juga aktif sebagai Pembina Pramuka di gugus depan di sekolah, setiap jumat sore beliau rajin membina kami para pramuka penggalang untuk melakukan latihan bersama.

Seorang guru yang sering memberikan suntikan motivasi kepada kami, khususnya dalam hal  membangun semangat heroisme dan patriotisme . Apalagi jika sudah mengajar perjuangan pra kemerdekaan, bagaimana dahulu para pejuang yang dipelopori oleh para tokoh Agama untuk  mengusir penjajah Belanda yang telah menjajah negeri ini, termasuk tanah Bintan ini. Suasana kelas menjadi hidup jika beliau yang mengajar, sisipan kalimat-kalimat motivasi kerap kali keluar dari lisannya.

“Ada masalah apa Rif..?”, Pak Basirun tiba-tiba membuka percakapan saat masuk ke ruang guru melihatnya sedang melamun.

“Oh,,,,Pak Basirun, tak ada masalah pak”, jawab pak Arif sambil melipat kertas yang dipegangya.

“Tak ada masalah macam mana, tengok wajau engkau tuh…. Seperti awan mendung nak turun hujan !”, sedikit bercanda pak Basirun kepadanya.

“Aku ini sudah tua Rif,  jadi aku tahu banyak persoalan kehidupan, aku juga pernah muda seperti engkau”, ujar pak Basirun sambil menyeruput kopi hitam di mejanya.

“ Barusan saya membaca suratnya Rahmi, calon  tunangan saya Pak”,

“Terus !”, Pak Basirun menimpali.

“ Dia meminta agar saya segera pulang untuk melamar dan   segera menikah dengannya, karena ayahnya  tak ingin memberikan kesempatan terlalu lama kepada saya, apalagi  harus sampai  menunggu masa tugas awalku selesai, soalnya sudah ada beberapa kerabat dan teman ayahnya ingin menjodohi anaknya dengan Rahmi, bahkan sudah  ada teman ayahnya yang datang melamar, namun ayahnya Rahmi belum merimanya, pak ”, Ujar Pak Arif datar.

“Oooo begitu masalahnya..”, pak Basirun sambil menghela napas.

“Apakah engkau tak memberitahu kepadanya saat akan tugas ke sini, engkau telah memilih menjadi guru dan siap ditempatkan di sini selama tiga tahun sebelum engkau diangkat penuh menjadi guru tetap?”.

“ Sudah pak, bahkan saya sudah meyakinkan agar bersabar dahulu selama saya menjalani tugas awal selama 3 tahun “, balas pak Arif.

“ Menjadi guru memang butuh banyak pengorbanan, sama sepertiku setelah lulus dari Sekolah Pendidikan Guru dulu, ada temanku yang mengajar di pelosok-pelosok negeri ini, masih bersyukur aku dapat tempat disini”, terang  pak Basirun semangat.

“Kalau masalah jodoh,,wah itu sudah ada jalan takdirnya Rif,,,tak akan lari kemana Rif , coba tengok aku sudah 30 tahun aku tinggal disini, Alhamdulillah dapat jodoh pula aku disini”, Pak arif menyimak penjelasan pak basirun,  dua pria ini terlibat dalam obrolan yang serius.

“Sudahlah Rif, jangan engkau terbawa emosi ! jodoh itu tak akan lari kemana-mana,  Allah swt sudah menetapkan jodoh kita sejak ruuh akan ditiupkan kejasad kita”, jelas pak Basirun. Pak Arif hanya diam seraya menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan ungkapan pak basirun.

“ Engkau kan sering mengajarkan kepada anak-anak, bahwa kita harus penuh semangat walau rintangan datang menghadang, kehidupan ini adakalanya mendung namun tak akan selamanya,,,kelak Pelangi akan muncul pertanda ada harapan mentari datang”, ungkap pak Basirun sambil menurunkan kacamatanya dan menatap pak arif.

“Iya Pak, terima kasih atas petuahnya”, balas pak Arif sambil membereskan buku dihadapannya karena beberap saat lagi jam pelajaran baru akan masuk.

*******

Bunyi suara sirine kapal KM Lawit milik Pelni terdengar jelas pertanda akan segera  berlabuh di pelabuhan Kijang, tampak dua kapal kecil sedang mendorong kapal besar tersebut untuk  merapat ke dermaga, sekumpulan para buruh barang dengan baju bernomor punggung semua sudah siap-siap di bibir dermaga menunggu tangga penumpang akan diturunkan, diantara kerumunan buruh tersebut terselip Paito yang juga bersiap-siap masuk ke kapal.

