SENIN malam, 26 Mei 2025, air mulai naik di Kampung Long Pay, Kecamatan Segah, Kabupaten Berau. Hujan deras di hulu Sungai Segah sejak sore membuat debit air melonjak drastis.
Keesokan paginya, Selasa, 27 Mei, banjir bandang melanda. Kampung Long Laai dan Long Ayap disapu arus. Air naik hingga lima meter, menghanyutkan rumah warga dan fasilitas umum. Poskesdes, sekolah, aula kampung, rumah ibadah, hingga rumah guru—semua luluh lantak.
Ini bukan banjir pertama. Tapi yang terparah.
Camat Segah, Noor Alam, menyebut banjir datang sangat cepat. “Rumah-rumah terendam, keselamatan warga terancam,” ujarnya. Ia menegaskan kondisi saat itu benar-benar darurat.
Akses jalan putus di kilometer 28. Bantuan luar tak bisa segera masuk. Penanganan awal mengandalkan relawan lokal dan pemerintah kampung.
Warga panik. Banyak yang tak sempat menyelamatkan barang. Kepala Kampung Long Ayan, Hardiansyah, menyebut banjir datang mendadak dan mengejutkan semua orang. “Baru kali ini kami mengalami kejadian sebesar ini,” katanya.
Anak-anak kehilangan perlengkapan sekolah. Ruang kelas penuh lumpur. Poskesdes rusak berat. Bahkan, seorang ibu hamil terancam melahirkan tanpa fasilitas kesehatan.

Wakil Bupati Berau, Gamalis, menggelar rapat darurat siang itu. Ia meminta OPD bergerak cepat. “Minimal malam ini sudah ada bantuan ke sana,” katanya.
Medan menuju lokasi sangat sulit. BPBD butuh enam jam ke Long Ayap. Beberapa jalan terputus. Warga hanya bisa titip barang di posko, tak bisa ikut dievakuasi.
Respons cepat ini patut diapresiasi. Pemkab Berau juga telah menjalankan sejumlah langkah antisipasi banjir dalam beberapa tahun terakhir.
DPUPR membangun drainase di Singkuang dan Murjani III, serta menormalisasi sungai di Buyung-Buyung dan Gurimbang. Anggaran mencapai Rp20 miliar. Master plan drainase yang berusia 15 tahun juga direvisi untuk menyesuaikan perkembangan kota dan aliran air.
Dalam kondisi darurat, BPBD dan OPD sudah menyalurkan bantuan logistik: makanan, selimut, kebutuhan pokok. Pemerintah juga berkomitmen membangun kembali rumah, sekolah, dan fasilitas umum, dimulai dari Long Ayap dan Long Laai.

Langkah strategis lainnya disiapkan: kajian normalisasi Sungai Segah dan Sungai Kelay, serta penguatan koordinasi lintas sektor. Beberapa kampung juga mulai menyiapkan lahan relokasi dengan dukungan penuh Pemkab.
Namun, semua itu belum menyentuh akar masalah.
Hulu Sungai Segah dikenal rawan banjir. Tapi belum ada sistem peringatan dini yang optimal. Jalur evakuasi permanen pun belum terbangun.
Akar persoalannya jelas: pembukaan lahan besar-besaran di hulu. Daya serap tanah menurun. Air hujan tak lagi meresap, tapi langsung masuk sungai. Sungai meluap.
Data KLHK mencatat, tutupan hutan di hulu DAS Segah turun 18 persen dalam 10 tahun terakhir. Namun, belum ada tindakan konkret membatasi pembukaan lahan. Akibatnya, kampung-kampung pinggiran sungai terus dihantui banjir setiap kali hujan deras.
Kerugian materi sudah pasti sangat besar. Tapi yang lebih berat adalah dampak social. Pendidikan lumpuh, UMKM terhenti, layanan kesehatan terganggu. Penghasilan warga lenyap. Masa belajar anak-anak terputus.
Pemerintah kampung telah meminta bantuan. Perahu, alat medis, perlengkapan ibu hamil, pakaian sekolah, bahan pangan, dan pemulihan fasilitas umum. Tapi bantuan darurat saja tak cukup. Warga butuh solusi jangka panjang.
Peta rawan banjir harus segera disusun. Anggaran siaga bencana disiapkan khusus untuk wilayah pedalaman. Infrastruktur pengendali banjir diperkuat. Penataan ruang dan izin pembukaan lahan diperketat.
Jangan tunggu banjir berikutnya baru bergerak.
Ke depan, masyarakat tentu berharap pemerintah lebih siap dan sigap. Dari sanalah kepercayaan publik akan terus terbangun. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.