spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

FYP TikTok Penuh Perang: Rudal Iran, Serangan Israel, hingga Harga Minyak Meledak

SETIAP kali saya membuka TikTok, hampir pasti muncul video perang. Langit Tel Aviv yang merah membara. Rudal-rudal meluncur dari Iran. Teriakan takbir, sirene, dan ledakan bergantian mengisi layar ponsel. Di Instagram dan YouTube Shorts, narasi berseliweran, dari konspirasi global hingga prediksi pecahnya Perang Dunia Ketiga.

Jagad maya tak pernah seramai ini, dan media internasional menjadikan konflik Iran–Israel sebagai headline. Semuanya nyata, bukan fiksi.

Tanggal 13 Juni 2025 jadi titik balik. Israel melancarkan operasi udara besar—Operation Rising Lion—menggunakan lebih dari 200 jet tempur untuk menghancurkan lebih dari 100 target strategis di Iran. Mulai dari fasilitas nuklir Natanz dan Isfahan hingga markas IRGC di Teheran dan pusat penelitian militer. Ledakan terdengar bahkan di pinggiran Laut Kaspia.

Alasan Israel? Tel Aviv mengklaim Iran mempercepat pengayaan uranium menuju senjata nuklir, serta memperkuat dukungan militer bagi Hizbullah dan Houthi. Serangan drone dan roket sebelumnya dari Lebanon dan Gaza disebut Israel sebagai proksi Iran. Israel menilai serangan ke Iran sebagai tindakan pre-emptive untuk “menghilangkan ancaman eksistensial”.

Iran langsung membantah tuduhan itu. Presiden Masoud Pezeshkian menegaskan bahwa Iran tidak berniat mengembangkan senjata nuklir dan program nuklirnya hanya untuk energi dan riset damai. Sejalan dengan fatwa Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei yang melarang senjata pemusnah massal.

Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei
– Evakuasi reruntuhan pascaserangan di Tepi Barat.

Juru bicara Kemlu Iran mengritik Israel, mengatakan tuduhan itu hanyalah propaganda untuk melegitimasi agresi yang melanggar hukum internasional dan Piagam PBB.

Dalam satu malam, lima jenderal tinggi Iran tewas. Salami, Bagheri, Hajizadeh, Rashid, serta kepala intelijen IRGC dan wakilnya. Enam hingga sembilan ilmuwan nuklir, termasuk Fereydoon Abbasi dan Mohammad Mehdi Tehranchi juga jadi korban. Fasilitas minyak dan gas di Teheran terbakar hebat.

Kurang dari dua hari kemudian, Iran meluncurkan balasan besar. Lebih dari 150 rudal balistik dan 100 drone menghantam Tel Aviv, Yerusalem, dan Haifa. Warga panik, bunker dipenuhi, langit berubah merah. Semua terekam di layar ponsel.

Balasan ini disebut Operation True Promise III.  Ayatollah Ali Khamenei, pun berpesan, “Mereka memulai perang ini … tidak akan lolos tanpa hukuman.” Presiden Masoud menambahkan, “Setiap aksi Israel akan dibalas dengan skala lebih besar.”

Presiden Iran Masoud Pezeshkian
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut, “Operation Rising Lion akan berlanjut demi menetralkan potensi nuklir Iran.” Ia menegaskan lagi, “Siapa pun yang mengancam eksistensi kami akan dihancurkan. Ini soal masa depan peradaban.”

Hari ini konflik bukan lagi proxy war. Ini perang antarnegara terbuka. Iran menyerang langsung dari wilayahnya. Bukan lagi melalui Hizbullah, Houthi, atau milisi Irak. Ini eskalasi nyata. Di saat yang sama, AS, Rusia, dan Tiongkok berada dalam status waspada tinggi. Satu kecelakaan bisa memicu respons global. Perang Dunia Ketiga bukan sekadar retorika kosong.

Krisis ini pun telah mengguncang pasar global. Harga minyak melonjak lagi pada Senin (16/6/2025). Brent naik ke US$ 75,35 per barel dan WTI ke US$ 74,08 per barel, setelah sebelumnya sempat naik 7 persen dalam satu hari dan menyentuh level tertinggi sejak Januari.

Dua kekhawatiran utama mendorong ini. Serangan lanjutan pada fasilitas energi Iran dan ancaman potensi blokade Selat Hormuz, jalur vital bagi 18–19 juta barel minyak per hari. Toshitaka Tazawa dari Fujitomi Securities memperingatkan pasar bisa “bergejolak drastis” jika jalur itu diblokade.

Iran saat ini memproduksi 3,3 juta barel per hari dan mengekspor lebih dari 2 juta barel. Jika produksi atau jalur ekspor terganggu, harga minyak global bisa mencapai US$ 150 per barel. Dampaknya akan menjerat hingga ke dapur rakyat Indonesia.

Bagi sebagian orang di Indonesia, konflik Iran–Israel mungkin terasa jauh. Tapi dampaknya bisa sangat dekat, terutama bagi daerah seperti Kaltim yang selama ini menjadi andalan energi nasional.

Kalau harga minyak dunia melonjak, yang pertama kali ikut naik pasti harga BBM. Biaya logistik ikut terdongkrak. Harga bahan pokok makin mahal. Dan pada akhirnya yang paling merasakan adalah masyarakat biasa.

Rupiah bisa tertekan. Inflasi pun bisa membengkak. Daya beli masyarakat pelan-pelan terkikis. Untuk Kaltim, yang APBD-nya masih sangat bergantung pada migas dan batu bara, situasi ini bisa jadi pedang bermata dua.

Pendapatan daerah mungkin meningkat, tapi beban hidup masyarakat juga naik. Mereka yang tinggal di Samarinda, Balikpapan, Bontang, atau kawasan industri lainnya pasti akan ikut terdampak—baik langsung maupun tidak.

Kenaikan harga komoditas mungkin menyenangkan bagi segelintir pengusaha atau sektor ekspor. Tapi rakyat sebagai konsumen tetap akan menanggung beban paling besar. Jika pemerintah tidak cepat dan tepat mengatur arah kebijakan, dari fiskal sampai subsidi, tekanan sosial bukan tidak mungkin akan muncul.

Kesenjangan bisa makin terasa. Terutama di daerah-daerah yang padat dan sangat bergantung pada barang-barang kebutuhan harian.

BPS mencatat inflasi tahunan Mei 2025 mencapai 3,52 persen, salah satunya didorong oleh naiknya harga energi. Ini peringatan yang tidak boleh diabaikan.

Dalam situasi ini, Indonesia tidak bisa terus diam. Prinsip politik luar negeri bebas aktif bukan berarti pasif tanpa suara. Dunia sedang kehilangan akal sehat dan kita tidak boleh ikut bungkam.

Pemerintah Indonesia, lewat pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI pada 14 Juni 2025, telah mengajak semua pihak menahan diri dan kembali ke jalur diplomasi. “Indonesia mendesak agar kekerasan dihentikan dan mengutuk segala bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia,” ujar juru bicara Kemlu RI.

Namun itu belum cukup. Pemerintah Indonesia harus lebih aktif di forum internasional seperti PBB dan OKI, serta berani memimpin suara dunia yang menuntut gencatan senjata dan akal sehat.

Daerah seperti Kaltim, sebagai penyangga energi nasional, juga harus ikut mendorong pemerintah pusat tampil lebih lugas dalam diplomasi global.

Karena jika api perang terus menyala di sana, yang terbakar bukan cuma wilayah konflik—tapi bisa saja dapur rumah kita sendiri. (*)

Oleh Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.