spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Cinta Kau Dimana?

Entah ini sudah berapa ratus malam aku menunggu… hingga Ramadan pertama setelah suamiku dinyatakan hilang. Yap, ini adalah Ramadan pertama tanpa Mas Pras suamiku, setelah ia dinyatakan hilang oleh pihak kepolisian.

Setelah pagi itu ia pamitan seperti biasa berangkat ke luar kota mengurus keperluan bisnisnya. Tapi pagi itu memang terasa lain, ia minta diantar ke terminal bus patas, tak mengendarai mobilnya sendiri. Walau sedikit heran, sambil berprasangka baik, mungkin ia lelah seharian harus pulang pergi mengendarai mobil sendiri. Ingin aku bertanya, tapi melihat raut wajahnya yang terlukis lelah, aku urungkan untuk bertanya.

Ia hanya mencium keningku, kedua pipiku kiri dan kanan. Dan berpesan agar aku menjaga anak-anak. Aku tak pernah menyangka jika itu ciuman sayang terakhir suamiku. Benar-benar terakhir… setelah setahun ia menghilang tiada kabar.

Hilang? Iya, suamiku hilang entah kemana… Aku pun bingung bagaimana harus mendeskripsikan dan menerima kenyataan yang memang benar-benar nyata.

Hingga kini pun, tidak ada kabar dari suamiku. Andai ia masih hidup, mungkin aku tak sebegini bingungnya… bingung menjawab beribu pertanyaan yang bertubi datang, menanyakan keberadaan suamiku, mas Pras. Aku pun tak cukup usaha, melapor ke kepolisian, menyebarkan berita kehilangan di semua media… Seorang istri yang kehilangan suami… yang sangat aku cintai…

Entahlah aku tak tau… semua begitu tiba-tiba… Badai kesedihan telah memporakporandakan hatiku sehingga membuatku tidak bisa berpikir rasional lagi. Lelah menjawab semua pertanyaan yang ada.

Aku hanya memikirkan untuk bangkit demi kedua buah hati yang kini hanya memiliki seorang ibu. Demikian pilu, mengingat pesan terakhir suamiku, agar aku menjaga mereka baik-baik. Aku berusaha kuat dan tegar didepan buah hatiku yang masih kecil-kecil, walau aku rapuh… sangat rapuh saat ini.

Ternyata kehilangan suami yang begitu tiba-tiba, bukan satu-satunya ujian yang aku alami. Keluarga dari pihak suami juga terus menanyakan penuh curiga kepadaku, walau aku bersyukur mertua perempunku cukup memahami bagaimana pilu dan hancurnya hatiku, untuk menerima kenyataan seperti ini.

Mas Pras memang seorang wiraswastawan yang lumayan berhasil, segala tender perusahaan hampir semua ia dapatkan. Keluarganya juga sebenarnya cukup baik dan perhatian.

Tapi entahlah, semenjak kabar hilangnya suamiku yang fisiknya pun tak tentu rimbanya, membuat keluarga suami agak menjauh. Mertua perempuanku sesekali mengirim pesan menanyakan kabarku juga kabar cucunya, yang sebenarnya cukup membuatnya rindu. Aku pun dapat merasakan, ia sangat kehilangan putranya yang sangat perhatian.

Entah apa penyebab hilangnya suamiku, aku pun belum tau jelas. Apakah ia dirampok, atau dihabisi oleh lawan bisnisnya. Astaqfirullah… aku benar-benar tak mengerti, apa rahasia dibalik ini semua…

Aku tahu mas Pras sesungguhnya. Ia tak mungkin meninggalkanku begitu saja. Ia tipe lelaki yang sayang dengan keluarga. Sayang kepada istri juga anak-anaknya. Jadi sangat mustahil ia pergi tanpa sebab. Tanpa kabar. Aku yakin pasti ada sebab yang sangat serius menimpanya. Mungkin keselamatannya. Entahlah…

Aku pun mulai menjual satu persatu aset yang ia miliki, mobil mungilnya dan beberapa barang berharga lainnya, demi menutup semua kewajiban yang harus diselesaikan semenjak Mas Pras tiada. Walau terkadang aku pusing dengan banyaknya tagihan barang dagangan dari perusahaan pribadinya.

