SELASA pagi, 17 Juni 2025. Saya dan tim Media Kaltim meninggalkan pusat Kota Bontang menuju kawasan perkantoran Bontang Lestari. Jaraknya kurang lebih 10 km. Jalanan pagi itu tak begitu ramai, tapi kendaraan tak bisa melaju terlalu cepat.
Beberapa ruas jalan masih dalam tahap perbaikan. Ada yang tambal sulam, ada yang sudah selesai ditingkatkan, tapi belum seluruhnya rampung.
Ya, akses menuju kompleks kantor DPRD ini memang belum pernah benar-benar mulus. Namun saya tetap harus melaju, karena sudah janji pukul 09.00 Wita menemui Sekretaris DPRD (Sekwan) Bontang, Yessy Waspo Prasetyo. Jadwal beliau padat. Usai bertemu kami, rapat-rapat beruntun sudah menanti hingga sore hari.

Gedung DPRD ini berada di Jalan Moeh Roem, kawasan Bessai Berinta, Kelurahan Bontang Lestari. Gedungnya cukup representatif, dengan ruang sidang besar, ruang kerja anggota dewan, serta ruang rapat yang nyaman dan tertata.
Di sinilah berbagai peraturan daerah dan keputusan penting lainnya dibahas serta ditetapkan bersama pemerintah kota.
Kami disambut langsung di ruang rapat Sekretariat DPRD. Saya berada paling depan, disusul Darman (Direktur Radar Bontang), lalu Yahya Yabo (redaktur), serta dua reporter Media Kaltim Network: Dwi Suliati dan Syakurah.
Begitu kami memasuki ruang rapat, Pak Yessy berdiri menyambut satu per satu dengan senyum lebar dan jabatan tangan hangat.
Obrolan pun mulai mengalir. Kami berbincang soal masa sekolah. Pak Yessy bercerita bahwa dirinya adalah bagian dari angkatan pertama YPK. “Satu kelas sama Jainuddin Pulung. Adiknya Jayadi (Pulung, Red). Nah, Eko Satria juga adik kelas saya,” kenangnya.
Saya mengangguk. Nama-nama itu bukan asing di telinga kami. Bahkan salah satunya yang juga sama-sama di YPK adalah Boni Sukardi, yang kini duduk sebagai anggota DPRD dan tinggal di Bukit Sekatup Damai (BSD), yang masih satu kawasan perumahan tempat tinggal saya.
Berbeda dengan Pak Yessy, yang sejak 1983 menetap di sebuah rumah kayu ulin miliknya di samping Kampus Utama STITEK Bontang, lokasinya di Jalan Letjen S. Parman.
Kami pun menyinggung rumah itu, rumah yang sudah melewati zaman, tapi masih berdiri kokoh dengan ciri khas tiang-tiang kayu ulin yang besar.
“Mulai tahun 1983 saya sudah tinggal di rumah ulin itu, Mas. Tiangnya masih besar-besar. Rumah ulin zaman dulu,” katanya sambil tertawa kecil. “Dulu katanya angker, biar orang nggak sembarangan masuk,” ujarnya setengah bercanda.