Lelaki kekar yang di panggil Bang Togar, terlihat  mengkordinir beberapa orang buruh  disekelilingnya, sepertinya mereka adalah satu tim untuk bekerjasama mengincar penumpang yang banyak membawa barang-barang yang besar, termasuk didalamnya Paito teman kelas kami.

“ paito,,sudahlah engkau tak usah terlalu berat bekerja, aku kasihan lihat engkau tempat engkau itu seharusnya tidak disini, tapi belajar di sekolah sana  supaya pintar !”, dengan logat khas Bataknya bang Togar menyapa Paito.

“ Ayahmu memang teman baikku, tapi dia tak ingin engkau bekerja seperti dia “, Paito   tak merespon,  matanya tetap fokus menanti saat-saat kapal akan menyandar di dermaga, sepertinya ungkapan bang Togar seperti masuk ditelinga kirinya keluar ditelinga kanannya.

“ Engkau dengar tak ! “, suara bang Togar meninggi

“dengar, bang !”, jawab Paito datar.

Rekan kerja bang Togar, bang Ipul juga ikut angkat bicara,

“ Tak usahlah dipaksa Gar !, biarkan saja dia. Paito !,,, tak ada guna jika engkau sekolah tapi kau hanya jadi buruh seperti kami-kami ini, pekerjaan ini tak butuhlah pendidikan, cukup engkau punya otot seperti kami-kami ini”.  Maklum bang Togar dan bang  Ipul adalah sahabat kerja ayah paito, setelah ayah paito menderita sakit, akhirnya Paito ikut membantu melanjutkan pekerjaan ayahnya,  sehingga bagi mereka Paito seperti adik mereka sendiri.

“ Abang dulu  hanya bisa sekolah  sampai di kelas 3 SD saja Paito !,  karena orang tua abang tak mampu membiayai sekolah, mungkin kalau abang tak berhenti sekolah saat itu wah bisa saja aku jadi bos di perusahan besarlah  “ ujar bang Togar menghibur diri sambil menyeka keringat di keningnya.

“ Yah bosnya para buruh inilah contohnya !”, sambut bang Ipul sedikit meledek.

“ Sialan kau Pul !”,  ungkap bang Togar sambil mengepalkan tangan ke arahnya.

” Ayo lekas tangga kapal dah turun”, seru bang Togar,  spontan mereka berhamburan lari menuju dek kapal untuk mencari penumpang yang membutuhkan jasanya.

*******

Tampak matahari pamit   dan segera menuju peraduannya di sebelah barat, ufuk merah sudah mulai tampak pertanda waktu maghrib sebentar lagi akan  datang, setelah mendapatkan upah dari bang Togar,  Paito segera bergegas pulang ke rumahnya, perasaannya  bahagia karena lumayan  mendapatkan penghasilan hari itu,  ibunya pasti akan  senang menerima setorannya hari ini, gumannya dalam hati.

Kendati hati kecilnya menyisakan satu kegelisahan dalam batinnya, setelah mendengar percakapan bang Togar dan bang Ipul di pelabuhan tadi. Percakapan itu menyentil perasaannya, dikamarnya yang kecil sejenak dia merenung, apakah memang dia  ditakdirkan hanya menjadi seperti ayahnya saja, seorang buruh lepas mengangkut barang. Teringat dirinya hari itu adalah hari les pelajaran, namun dia lebih memilih membolos dan mencari uang demi kelangsungan ekonomi rumahnya.

Lintasan pikiran muncul dalam benaknya, perasaan bahwa dirinya paling lambat dalam menyerap pelajaran, langganan tinggal kelas, beberapa anak dekat lingkungan  rumahnya    hanya menamatkan SD saja atau SMP, namun mereka ada yang sukses berdagang di pasar, bahkan ada yang sudah tamat  SMA dan  STM atau jenjang diatasnya walau sudah  selesai sekalipun tak ada yang menjamin mereka bisa bekerja dengan gaji layak, kerap dirinya melihat   abang-abang yang hanya habiskan waktunya minum di kedai-kedai kopi untuk mengobrol saja, angan-angan  mereka tinggi , berharap bisa bekerja sebagai pegawai di PT Antam, nyatanya mereka menganggur.  Apalagi tanah-tanah sudah nyaris habis dikeruk untuk eksploitasi tambang dan tidak bisa diperbaharui, pasti akan tutup aktivitas tambang.

Hari sudah malam dan  gelap datang menyelimuti langit Bintan, kemerlap cahaya bintang gemintan diatas sana tampak cantik menghiasi hamparann kegelapan malam di langit Bintan, seakan menyelimuti bani insan yang sudah  terlelap dalam tidur dan mimpi.

******

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img