Berjalannya waktu, aku semakin sadar. Aku harus melanjutkan hidup. Dan aku hanya terus berupaya agar tak putus mendoakan kebaikan untuknya. Meski aku sendiri terkadang tak yakin ia kembali dalam keadaan hidup… Tapi semua aku serahkan kepada Sang Pemilik Hidup ini… Pasti ada rahasia hidup di balik kejadian yang sangat dasyat ini.

**

“Adek yang saleh ya, Ummi bawa kakak ke rumah sakit dulu,” kataku sambil mencium pipi putra kecilku yang kini berusia 5 tahun. Tangannya mengenggam jemari mertuaku, erat. Terpaksa aku titipkan Faiz ke rumah neneknya. Walau aku lihat wajah cemasnya. Bekas air mata tercetak jelas di kedua pipi mungilnya. “Hati-hati ya Nisa. Jika ada apa-apa dengan Faizah telpon Ibu ya,” mertuaku Nampak ikutan cemas. “Iya Ummi,” aku cium tangan keriputnya, aku segera beranjak pergi. Mengendarai motor bersama Faizah yang panas badannya naik turun. Dan ini memasuki hari ketiga.

**

Aku duduk bersandar di kursi, sambil menunggu antrian obat untuk Faizah. Sambil memangku Faizah yang masih berusia 7 tahun. Ia memelukku erat. Mataku berkaca… Tiba-tiba aku ingat Mas Pras. Biasanya kalau aku atau anak-anak yang sakit, yang paling perduli adalah Mas Pras. Semua ia perhatikan, mulai kebutuhan makanan  bergizi, obat dan istirahat… Ia sangat membantu… Baru kini aku merasakan… Sangat kehilangan sosok yang penuh kasih sayang itu…

Aku hanya mempunyai sisa uang tiga ratus ribu. Jika obat nanti tak cukup, mungkin aku terpaksa menjual cincin emasku lagi untuk menebus obat Faizah. Aku menarik nafas dalam… Sambil terus beristiqfar seraya menguatkan hati… Ada Allah Yang Maha Besar… lebih besar dari semua masalah sederhana seperti ini… Tapi tiba-tiba… Mataku berkaca…

Dan… Aku membuyarkan lamunanku seketika… saat sesosok renta menghitung uang recehnya, yang ia bawa di depan kasir apotik. Mulut dan wajahnya keriput tertunduk-tunduk sambil terus menghitung. Wajah sang kasir tampak tak sabar menunggunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, lelaki renta itu kembali memunguti uang recehnya, dan memasukkannya ke kantong plastik. Dan ia bergegas pergi. Aku terharu, mungkin ia tak jadi menebus obat karena uang yang tak cukup.

Buru-buru, aku gendong Faizah yang lumayan juga berat badannya. Sambil mendekati kasir apotik aku bertanya, “Mba… Maaf boleh tanya ya… Bapak yang tua tadi, apa mau beli obat?”

“Mau nebus obat Bun, tapi uangnya gak cukup.” Jawab kasir sekenanya.

“Memang berapa harganya mb?”

“Dua ratus lima puluh ribu Bun.”

Tanpa pikir panjang… “Baik Mba, saya tebus obatnya.”

Tak lama, sambil tergopoh-gopoh menggendong Faizah, aku mengejar bapak renta itu. Ia masih berada di pelataran rumah sakit dengan wajah murungnya.