Canda ringan tentang rumah ulin lambat laun membawa kami ke obrolan yang lebih serius. Topik beralih ke dinamika birokrasi dan tantangan jabatan strategis. Saya pun menyinggung isu yang belakangan ramai dibicarakan: masuknya nama Yessy Waspo Prasetyo dalam bursa calon Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bontang.
Menanggapi hal itu, Pak Yessy hanya tersenyum kecil. “Saya belum mengetahui hal tersebut, Mas,” ujarnya merendah. Tapi di balik jawaban singkat itu, saya menangkap satu hal: bahwa jabatan seperti Sekda bukan sekadar soal administrasi.
Ia menuntut pengalaman panjang, ketenangan dalam menghadapi tekanan, dan kemampuan menjembatani berbagai kepentingan. Dan dari semua itu, nama Pak Yessy memang pantas diperhitungkan.
Kami juga banyak berbincang soal tantangan menjadi Sekwan di tengah dinamika politik dan birokrasi. “Sekwan itu harus tahu tempat. Kita ini bukan kepala dinas, juga bukan anggota DPRD. Tapi tanggung jawab kita dua arah. Administrasi ke wali kota, operasional ke DPRD. Total ada 25 bos. Tiga pimpinan, dua puluh dua anggota,” jelasnya.
Kalimat yang paling saya ingat dari beliau adalah: “Jangan jadi anggota DPRD ke-26.”
Prinsip yang ia pegang teguh. Jika seorang sekretaris terlalu larut dalam urusan politik atau dinamika fraksi, pekerjaan administratif dan koordinatif akan terbengkalai.
“Harus selesai dengan diri sendiri dulu. Kalau nggak, kita bisa lupa diri. Jadi ikut jadi bos, padahal tugas kita melayani,” ucapnya.
Beliau juga menyinggung realitas anggaran yang saat ini sedang ketat. Refocusing anggaran 50 persen membuat seluruh perangkat daerah harus berhemat, termasuk Sekretariat DPRD. “Senin sampai Selasa saya full dampingi dewan. Rabu sampai Jumat baru bisa selesaikan urusan administrasi internal. Kalau nggak cermat, bisa keteteran semua,” tambahnya.

Di penghujung perbincangan, kami masuk ke ranah yang lebih personal. Saya bertanya tentang keluarga, dan dari situlah saya menyadari bahwa sosok Yessy Waspo Prasetyo bukan hanya birokrat yang teliti, tetapi juga ayah dan suami yang berhasil mendampingi tumbuh kembang keluarganya.
Ia menikah dengan Emalia Darmawati, dan dikaruniai empat orang anak. Tiga di antaranya kini sedang menempuh pendidikan tinggi di kampus ternama dalam dan luar negeri: Amara Tunggadewi Ayu Pramesti di Unpad Bandung, Muhammad Raka Wibowo di UPN Surabaya, Muhammad Zizou Fathir Fisabilillah di University of Malaya, Malaysia, dan si bungsu Muhammad Djati Bhirawa kini menempuh pendidikan di SMA YPK Bontang.
Lahir di Samarinda, 7 Maret 1971, perjalanan pendidikannya juga panjang. Ia mengenyam pendidikan dasar di SDN Palaran Samarinda, lalu SMP dan SMA YPK Bontang. Setelah itu melanjutkan ke STIE Kerjasama Yogyakarta (D3), Universitas Trunajaya Bontang (S1 Manajemen), dan terakhir menyelesaikan S2 Magister Administrasi Publik di Universitas Mulawarman.
Sebelum menjadi PNS, Pak Yessy sempat bekerja di Bank Dagang Nasional Indonesia. Sejak tahun 2000, ia mulai berkarier di lingkungan Pemkot Bontang, mengisi berbagai posisi strategis, dari staf keuangan hingga kepala bidang pendapatan dan Plt Kepala Dinas.
Sejak 2023, ia menjabat Sekretaris DPRD Kota Bontang. Selain di birokrasi, ia juga aktif sebagai Ketua Umum SSB Putra Utama Bontang dan Bendahara Yayasan Yabis.
Dari perbincangan pagi itu, saya bisa menyimpulkan: Yessy adalah sosok birokrat yang tenang, tahu arah, dan tidak terburu-buru bicara. Tapi sekali berbicara, yang disampaikan adalah hal penting.
Sebelum berpamitan, kami menyerahkan cendera mata dari Media Kaltim. Tak ada kesan formal yang kaku, semuanya berlangsung santai, hangat, dan bersahabat.
Hari itu kami pulang dengan banyak pelajaran. Dari ruang kerja yang tenang tapi penuh dinamika, saya melihat lebih dekat bagaimana birokrasi seharusnya dijalankan.
Bahwa jabatan bukan soal prestise, tapi tanggung jawab. Dan bahwa dalam bekerja, kita harus tahu kapan bicara, dan kapan cukup mendengarkan. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.