spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Disahkan untuk Digugat, Proses Pembahasan UU IKN Tak Sampai 2 Minggu, Minim Partisipasi Publik 

JAKARTA – Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Baru di Kalimantan Timur, kemungkinan takkan mulus walau payung hukumnya berupa undang-undang sudah disahkan DPR RI pada Selasa (18/1/2021). Batu sandungan tersebut berupa gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Rencana memperkarakan UU IKN diungkapkan ekonom senior Faisal Basri, dalam sebuah diskusi yang tayang di kanal YouTube PKS TV, Selasa (18/1/2021). “Saya berlima akan berusaha ini (UU IKN) dibawa ke judicial review, tapi belum tahu waktunya kapan,” katanya.

Faisal Basri memastikan, dia dan PKS tak anti pada pemindahan IKN, tapi lebih karena dinilai momennya tak tepat menyusul krisis multidimensional akibat pandemi Covid-19. Akibat dilanda pandemi, beberapa negara meninjau ulang arah pembangunan mereka, ditambah masalah perubahan iklim dan pemanfaatan teknologi.

Menurut Faisal Basri, pemindahan IKN tak telalu mendesak, sebab hingga 76 tahun merdeka, di Indonesia masih ada 52,8% penduduk yang miskin ekstrim, nyaris miskin dan rentan miskin. “Ini tantangan besar, tentu obat tokcernya bukan IKN,” kata dosen Program Magister Universitas Indonesia ini.

Masalah lain yang dipertanyakan Faisal Basri terkait pembiayaan IKN yang diambil dari APBN, dari rencana sebelumnya murni dibiayai swasta. Informasi yang dia dapat menyebutkan, Presiden Jokowi awalnya antusias membangun IKN setelah dibisiki ada yang bisa membawa investor luar negeri yang mampu menyediakan dana USD 100 miliar.

Jokowi kemudian berubah pikiran setelah mendapat saran dari seorang Wakil Menteri bahwa skema pembangunan yang ditawarkan investor tadi cukup berat. Syaratnya diantaranya, 10 tahun sejak IKN dibangun, pemerintah wajib menghadirkan 5 juta penduduk.

Dari masa tunggu itu tentu muncul peluang bisnis, mulai dari penyediaan perumahan, perkantoran, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, transporasi serta sebagainya dimana nilainya lebih dari USD 100 miliar. “Setelah diingatkan, Pak Jokowo baru ‘ngeh’ sehingga yang dipakai APBN,” ungkap Faisal Basri.

Dia juga mengkritik prosedur pengesahan RUU IKN di DPR, yang menurutnya cacat prosedural dan cacat formal karena dibahas sangat cepat, lebih cepat dari Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang sempat disorot masyarakat beberapa waktu lalu.

Terkait cacat prosedural UU IKN, menurut Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus yang juga merupakan narasumber diskusi, menyebut kejanggalannya terlihat dari waktu pembahasan yang tak lebih dari 2 minggu setelah dikurangi hari libur dan reses DPR RI.

Menurut Lucius, surat presiden (Surpres) tentang IKN dikirim ke DPR pada 3 Desember 2021, kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia khusus pada 6 Desember. Lantas tanggal 16 Desember DPR masuk masa reses, sehingga praktis waktu yang digunakan pemerintah dan DPR mendengar pendapat ahli terkait RUU IKN sekitar satu minggu.

Selepas reses, rapat dengar pendapat soal IKN dilanjutkan pada 13 Januari sampai akhirnya diketok (disahkan) sebagai undang-undang pada 18 Januari 2022. “Jadi tidak sampai 2 minggu RUU IKN ini diketok palu atau disahkan sebagai undang-undang. Mungkin ini rekor tercepat dalam pembahasan sebuah rancangan undang-undang,” kata Lucius.

Mengacu putusan MK terhadap gugatan UU Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional bersyarat, menurut Lucius, DPR dan pemerintah seharusnya tidak lagi menganggap remeh proses pembahasan UU, terutama terkait partisipasi publik.

“Penamaan atau istilah inkonstitusional bersyarat itu, mestinya jadi satu hukuman sangat berat bagi DPR dan pemerintah. Sebab sebagai pelaksana konstitusi melalui undang-undang yang mereka susun, malah dianggap inkonstitusional oleh MK walau ada tambahan bersyarat,” katanya. (prs)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img