Ia menerima obat yang aku bawa, tangannya gemetaran menerima obat dari tanganku. Sambil matanya mulai berkaca-kaca,

“Nak, mohon maaf merepotkan. Nanti biar Bapak cicil bayarnya. Bapak belum ada uang sebanyak itu.” Kata lelaki renta itu dengan suara gemetar. Ia masih menatapku tak percaya.

Aku tersenyum. “Nanti Allah yang mengganti Pak. Cepatlah pulang Pak, minum obatnya dan istirahat ya,” pesanku pada lelaki tua itu.

Aku menelan ludah yang tersangkut di tenggorokan. Menyadari bahwa di dunia ini bukan aku saja yang sedang diuji dengan kesulitan hidup. Masih banyak orang yang lebih sulit di bawahku. Allah… terbuka rasa hatiku… Belajar ikhlas dalam kesempitan.

Aku kembali duduk di ruang tunggu. Aku menghela nafas panjang lagi. Mungkin setelah aku tahu berapa biaya berobat Faizah, aku pulang dahulu. Menjual cincin dulu baru aku kembali lagi… Mungkin itu yang aku lakukan…

“Sedekah akan membuka pintu rizki, akan melembutkan hati dan mengautakan hati.” Nasihat yang aku dapatkan pagi ini di Instagram. Aku yakin ada Allah Yang Maha Kaya…

Tapi entah… Tiba-tiba.. Aku sedikit terkejut saat ponselku tiba-tiba berdering. Membuyarkan lamunanku.

“Assalamu’alaikum Bunda Nisa, saya bendahara Marisya dari Perusahaan Tekstil Agung. Saya mau menyampaikan pesan pimpinan kami, mau membayar invoice yang Pak Pras yang diajukan pada perusahaan kami tiga bulan lalu. Alhamdulillah sudah cair Bun. Kami juga turut berduka cita atas kabar Pak Pras. Kami hubungi HP nya juga tak aktif lagi Bun. Tapi Pak Pras pernah berpesan, jika beliau tak bisa dihubungi bisa langsung kontak istrinya…”

Ya Allah… Aku tak percaya… Tak tahu harus berkata apa. Aku tak tahu banyak tentang usaha Mas Pras.. Hanya tau sepintas saja..

“Bun?” Suara di seberang memanggil karena aku tidak kunjung menjawab dan aku tak mendengar lagi kelanjutan dari pesan yang ia sampaikan.

“Eh, iya Mba Marisya, bagaimana?”

“Saya harus transfer ke mana, ya Bun? Ke rekening Bunda saja ya, sesuai pesan Pak Pras ya? Ini saya bacakan nomor rekening yang pernah Pak Pras berikan atas nama Bunda Nisa…”

“Memang berapa jumlah ya Mba?”

“Seratus lima puluh juta dulu kami transfer, Bun. Sisanya dalam jumlah sama, akan kami lunasi dua bulan lagi. Alhamdulillah kami senang bekerjasama dengan Pak Pras yang amanah.”

Aku masih terpana, tak percaya… Allah… Aku tak mampu lagi mendengar apa yang ia katakan selanjutnya karena keterkejutan yang diluar batas kemampuanku…

Sungguh, sedekah itu membuka pintu rizki… Allah sudah mengganti sedikit rezeki yang aku berikan kepada lelaki tua tadi dengan ganti yang luar biasa besarnya berlipat-lipat. Inilah keajaiban rizki dari Sang Maha Kaya.

Aku mendekap tubuh Faizah yang masih hangat, ia tertidur pulas dalam pangkuanku. Aku memandang langit siang itu… Ramadan kali ini penuh warna… mengajarkanku arti kesabaran dan kesyukuran… Terima kasih Mas Pras… dimana pun kamu berada… Allah akan selalu menjagamu… Allah Maha Kaya… Allah Maha Hebat… Lebih hebat dari ribuan masalah kita… Tiba-tiba.. Tangisku luruh seketika. (**)

Cerpen : Muthi’ Masfu’ah

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img