SAMARINDA – Rencana pemerintah Republik Indonesia untuk memberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Hak Penerbit (Publisher Rights), sempat ditolak oleh organisasi pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Pasalnya, Perpres tersebut tidak menguntungkan bagi mereka.
Dewan pers pun menanggapi penolakan tersebut dengan menyebutkan Perpres Hak Penerbit, bertujuan agar karya jurnalistik itu berkualitas.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, saat diwawancarai Mediakaltim.com beberapa waktu lalu di Hotel Senyiur Samarinda, mengatakan bahwa draft Perpres Hak Penerbit disusun langsung oleh Dewan Pers. Ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan Presiden Joko Widodo dan Dewan Pers di Istana Negara, Jakarta pada Februari 2023 lalu.
“Draf R-perpres itu disusun bersama 11 konstituen,” ungkapnya.
Yadi juga mengatakan bahwa Dewan Pers terus memperjuangkan adanya percepatan pengesahan Perpres Hak Penerbit oleh pemerintah.
“Kami sudah mengeluarkan siaran pers, meminta Presiden untuk mempercepat disahkannya Perpres tersebut,” pungkasnya.
Menurutnya Perpres Hak Penerbit tersebut adalah sebagai upaya mencegah konten yang potensial mengandung hoaks, misinformasi, disinformasi, atau yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers serta kode etik jurnalistik.
Sehingga, untuk media yang mengusung platform digital dan rutin menerbitkan karya jurnalistiknya, juga dituntut untuk menerbitkan berita yang berkualitas dengan tidak mengambil sumber-sumber berita yang tidak benar.
“Publisher Rights ini adalah untuk menjaga kualitas karya jurnalistik kita,” katanya.
Dewan Pers juga menjawab kekhawatiran para kreator konten media sosial. Karena menurut para kreator konten dengan diterbitkannya Perpres ini akan membatasi ruang berekspresi bagi mereka.
“Publisher Rights hanya untuk karya jurnalistik, Jadi buat youtuber, atau konten kreator yang kontennya bukan karya jurnalistik, itu nggak akan kena masalah,” ujarnya.
Perpres Hak Penerbit ini nantinya akan mewajibkan platform digital seperti Google, Facebook dan TikTok untuk membayar berita dari media massa.
“Aturan ini mengikat platform digital untuk memberikan nilai ekonomi atas berita dari pers lokal dan nasional,” tambahnya.
Diketahui, Perpres Hak penerbit ini juga telah diterapkan di sejumlah negara, seperti Australia yang mengesahkan News Media Bargaining Code di 2021. Undang-Undang itu mengatur perusahaan media dapat bernegosiasi dengan platform digital terkait harga konten yang dimuat.
Pewarta : Hanafi
Editor : Nicha Ratnasari