SABTU malam, 14 Juni 2025, saya dan istri akhirnya ikut rasa penasaran warga Bontang: mengunjungi Era Fresh yang baru saja resmi dibuka pagi harinya.
Menempati eks dealer Mitsubishi di Jalan Jenderal Sudirman, Tanjung Laut, tempat ini kini disulap menjadi pasar modern yang terang, bersih, dan rapi. Kami datang menjelang pukul delapan malam. Parkiran penuh, lalu-lalang pengunjung padat, dan lorong-lorong toko dipenuhi keranjang yang sesak oleh belanjaan.
Begitu melangkah masuk, mata saya langsung tertuju pada deretan freezer yang memanjang, memamerkan berbagai pilihan daging beku, ayam, sosis, hingga ikan fillet yang ditata bersih dan profesional dengan label produk yang tertempel rapi.
Di sisi kanan, tampak seorang pria dan anaknya serius memilih nugget di balik kaca pembeku. Suasana benar-benar hidup. Di area tengah, beberapa rak tinggi berisi produk kebutuhan rumah tangga dari sabun, bumbu kemasan, hingga mi instan berbagai merek.
Bahkan saya sempat menyaksikan pasangan muda berdiri berdampingan sambil membandingkan harga di tangan mereka. Potret konsumen cerdas dan kritis yang kini dimanjakan banyak pilihan.

Hadirnya Era Fresh menambah panjang daftar brand waralaba nasional yang meramaikan Bontang. Setelah KFC, Pizza Hut, McDonald’s, Richeese Factory, Mi Gacoan, hingga MR DIY yang bahkan telah membuka tiga gerai. Untuk kota seukuran Bontang, ini jelas bukan kebetulan. Ini bukti bahwa daya beli masyarakat dan gaya hidup urban di kota ini mulai menjadi magnet pasar yang diperhitungkan.
Sejak sore, diskusi di grup WhatsApp UMKM yang saya ikuti sudah ramai membahas kehadiran Era Fresh ini. Salah satu anggota membagikan hasil pengamatannya, “Brokoli di Era Fresh cuma Rp82 ribu per kilo. Kemarin saya beli di pasar harganya Rp120 ribu. Selisihnya 31 persen. Gimana UMKM mau bersaing kalau harga pasar segitu?”
Lalu ada yang menambahkan, “Tadi pas belanja, saya ngobrol sama pengunjung lain. Dia bilang, ‘Luar biasa, Mas. Tapi kasihan juga pasar.’ Saya cuma bisa nyengir, karena ya memang kondisinya begitu.”
Dari situ, diskusi melebar. Banyak yang menyoroti bahwa hampir tidak ada produk lokal Bontang yang terpajang di rak Era Fresh.
Bahkan mie kalimantan dan kulit lumpia yang seharusnya bisa diproduksi oleh warga Bontang, justru didatangkan dari luar kota. Salah satu pelaku usaha menulis, “Mie dan kulit lumpia yang dijual di sana nggak ada tanggal expired-nya. Kayaknya dari dapur rumahan, bukan UMKM resmi.”
Ada pula komentar yang menyentil, “Seharusnya waktu mengajukan izin toko modern, sudah ada komitmen menggandeng UMKM lokal.” Tapi dibalas pula dengan realistis, “UMKM kita juga harus siap. Dari kemasan, sertifikasi, kualitas, hingga harga. Jangan hanya ngandelin rasa lokal, tapi kemasannya ala kadarnya.”
Ya, Era Fresh bukanlah sekadar minimarket. Ia bagian dari jaringan Era Mart, yang sudah memiliki puluhan cabang di Kaltim. Dan untuk lini “fresh”-nya, cabang Bontang ini merupakan yang keempat setelah Siradj Salman, D.I. Panjaitan, dan PM Noor 2 di Samarinda.
Toko ini jelas mengusung kenyamanan belanja masa kini, tapi tetap menyasar kebutuhan dapur sehari-hari warga. Jam operasionalnya pun panjang, dari pukul 07.00 hingga pukul 24.00. Sulit rasanya bagi pasar tradisional menyaingi kenyamanan dan jam buka sepanjang itu.
Namun di balik euforia itu, muncul pertanyaan. Apakah ini akan jadi ancaman serius bagi pasar tradisional dan pelaku UMKM? Apakah kota ini siap menanggapi ekspansi retail modern dengan strategi kolaborasi, bukan sekadar kompetisi?
Beberapa kawan menyampaikan gagasannya: alih-alih bersaing, mengapa tidak membuka peluang titip-jual produk lokal di rak Era Fresh?
Tapi tentu itu tidak semudah kedengarannya. Ada syarat kualitas, kuantitas, kontinuitas. Dan semua itu butuh peran aktif dari pemerintah sebagai jembatan.
Dari kunjungan saya malam tadi, saya menyaksikan konsumen yang semakin selektif dan dimanjakan kenyamanan. Tapi di sisi lain, saya juga menyadari bahwa jika tidak disiapkan dengan cepat dan tepat, pelaku UMKM kita bisa tergilas arus perubahan ini.
Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka tidak cukup dibekali dan disambungkan ke pasar modern.
Era Fresh bisa menjadi peluang jika benar-benar dijadikan mitra UMKM. Tapi bisa juga menjadi ‘tsunami sunyi’ yang menggulung pelan-pelan pasar dan warung kecil di lingkungan kita.
Tergantung siapa yang lebih dulu merespons: pemerintah, pelaku usaha, atau kita semua sebagai konsumen yang sadar bahwa memilih produk lokal juga bentuk cinta kota. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.