spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Buah Sawit Dibeli ‘Cuma’ Rp 1.000 Per Kg, Petani Sawit di Kukar Terseok-seok

Penutupan keran ekspor minyak kelapa sawit mentah dan turunannya menimbulkan gejolak di Kutai Kartanegara. Kebijakan yang dibuat pemerintah itu membuat sejumlah petani sawit yang mengelola kebun secara mandiri atau petani sawit swadaya merana. Masalahnya, mereka terpaksa menjual tandan buah segar (TBS) sawit dengan harga yang amat murah.

Slamet Santoso, salah seorang petani sawit swadaya di Kukar, menyebut, harga TBS sawit saat ini berkisar Rp 1.000 per kilogram (kg). Pria berusia 70 tahun itu menduga, kebijakan larangan ekspor refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein dan minyak sawit mentah (CPO) yang menjadi penyebab harga TBS sawit murah. Kebijakan tersebut membuat buah sawit menumpuk di pabrik CPO sehingga perusahaan mengurangi pembelian TBS sawit.

“Kami memenuhi kebutuhan buah sawit bila perusahaan ada keperluan mendadak,” kata Slamet yang tinggal di Desa Bendang Raya, Tenggarong, kepada kaltimkece.id, jaringan mediakaltim.com, Sabtu, 14 Mei 2022.

Masalah semakin pelik karena biaya kebutuhan memproduksi sawit, seperti pestisida dan pupuk, ikut naik. Slamet mengatakan, kenaikan tersebut terjadi sejak pengumuman larangan ekspor RBD palm olein dan CPO pada 22 April 2022.

“Dalam enam bulan ini, saya mengeluarkan Rp 3,7 juta untuk biaya pupuk, pestisida dan mengupah pekerja kebun,” sebutnya. Pemilik kebun sawit seluas satu hektare itu berharap, pemerintah mencabut kebijakan larang ekspor dan menyetabilkan harga TBS sawit. Minimal, ujarnya, harga TBS sawit Rp 3.000 per kg.

Dugaan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) Kukar, Daru Widiyatmoko, sama seperti Slamet. Bahwa harga TBS sawit yang dijual petani swadaya anjlok karena larangan eskpor RBD palm olein dan CPO. Menurut Daru, kebijakan tersebut dimanfaatkan perusahaan CPO untuk membeli TBS sawit dengan harga murah.

“Perusahaan beralasan, tangkinya penuh. Jadi, penerimaan TBS-nya dibatasi atau membeli dengan harga murah,” urai Daru. Ia juga meminta agar kebijakan tersebut segera dicabut. Satuan tugas pangan pun diminta mengecek pabrik CPO dan harga TBS sawit di lapangan. “Jika ada perusahaan yang nakal, beri mereka sanksi,” imbuhnya.

Bukan hanya larangan eskpor RBD palm olein dan CPO yang menjadi penyebab kekacauan harga TBS sawit. Menurut Daru, masalah ini juga karena pemerintah mengimplementasikan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga TBS Sawit. Peraturan tersebut hanya mengatur mengenai harga TBS sawit untuk petani plasma atau petani sawit yang bekerja sama dengan perusahaan.

Apkasindo menilai, peraturan tersebut tidak adil. Oleh sebab itu, mereka mendesak Permentan 1/2018 direvisi. “Atau, ketentuannya ditambah, petani mandiri juga mendapatkan harga yang sama,” serunya.

Dikonfirmasi secara terpisah, Analis Pasar Hasil Pertanian, Sub Koordinator Pengolahan dan Pemasaran Hasil dari Dinas Perkebunan Kukar, Desy Nuryani, membenarkan bahwa harga TBS yang dibuat pemerintah hanya untuk petani plasma. Berdasarkan ketentuan yang dibuat Pemprov Kaltim pada akhir April 2022, harga TBS berkisar Rp 3.150,17 sampai Rp 3.577,69 per kilogram. Harga tersebut, kata Desy, hanya berlaku untuk petani plasma atau petani yang bergabung dalam koperasi plasma.

“Untuk perkebun bermitra dengan perusahaan, pembelian mengacu penetapan harga TBS dari provinsi,” jelasnnya.

Ia mengaku belum menerima laporan adanya penjualan TBS sawit di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Kalau ada, ia menduga, itu karena petaninya belum bermitra dengan perusahaan. Jika petani sudah bermitra kemudian TBS sawitnya dibeli perusahaan dengan harga tidak wajar, Desy memastikan, perusahaan tersebut bisa ditindak sesuai Permentan 1/2018.

“Kadis Provinsi dapat mengusulkan kepada gubernur untuk mencabut izin usaha perusahaan,” imbuh Desy.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kukar, Dedi Supianur, memastikan, perusahaan-perusahaan yang mengolah CPO di Kaltim menggunakan harga beli TBS sawit yang ditetapkan Pemprov Kaltim. Yakni Rp 3.500 untuk usia sawit 10 tahun ke atas.

Dedi pun mengatakan, perusahaan tidak boleh membeli TBS sawit selain dari petani plasma. Mengingat, sudah ada peraturan yang mengharuskan perusahaan membeli buah sawit dari petani plasma. Lagi pula, perusahaan tidak bisa mengontrol kualitas buah sawit jika membeli di luar petani plasma.

Di sisi lain, Dedi juga meminta agar pemerintah mencabut kebijakan larangan ekspor produk turunan buah sawit. Kebijakan disebut membuat tangki-tangki CPO di pabrik tidak mampu lagi menampung CPO. Kondisi ini berimbas terjadinya pembatasan produksi dan penerimaan TBS sawit.

“Kami mendesak pemerintah mencabut aturan larangan ekspor. Hanya itu solusinya,” tegasnya.

Asisten kepala pembelian kelapa sawit dari PT Niagamas Gemilang, Hasfani, juga memastikan, perusahaanya membeli TBS sawit dari petani plasma dengan harga wajar. PT Niagamas Gemilang disebut memiliki kontrak tertulis bersama petani atau koperasi plasma tentang kerja sama pengolahan sawit. Dalam kerja sama tersebut, semua biaya produksi sawit dibebankan kepada perusahaan mitra.

“Kami membeli TBS sawit sebesar Rp 2,5 ribu. Itu masih wajar, kecuali di bawah 1.000,” ucap Hasfani. Ia menjelaskan, perusahaannya membeli TBS sawit Rp 2,5 ribu per kg akibat terjadinya larangan ekspor.“Kami harus menyesuaikan harga, mengikuti harga kompetitor,” kuncinya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img